- Awal musim hujan merupakan berkah bagi warga Desa Serdang, Kabupaten Bangka Selatan, Provinsi Bangka-Belitung. Selama sepekan mereka panen jamur yang tumbuh di hutan di desanya.
- Ada dua jenis jamur yang didapat, sisik dan pelawan. Harga jamur sisik kering Rp700 per kilogram dan Rp1,2 juta per kilogram untuk jamur pelawan.
- Pemasaran jamur yang musimnya hanya sepekan ini menggunakan WhatsApp dan Facebook.
- Kini, hasil jamur dari Desa Serdang mulai berkurang, dikarenakan sebagian kawasan hutannya dibuka untuk kebun sawit.
Musim hujan merupakan berkah bagi sebagian warga Desa Serdang, Kecamatan Toboali, Kabupaten Bangka Selatan, Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung. Mereka pergi ke hutan, mencari kulat [jamur]. Terutama jamur yang tumbuh di sekitar pohon pelawan.
“Musim jamur cuma sekali dalam setahun, biasanya saat penghujan tiba,” kata Lantoro [30], pencari jamur di Desa Serdang, Kecamatan Toboali, Kabupaten Bangka Selatan, Minggu [01/12/2019].
Munculnya semut api [Solenopsis] juga menjadi indikator banyak tidaknya jamur yang tumbuh.
“Jika di lokasi banyak sarang semut api, pasti jamurnya juga banyak. Karena semut itu senang dekat jamur-jamur itu. Jadinya, kami ekstra hati-hati, kalau tidak mau terkena gigitan menyakitkan,” lanjut Lantoro yang sudah 20 tahun mencari jamur.
Baca: Perempuan Hebat Penjaga Kaki Bukit Barisan

Jamur yang biasa waga Serdang temukan adalah jamur sisik atau sekat yang masuk keluarga Chanterellus, jenis yang bersimbiosis dengan pohon tertentu, terutama di kawasan hutan terbuka [perdu] di sekitar pohon pelawan. Ciri utamanya berwarna coklat serta corak bersisik yang terdapat pada topi jamur.
Harga per kilogram jamur sisik kering mencapai Rp700 ribu per kilogram.
Baca juga: Foto Udara: Api Membara di Rawa Gambut Sumatera Selatan

Selain jamur sisik, di hutan Desa Serdang juga terdapat jamur pelawan [Boletus sp.], jamur yang tumbuh bersimbiosis membentuk ektimokoriza dengan pohon pelawan merah [Tristaniopsis sp.], sehingga warnanya merah. Jamur ini diklaim termahal di Indonesia, sekitar Rp1,2 juta per kilogram.
“Jika jamur sisik kering harganya sekitar Rp700 ribu per kilogram, jamur pelawan saat ini sekitar Rp1,2 juta dari tangan kami,” kata Sutarmi [30], pencari jamur lainnya.

Sebelum dikonsumsi, jamur pelawan harus direbus atau dikeringkan. Jika kondisi basah, mengandung racun. “Jamur pelawan harus direbus atau dikeringkan sebelum dimasak. Tujuannya supaya lendir beracunnya hilang,” lanjut Sutarmi, saat menjemur jamur pelawan di halaman rumahnya.
Pemasaran gunakan media sosial
Penduduk Desa Serdang yang jumlahnya mencapai 4.057 jiwa, mayoritas berprofesi sebagai petani padi, lada, dan berkebun karet. Sebagian, mulai berkebun sawit. Saat musim jamur tiba hampir seluruh warga rela meninggalkan kebun dan sawahnya, beralih menjadi pencari jamur.
“Tua, muda, hingga ibu rumah tangga, ikut mencari jamur. Selain dikarenakan harga yang tinggi, masa pertumbuhan jamur hanya tujuh hari, lewat dari waktunya, jamur-jamur kering dan tidak tumbuh lagi. Selama tujuh hari itu, kami luangkan waktu, mencari dari pagi hingga sore,” kata Sutarmi.

