- Selama beberapa tahun terakhir, sejumlah warga menyebut lampu sorot yang disebut laser pemecah awan ini mampu membatalkan turunnya hujan.
- Tak sedikit video atau postingan di medsos yang hendak membuktikan lampu sorot ini memecah awan, karena kerisauan pada teriknya cuaca di musim penghujan.
- Pro kontra lampu sorot ini menutupi gejala perubahan iklim yang terus menunjukkan tanda-tandanya.
- Sejumlah peneliti iklim berusaha menjelaskan persepsi keliru laser pemecah awan ini dengan sejumlah analisis.
Kota Denpasar pada Sabtu (21/12/2019), cuacanya sampai 34 derajat celcius di siang hari. Malam harinya berkisar 30 derajat celcius. Demikian laporan cuaca dari otoritas pemantauan.
Perbincangan di media sosial pun kembali bergulir tentang lampu laser yang diyakini memecah awan dan mengakibatkan hujan tak jadi turun. Pembahasan ini tercatat sejak tahun 2012, ketika cuaca makin tak menentu, musim kemarau makin panjang.
Lagu November Rain besutan band rock Guns n Roses tak mewujud seperti biasanya. Bahkan hingga akhir tahun, Bali secara umum masih gerah.
baca : Ironi Hari Sungai dan Kekeringan Kemarau Panjang di Bali
Musim kemarau panjang ini pun memunculkan surat edaran tentang larangan lampu laser dan lampu sorot pemecah awan dari Desa Adat Kerobokan di Badung tertanggal 26 November 2019.
Isi surat itu berikut ini. “Sinar laser atau lampu sorot pemecah awan digunakan sebagai pemecah pengusir awan/hujan oleh sekelompok tertentu agar proyek atau usahanya berjalan terus. Kepentingan sesaat ini tanpa mempedulikan keseimbangan alam. Hujan adalah bagian alami dari siklus cuaca. Belakangan ini ada dugaan sinar laser digunakan akan terjadi bencana, jadi biarkan alam bekerja tanpa intervensi. Mohon menghentikan apabila ditemukan tanpa izin dari aparat terkait maka akan dikenakan sanksi sesuai Perarem Banjar/Desa Adat Kerobokan.”
Bendesa Desa Adat Kerobokan AA Putu Sutarja dikonfirmasi soal surat himbauan itu mengaku sudah tahu laser tak akan mungkin menembus awan. “Dalam jarak 2 km tak bisa. Tapi pemakaian lampu laser ini buat udara panas, ada masyarakat mengeluh dan keluhannya diakomodir,” katanya, Sabtu (21/12/2019). Ia mengetahui penjelasan dari BMKG, namun terganggu dengan lampu sorot yang digunakan saat pesta atau proyek pembangunan di wilayahnya. “Masyarakat bertanya, kenyataannya proyek sedang bekerja menggunakan laser, apa tujuannya?” keluhnya.
Kalau ada yang menggunakan lampu sorot atau yang diyakini laser ini, desa adat akan memberikan sanksi sesuai perarem (aturan adat) seperti peringatan pertama, saksi ringan, sedang, sampai berat. “Teguran dulu, kalau membadel ada sanksi lainnya,” sebutnya.
Ia berharap di jaman media sosial ini, BMKG harus tanggap, misalnya sosialisasi ke banjar, apa dan bagaimana dampak sinar laser yang digunakan pesta dan proyek pembangunan.
Musim hujan, tapi Bali masih gerah. Hujan hanya sempat mendinginkan tanah sebentar. Hal menarik, sejumlah warga meyakini penyebabnya adalah lampu sorot atau “laser” yang menghambat awan tak menurunkan air hujan ke bumi.
Wirautama, salah satu warga Desa Kerobokan menyatakan secara logika “sinar laser” itu tidak bisa untuk mengusir awan/hujan. Akan tetapi akan lebih bagus lagi jika BMKG atau pihak berwenang kembali mengeluarkan pernyataan resmi melalui Surat Edaran atau yang lainnya untuk memperjelas hal yang sebenarnya, agar tidak ada lagi keresahan di masyarakat.
baca juga : Seratusan Ribu Hektar Lahan Pertanian Kekeringan, Apa Upaya Kementan?
Persepsi Keliru Laser
Pada 2012, petugas BMKG Denpasar I Made Kris Astra sudah membahas terkait persepsi keliru “laser” ini.
Pertama, sumber cahaya lampu sorot bukanlah Laser. Lampu sorot yang biasa digunakan sebagai mitos penjegal awan bukanlah laser. Laser adalah instrumen yang dapat memancarkan spektrum elektromagnetik dalam panjang gelombang tertentu. Laser memiliki energi tertentu. Laser dengan kekuatan 100-3000 watt dapat memotong logam, biasanya digunakan di pabrik mobil. Ada sebuah lampu sorot hingga 2000 watt yang tidak akan membakar daun pintu berbahan kayu dengan radiasinya.
Kedua, perhitungan efek radiasi lampu sorot terhadap perubahan suhu awan sangat kecil. Kita akan berkelana ke dunia ‘klenik’ bernama heat and thermodynamics, lebih tepatnya ke radiasi thermal. Energi panas yang dipancarkan per waktu dari sebuah permukaan dinamakan flux radiant. Dalam rerajahannya, mengandung sebuah konstantan yang disebut konstanta Stefan-Boltzman.
