- Desa adat. Secara umum, tak ada perbedaan hak dan kewajiban antara desa dan desa adat. Perbedaan dua nomenklatur ini terletak pada kewenangan, struktur kelembagaan, dan dasar pembentuk dari desa dan desa adat.
- Jalur perubahan status desa dan kelurahan saat ini, jadi desa adat sebagai langkah pengembalian hak-hak masyarakat adat. Intinya, “sekali dayung, dua-tiga pulau terlampaui alias dengan jadi desa adat persyaratan untuk mendapatkan pengakuan hak atas tanah dan hutan adat terpenuhi.
- Sejauh data tersedia, respon pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota dalam memanfaatkan peluang penerapan nomenklatur desa adat masih rendah. Baru ada dua inisiatif berarti di tingkat provinsi, Sumatera Barat dan Bali.
- Guna mendorong desa adat, perlu upaya-upaya khusus. Beberapa langkah strategis perlu dilakukan, pertama, menyusun peraturan pemerintah tentang desa adat, kedua, sosialisasi tentang peluang dan tantangan nomenklatur desa adat di berbagai daerah yang relevan. Ketiga, mengembangkan kapasitas para pihak yang berkepentingan dengan penerapan nomenklatur desa adat ini.
Matahari bersinar terik. Peluh mengalir di sekujur badan. Di beberapa bagian ada gumpalan awan hitam menggelantung. Pertanda akan turun hujan. Meski begitu, 10 perempuan paruh baya dan seorang lelaki dengan usia lebih muda seakan tak peduli. Mereka terus saja menasai (menari) diiringi petikan sape (semacam gitar) yang terdengar monoton. Wajah memancarkan kegembiraan.
Hari itu, 29 November 2019. Menurut rencana berlangsung pra pumpung hai (musyawarah menurut adat-istiadat setempat), dengan tema: Apa itu desa adat?
Kegiatan ini harus ada mengingat banyak pertanyaan soal rencana perubahan status desa dan kelurahan di kecamatan itu jadi desa adat.
Borneo Institute telah mendampingi masyarakat di desa-desa Kecamatan Manuhing Raya, Gunung Mas, Kalimantan Tengah ini sekitar lima tahun terakhir. Diawali dengan program penanaman sejuta pohon dan tanaman kehidupan, berkembang pada usaha-usaha berkaitan dengan program perhutanan sosial. Juga upaya mendapatkan pengakuan atas hutan adat yang didaku komunitas setempat sebagai bagian dari tanah adat mereka.
Guna memperkuat kapasitas community organizer dalam melaksanakan tugas-tugas lapangan, dan memotivasi kelompok-kelompok dampingan, pada pertengahan Juni lalu digelar temu refleksi di bawah tajuk “Pemberdayaan masyarakat adat Dayak.”
Kegiatan ini diikuti kepala desa/lurah, BPD, dan tokoh-tokoh masyarakat dari enam desa dan satu kelurahan di Kecamatan Muhing Raya.
Dalam pertemuan sehari itu dibahas permasalahan yang sedang dihadapi, dan peluang-peluang tersedia untuk mengatasi persoalan masyarakat di daerah itu.
Dari sana, lahirlah pemahaman, tersedia jalur perubahan status desa dan kelurahan saat ini jadi desa adat sebagai langkah pengembalian hak-hak masyarakat adat. Bahkan, dianggap lebih baik dibandingkan program penerbitan surat keterangan tanah adat (sebagaimana diatur dalam Peraturan Gubernur Nomor 13/2013 tentang Surat Keterangan Tanah Adat). Juga apa yang sedang diupayakan sejumlah elit politik setempat melalui program Dayak Misik yang miliki semangat individualisasi tanah adat semata.
Intinya, “sekali dayung (jadi desa adat), dua-tiga pulau terlampaui alias persyaratan untuk mendapatkan pengakuan hak atas tanah dan hutan adat terpenuhi.
Pada hakekatnya, nomenklatur desa adat adalah salah satu jalan memenuhi ketentuan pengakuan hak masyarakat adat susuai amanat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/2012.
Dengan menjadi desa adat, komunitas adat yang bersangkutan akan jadi subyek hukum, dan memiliki wewenang mengatur dan mengurus ulayat atau wilayah adat, salah satu dari sekian hak asal-usul desa adat yang diakui melalui UU Desa yang baru itu.
Panitia persiapan penetapan desa adat di Kecamatan Muhing Raya, pun dibentuk. Diketuai Suwaton, tokoh masyarakat setempat. Kepala desa/lurah sebagai penanggingjawab kegiatan lanjutan di tingkat desa/kelurahan masing-masing.
Panitia persiapan bertugas proses pendalaman ide peralihan status ini di tingkat desa atau kelurahan melalui musyawarah dengan warga desa atau kelurahan.
Pendek cerita, organisasi pendamping, para pimpinan desa atau kelurahan dan tokoh-tokoh masyarakat lain telah bersepakat untuk memperoleh keputusan akhir perlu referendum tingkat desa.
