- Hariadi Kartodiharjo, guru besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) mengatakan, omnibus law justru jadi ancaman bagi upaya pelestarian hutan dan lingkungan.
- Omnibus law, juga dinilai belum bisa menjawab keterlanjuran penggunaan tanah dan hutan.
- Pemerintah dan DPR, harus melihat fakta lapangan dan mencari formulasi tepat untuk menyelesaikan dalam konteks omnibus law. Problematika lapangan, sangat besar dan kompleks.
- Pemerintah harus terbuka dalam membahas soal omnibus law. Dengan ada omnibus law ini, jangan sampai kehadiran RUU ini tidak menyelesaikan masalah, justru memindahkan.
Pemerintah mulai memproses penyederhanaan hukum (omnibus law) antara lain, dengan mengajukan Rancangan Undang-undang Cipta Lapangan Kerja, awal Januari 2020. Berbagai kalangan pun angkat suara. Mereka khawatir, omnibus law malah mengancam lingkungan dan menambah masalah sosial.
Hariadi Kartodiharjo, guru besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) dalam konferensi pers di Jakarta, pertengahan Januari lalu mengatakan, omnibus law justru jadi ancaman bagi upaya pelestarian hutan dan lingkungan.
Dia bilang, ada asumsi perjalanan atau investasi lambat bisa selesai dengan pengurangan pasal-pasal yang menghambat. Dia contohkan, dari draf RUU Cipta Lapangan Kerja, bisa melihat ada puluhan UU dengan besar pasal-pasal yang dianggap menghambat investasi dimatikan.
“Ini untuk mempercepat investasi. Jadi, tugas omnibus law adalah mencabut pasal-pasal yang dianggap menghambat investasi,” katanya.
Pada periode pertama Pemerintahan Joko Widodo menggagas Nawacita. Hal ini buat memastikan struktur adil dalam pengelolaan sumber daya alam termasuk hutan.
Dia juga mengapresiasi hal-hal yang sudah dilakukan pemerintah untuk mencapai hal ini meski dalam perjalanan banyak hambatan. Namun, katanya, dengan ada omnibus law, bertentangan dengan semangat Nawacita.
“Kalau yang jadi acuan dalam omnibus law itu adalah RDTR (rencana detail tata ruang-red), kita tahu, di lapangan tak sesuai kenyataan naik provinsi maupun kabupaten.”
Dia mempertanyakan, bagaimana berbagai masalah lingkungan dan sosial masyarakat bisa selesai dengan omnibus law.
“Apakah ketika pasal-pasal yang dianggap menghambaat investasi dicabut, semua permasalahan akan selesai? Itu jadi pertanyaan besar,” katanya.
Terkait aspek perizinan, kata Hariadi, dalam draf RUU akan menyempitkan ruang partisipasi masyarakat dan jelas keliru.
Mempercepat perizinan, katanya, tak lantas menghilangkan aspek partisipasi masyarakat.
“Tujuannya jelas, kalau mungkin orang berpikir supaya izin cepat maka semua partisipasi masyarakat dihentikan. Dalilnya, asal sesuai RDTR, partisipasi masyarakat tak diperlukan. Ini bisa saja terjadi kalau RDTR bener. Kita tahu fakta di lapangan tidak seperti itu. Kok persoalan sedahsyat itu justru ada pembatasan partisipasi masyarakat.”
Dia bilang, problem selama ini bukan terdapat dari pasal Undang-undang tetapi pada konteks kelembagaan. “Apakah lebih efisien dan baik dari sebelumnya, semua belum jelas.”
Lalu, soal penyimpangan penggunaan wewenang. Dalam kondisi reformasi birokrasi yang relatif tidak jalan, hambatan-hambatan itu justru ada di tidak jalannya atau penyimpangan dari kewenangan.
Omnibus law, menurut Hariadi, belum bisa menjawab keterlanjuran penggunaan tanah dan hutan. Dia ragu, kalaupun sekian banyak pasal dianggap menghambat investasi dicabut, permasalahan keterlanjutan penguasaan tanah dan hutan belum selesai.