Selanjutnya, cahaya lampu sorot kita sebut sebagai sumber dan awan kita sebut sebagai penerima radiasi panas. Hasilnya, jika saja permukaan lampu sorot itu bersuhu sebut saja 100 derajat Celcius, memancarkan cahaya ke awan yang tingginya 90 meter, suhu panas dari lampu sorot itu hanya akan tersisa 5 derajat celcius. Cukupkah untuk memanaskan awan?
Panas dari lampu sorot itu akan tidak berefek lagi dalam jangkauan kurang dari 100 meter. Sedangkan awan di wilayah Denpasar sendiri tingginya mencapai 600-900 meter. Lalu kenapa kelihatannya awan pecah?
Ketiga, dinamika awan, awan selalu bergerak dan berubah bentuk. Sekumpulan sel awan akan selalu berdinamika. Coba perhatikan, sebuah awan bergerak dari arah tenggara. Semenit yang lalu berupa gumpalan kecil, setengah jam kemudian menjadi gumpalan besar mirip kapas, lalu sejam kemudian berubah lagi menjadi bentuk-bentuk kecil.
Awan adalah sekumpulan titik-titik air yang terkondensasi, bergerak dalam fluida di udara. Selalu berdinamika.
Pada siang hari matahari memaparkan sinar matahari juga diserap permukaan bumi. Tidak hanya diserap namun juga dipantulkan kembali. Pada petang hari, permukaan bumi (tanah) masih menyimpan panas tadi, dan masih memancarkannya ke langit. Ketika ada awan, akan terhalang, sehingga energi panas itu kembali memantul ke bumi.
Panas yang diterima sekarang berasal dari dua sumber. Panas yang masih tersimpan dan panas akibat pemantulan balik dari awan oleh panas di bumi. Hal inilah yang menurutnya disebut sebagai efek rumah kaca.
Seperti dijelaskan pada tulisan ini. Artikel lain berjudul Asumsi Laser dan Kemarau Panjang dibuat oleh I Wayan Suardana, Kepala Balai Besar MKG Wilayah III pada 2015.
Ia menyebut lampu sorot yang diasumsikan oleh sebagian masyarakat sebagai laser yang digunakan dalam kegiatan-kegiatan tertentu tidak memiliki kemampuan untuk memecah awan-awan hujan. Penggunaan lampu sorot berguna untuk menginformasikan kepada khalayak bahwa di lokasi tersebut sedang ada suatu kegiatan.
Jika diasumsikan lampu sorot memiliki derajat panas 1000 C suhu radiasi yang dipancarkan akan mendekati 00 C pada jarak 2,8 meter. Jika lampu sorot yang digunakan memiliki derajat panas 2000 C, suhu radiasi yang dipancarkan akan mencapai 00 C pada jarak 4,5 meter sedangkan lampu sorot yang digunakan memiliki derajat panas 3000 C, suhu radiasi yang dipancarkan akan mendekati 00 C pada jarak 6,6 meter.Dengan demikian lampu sorot sangat sulit untuk menembus ketinggian dasar awan di wilayah Bali yang berkisar antara 400 –600 meter.
Laser dijelaskan kependekan dari bahasa asing, Light Amplification by Stimulated Emission of Radiation. Manfaatnya dalam bidang industri, sinar laser untuk pengelasan, pemotongan lempeng baja, pengeboran, bidang astronomi, dan lainnya.
Sesungguhnya yang terjadi di masyarakat adalah penggunaan lampu sorot dalam berbagai kegiatan-kegiatan di areal terbuka. Lampu sorot yang dianggap sebagai laser oleh sebagian besar masyarakat berguna untuk menginformasikan kepada khalayak bahwa di lokasi tersebut sedang dilaksanakan suatu kegiatan atau event.
Panjangnya musim kemarau tahun ini yang terjadi di Provinsi Bali sangat berkaitan dengan dinamika cuaca atau iklim yang terjadi di sekitar wilayah Indonesia. Adanya aktifitas El Nino di perairan Samudera Pasifik di bagian timur Indonesia berdampak terhadap penarikan uap air dari wilayah Indonesia menuju Samudera Pasifik.
Sehingga dampak yang ditimbulkan wilayah Indonesia yang berada di selatan khatulistiwa seperti Jawa, Bali dan Nusa Tenggara mengalami kekurangan pasokan hujan.
Musim Hujan Mundur
Menurut pengumuman Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), prakiraan musim hujan 2019/2020 di Indonesia secara umum mundur. Awal Musim Hujan 2019/2020 di 342 Zona Musim (ZOM) diprakirakan umumnya mulai bulan Oktober 2019 sebanyak 69 ZOM (20.2%), November 2019 sebanyak 161 ZOM (47.1%), dan Desember 2019 sebanyak 79 ZOM (23.1%).
Jika dibandingkan terhadap rata-ratanya selama 30 tahun (1981- 2010) di 342 Zona Musim, awal musim hujan 2019/2020 sebagian besar daerah yaitu 253 ZOM (74.0%) diperkirakan mundur dibandingkan dengan rata-ratanya. Sebanyak 64 ZOM (18.7%) diperkirakan sama terhadap rata-ratanya. Sedangkan yang diprakirakan maju terhadap rata-rata sebanyak 25 ZOM (7.3%).
Sifat hujan selama musim hujan 2019/2020 di sebagian besar daerah yaitu 250 ZOM (73.1%) diprakirakan normal dan 74 ZOM (21.6%) diperkirakan bawah normal. Sedangkan atas normal sebanyak 18 ZOM (5.3%).
Puncak musim hujan 2019/2020 di 342 Zona Musim (ZOM) umumnya terjadi pada bulan Januari 2020 sebanyak 128 ZOM (37.4%) dan bulan Februari 2020 sebanyak 115 ZOM (33.6%).