Ada tiga pilihan ditawarkan dalam refendum yang paling lama Maret 2020 ini, pertama, setuju jadi desa adat, dua, tak setuju jadi desa adat dan ketiga, tidak berpendapat.
***
Setelah hampir 70 tahun usia kemerdekaan Republik Indonesia, kali pertama kebijakan negara tentang desa — atau disebut dengan nama lain– tidaklagi terperangkap dalam upaya penyeragaman.
Seturut azas rekognisi yang dikandung dalam Pasal 18 (sebelum amandemen) dan Pasal 18B ayat (2) (pasca amandemen) Undang-undang Dasar 1945, UU Nomor 6/2006 tentang Desa–kemudian disebut UU Desa– mengakui keberadaan dua jenis desa, yaitu, desa dan desa adat, atau disebut dengan nama lain.
Sebagaimana disebutkan pada Pasal 6, kedua-duanya merupakan, “… kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan negara kesatuan Republik Indonesia.”
Pada dasarnya, sebagai fakta sosial tentu ‘desa adat’ bukanlah sesuatu yang sama sekali baru ataupun diada-adakan. Sekadar menyebut dua contoh, desa adat umum terdapat di Bali dan disebut desa pekraman, dan apa yang disebut nagari di Sumatera Barat.
Melalui UU Desa, berbeda dengan apa yang terjadi pada masa sebelum ini, desa adat tak lagi sekadar fakta sosial dan budaya. Melainkan ‘derajat ditinggikan’ sebagai ‘fakta politik dan hukum.’
Hal ini, secara eksplisit tercerminkan oleh pemberian hak pada desa adat itu untuk ‘mengatur dan mengurus pemerintahan dan pembangunan’ sebagaimana diamanatkan Pasal 6 itu.
Secara umum, tak ada perbedaan hak dan kewajiban antara desa dan desa adat. Perbedaan dua nomenklatur ini terletak pada kewenangan, struktur kelembagaan, dan dasar pembentuk dari desa dan desa adat.
Sebagaimana diatur pada Pasal 19, baik desa maupun desa adat pada dasarnya memiliki kewenangan sama. Meski begitu, sebagaimana diatur Pasal 103, sesuai asas rekognisi (pengakuan) sebagaimana diatur Pasal 3, desa adat dapat dikatakan memiliki kewenangan lebih luas daripada desa.
Perbedaan itu terletak pada keluasan makna hak asal usul pada desa adat yang mencakup hal-hal, pertama, pengaturan dan pelaksanaan pemerintahan berdasaran susunan asli, kedua, pengaturan dan pengurusan ulayat atau wilayah adat, ketiga, pelestarian nilai sosial budaya desa adat.
Keempat, penyelesaian sengketa adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di desa adat dalam wilayah selaras dengan prinsip hak asasi manusia dengan mengutamakan penyelesaian secara musyawarah. Kelima, penyelenggaraan sidang perdamaian peradilan desa adat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, keenam, pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban masyarakat desa adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di desa adat.
Ketujuh, pengembangan kehidupan hukum adat sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat desa adat.
Pada dasarnya, nomenklatur desa adat adalah salah satu upaya mewujudkan amanat konstitusi. Sejak awal, kontitusi Indonesia telah mengakui hak-hak ‘susunan asli’ di Indonesia.
Hal ini terlihat jelas pada Penjelasan untuk Pasal 18 UUD 1945. Pada butir II disebutkan, “dalam territoir negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 “Zelfbesturende landschappen” dan“Volksgemeenschappen,” seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan lain-lain.
Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, karena itu dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.
Negara Indonesia, menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa itu dan segala peraturan negara mengenai daerah ini akan mengingat hak-hak asal-usul daerah itu.
Amanat konstitusi
Meski begitu, alih-alih menterjemahkan ke dalam kebijakan lebih operasional. Yang terjadi pada masa-masa berikutnya justru pelanggaran ataupun pengingkaran terhadap sejumlah hak asal-usul, seperti hak sosial-ekonomi, sosial-politik, dan hak-hak sosial-budaya yang melekat dalam ‘susunan asli’ itu. Ia juga menimbulkan dampak sosial dan ekologi yang tak kecil. Belakangan, muncul Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/2012 yang menegaskan kembali pengakuan yang ada dalam UUD 1945.
Karena itu, dalam konteks pengakuan hak-hak masyarakat hukum adat–sebagaimana amanatkan konstitusi–nomenklatur desa adat ini satu upaya melibatkan masyarakat adat dalam kegiatan pemerintahan dan pembangunan yang selama ini menyingkirkan mereka.
Nomenklatur desa adat pada dasarnya sebagai upaya menyelesaikan masalah hubungan negara dan masyarakat (hukum) adat yang memang sangat beragam itu.
Keberagaman itu tak hanya berdasarkan hal-hal yang bersifat turunan, seperti kategori ras, kelompok etnik, dan agama. Juga, berbeda dari hal-hal bersifat capaian, seperti kemampuan adaptasi lingkungan sosial, ekonomi, dan budaya, yang berpangkal pada sistem teknologi dan sistem mata pencarian. Pengakuan negara akan keberagaman ini tergambarkan ke dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika, yang lanjut dalam pengaturan konstitusi.