“Karena kita juga melihat upaya untuk mempercepat perizinan ini tidak sejalan dengan upaya menyelesaikan persoalan tumpang tindih dan penyelesaian konflik. Tidak ada artikulasinya.”
Sementara dalil omnibus law, katanya, supaya efisien menggunakan peta elektronik. Bahkan, ada usul dari Timnas Omnibus Law agar penunjukan dan tata batas hutan dihilangkan, semua menggunakan elektronik. “Padahal ini bukan soal pemetaan saja. Juga menyangkut sosial, budaya dan pengetahuan masyarakat yang ada di dalamnya,” katanya.
Masalah, tak akan selesai hanya dengan peta elektronik yang hanya dikuasai pemegang izin. Dia bilang, ada pertentangan-pertentangan terkait asumsi dasar di omnibus law ini.
Masalah di lapangan, katanya, tak akan selesai kalau hanya fokus pada perizinan. Sebab, ada problem lain yang harus diselesaikan, seperti konflik tenurial, kekerasan dan kriminalisasi terhadap masyarakat. “Ini belum mampu dijawab oleh omnibus law.”
Risiko lain, katanya, terkait daya dukung dan daya tampung lingkungan. Mempercepat perizinan, dalam omnibus law tak mempertimbangkan kedua aspek itu.
“Beberapa hal berkaitan dengan mempercepat perizinan dilakukan dengan cara mencabut pasal-pasal yang justru sebenarnya pasal-pasal itu melindungi lingkungan hidup,” katanya.
Pemerintah dan DPR, katanya, harus melihat fakta lapangan dan mencari formulasi tepat untuk menyelesaikan dalam konteks omnibus law. Problematika lapangan, katanya, sangat besar dan kompleks.
“Jangan sampai karena bertujuan menyederhanakan aspek perizinan, justru mengabaikan aspek lain, seperti lingkungan hidup dan partisipasi masyarakat.”
Dia berharap, pemerintah dan DPR berkonsultasi publik secara intens untuk membahas mengenai omnibus law.
Aryanto Nugroho, dari Publish What You Pay (PWYP) Indonesia mengatakan, sejauh ini publik juga tidak tahu mana pembahasan mengenai omnibus law. Semua pihak masih meraba-raba. Meskipun ada diskusi, tetapi tak tahu membahas draf yang mana.
“Kalau kita ingat diskusi reformasi dikorupsi tahun lalu, orang-orang dulu beramai-ramau demonstrasi menolak RUU Pertanahan, RUU Minerba, KUHP dan lainnya. Waktu itu penolakan dari masyarakat timbul karana ada pasal-pasal bermasalah di RUU itu. Kekhawatiran kami jangan sampai pasal-pasal yang bermasalah ini muncul di omnibus law,” katanya.
Dia berharap, pemerintah terbuka dalam membahas soal omnibus law. Dia mengingatkan, jangan sampai kehadiran RUU ini tidak menyelesaikan masalah, justru memindahkan.
Aryanto bilang, jangan sampai omnibus law justru membuka ruang untuk eksploitasi sumber daya alam berlebihan. Selama ini, ada banyak kasus lubang tambang belum terselesaikan yang menunjukkan sisi lemah pengawasan.
“Kalau pengawasan masih lemah dan luas tidak dibatasi, akan nambah masalah. Makin luas makin sulit diawasi. Jangan sampai ada kekahwatiran, UU itu bukan buat masyarakat, tapi buat pengusaha. Harus ada perspektif dari masyarakat. Tidak hanya dari pengusaha saja.”
Keterangan foto utama: Dengan mengabaikan aspek lingkungan, jangan sampai aturan omnibus law malah menciptakan masalah lingkungan lebih parah, seperti kebakaran hutan. Foto: Anton Wisuda/ Mongabay Indonesia