“Musim jamur biasa kami sebut rezeki tahunan. Lumayan untuk tambahan uang jajan, sekaligus bantu-bantu keluarga mencari uang,” ujar Saruka Okseba [17], saat istirahat, setelah seharian mencari jamur.
Pemasaran jamur dari Desa Serdang menggunakan jaringan media sosial. “Biasanya, kami tawarkan kepada teman-teman yang ada di grub WhatsApp, dari situ mereka pesan. Kami juga memasarkan melalui Facebook,” kata Meko Arsito [21].

Ada beberapa titik persebaran jamur di Desa Serdang dan warga telah menamai lokasinya. Misal Dejinak, Riding Jair, Kertung, Palas, Metung, Riding Batu dan Rimba Papan. Seluruh lokasi tersebut masuk wilayah Desa Serdang yang luasnya sekitar 260 hektar.
“Bisa dikatakan, Serdang merupakan desa yang masih memiliki potensi jamur karena hutannya luas. Aktivitas tambang timah pun tidak ada. Oleh karena itu, para pencari jamur tidak jarang datang dari desa seberang, seperti Jeriji, Gadung, dan Pergam,” kata Agus Salim [44], pencari jamur lain.

Hutan berkurang, jamur menurun
Potensi jamur di Desa Serdang memang lebih banyak dibandingkan daerah lain. Hal ini dikarenakan, Serdang merupakan salah desa yang terbebas dari aktivitas tambang, sehingga hutannya masih terjaga.
“Desa kami memang terbebas dari tambang timah, tapi mulai ada kebun sawit. Beruntung, jamur pelawan dan sisik masih tumbuh meski di kawasan hutan terbuka [perdu] seperti ini,” lanjut Lantoro.

Namun, ada satu jenis jamur yang mulai sulit ditemukan di Desa Serdang, yakni kulat telur yang masuk keluarga Agaricaceae.
“Kulat telur harus tumbuh di hutan lebat, ada pepohonan besar dan rimbun, sementara hutan lebat di Desa Serdang mulai berkurang,” terangnya.

Berdasarkan pengamatan Mongabay Indonesia, Minggu [01/12/2019], di lokasi pencarian jamur Riding Jair, lahan tersebut merupakan kebun sawit warga yang sebagiannya dipenuhi perdu dan pohon pelawan berdiameter 10 hingga 20 cm.
“Dulunya ini hutan lebat, banyak pohon besar seperti pelawan hingga meranti, jamurnya juga banyak. Tidak tahu kedepannya masih ada atau tidak,” jelas Agus Salim.

“Di Desa Serdang, hanya tersisa Hutan Rimba Keratung yang merupakan hutan primer, statusnya hutan lindung. Selebihnya sudah berubah menjadi lahan pertanian atau hutan terbuka [perdu],” sambung Sakti.
Berkurangnya hutan primer di Desa Serdang, disinyalir para pencari jamur menjadi penyebab berkurangnya jumlah jamur.
“Sejak 1999 hingga sekarang, jumlah jamur berkurang. Sebelum itu, dalam satu hari, kami bisa memperoleh 30-50 kilogram. Sekarang, sehari hanya 5-7 kilogram,” kata Sakti [58], pencari jamur di Desa Serdang.

Berdasarkan data Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah Kepulauan Bangka Belitung 2016, di Bangka Selatan hanya tersisa sekitar 8.665 hektar lahan tidak kritis dari total 287.284 hektar.
“Jika hutan berkurang, pastinya mengancam tumbuhnya jamur yang telah turun-temurun menjadi sumber ekonomi masyarakat Desa Serdang,” tutur Sakti.
*Nopri Ismi, penulis lepas dan menyukai fotografi, mengikuti pelatihan jurnalistik Mongabay Indonesia di Palembang pada 2017 dan 2018