Secara praktis, kehadiran nomenkatur ini juga diharapkan sebagai titik awal bagi penyelesaian sengketa atau konflik penguasaan dan pengusahaan sumberdaya agraria dengan jumlah terus meningkat. Juga konflik tata batas desa dan kawasan hutan (negara).
Meski begitu, sepertinya momentum perubahan yang terbuka itu, tidak atau belum termanfaatkan optimal. Padahal, penerapan nomenklatur desa adat memerlukan persiapan sedemikian rupa agar distorsi dari politik desentralisasi juga otonomi pada tingkat komunitas– mulai sejak reformasi bergulir—tak terulang atau justru makin parah.
Belum optimal
Sebagaimana banyak disebutkan para ahli politik, desentralisasi dan otonomi komunitas terdistorsi, terwujud dalam sejumlah fenomena ‘patologi sosial’ semacam elite capture, diskriminasi antar etnik atau diskriminasi antar penduduk lokal dan pendatang. Juga, kekerasan berbasis kelompok etnik, atau kembalinya ‘raja-raja kecil’.
Soal kemungkinan terjadi sejumlah distorsi, UU Desa telah melengkapi diri dengan sejumlah norma hukum. Harapannya, dapat mengatasi persoalan-persoalan itu.
Contoh, desa adat dapat mengatur dan melaksanakan pemerintahan berdasar struktur pada susunan asli. Meskipun begitu, untuk menjamin asas-asas pengaturan desa lain terlaksana, pemerintahan desa adat tetap harus bisa menyelenggarakan “fungsi permusyawaratan dan musyawarah desa adat sesuai susunan asli atau bentuk baru dengan prakarsa masyarakat desa adat. Ini diatur dalam Pasal 108 UU Desa.
Demikian pula, Pasal 104, pelaksanaan kewenangan berdasarkan hak asal-usul harus memperhatikan prinsip keberagaman. Bahkan, untuk memastikan pemerintahan desa adat dapat berjalan sebagaimana mestinya, pada Pasal 98 ayat (2), diatur pula, “pembentukan desa adat setelah penetapan sebagaimana ayat (1) dengan memperhatikan faktor penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, serta pemberdayaan masyarakat desa dan sarana prasarana pendukung.”
Pada akhirnya, sejauh tak diatur khusus pada Bab XIII tentang ‘Ketentuan Khusus Desa Adat’, sebagaimana Pasal 111 ayat (2), ketentuan tentang desa berlaku juga untuk desa adat. Artinya, pengakuan terhadap nomenklatur desa adat bukan tanpa merujuk pada asas pengaturan desa (Pasal 3) dan asas penyelenggaraan pemerintahan desa, sebagaimana Pasal 24.
Meski begitu, sejauh data tersedia, respon pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota dalam memanfaatkan peluang penerapan nomenklatur desa adat masih rendah. Setidaknya, hanya ada dua inisiatif berarti di tingkat provinsi, Sumatera Barat dan Bali.
Perlu upaya khusus
Hingga kini, peraturan daerah provinsi tentang pengaturan desa adat, seperti amanat Pasal 109 hanya terwujud di Sumatera Barat, dengan penetapan Perda Sumatera Barat Nomor 7/2018 tentang Nagari.
Perda ini mengamanatkan pengaturan lebih lanjut dalam peraturan daerah kabupaten dan kota. Sayangnya, sudah hampir dua tahun berlalu, perda penetapan desa adat di kabupaten maupun kota di Sumatera Barat, tak kunjung terjadi.
Di Bali, karena ada penolakan dari berbagai kalangan, yang muncul Peraturan Daerah Bali Nomor 4/2019 tentang Desa Adat. Ia sama sekali tak menyebut UU Desa No 6/2014 dalam konsiderannya. Jadi, dualitas di Bali tetap berlangsung. Sampai tingkat tertentu ketegangan antara desa dinas dan desa adat di Bali, terus belanjut meski tak lagi muncul dalam perdebatan di ranah publik.
Dalam situasi demikian, wajar saja bila penetapan desa adat seperti Pasal 98 di seantero negeri belum lagi beringsut.
Untuk itu, perlu upaya-upaya khusus. Beberapa langkah strategis perlu dilakukan, pertama, menyusun peraturan pemerintah tentang desa adat, kedua, sosialisasi tentang peluang dan tantangan nomenklatur desa adat di berbagai daerah yang relevan.
Ketiga, mengembangkan kapasitas para pihak yang berkepentingan dengan penerapan nomenklatur desa adat ini.
Untuk itu, inisiatif di Manuhing Raya itu, perlu disambut walau dengan harap-harap cemas.
*Penulis adalah pakar antropologi juga peneliti Pusat Etnografi Komunitas Adat di Yogyakarta. Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis.
Keterangan foto utama: Ilustrasi. Rumah adat di kampung adat Wologai di kecamatan Detusoko, kabupaten Ende, NTT, yang merupakan salah satu kampung adat di sekitar kawasan Taman Nasional Kelimutu. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.