- Pada 15 Januari 2020, Presiden Jokowi menggelar rapat terbatas soal penyusunan RUU yang menyederhanakan aturan ini. Jokowi berharap, pembahasan dua rancangan aturan omnibus law, yakni, RUU Cipta Lapangan Kerja dan RUU Perpajakan bisa rampung dalam 100 hari kerja setelah draf pemerintah ajukan pada Januari 2020.
- Bambang Hendroyono, Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan, dari 11 kluster teridentifikasi dalam omnibus law, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ada pada tiga kluster, seperti perizinan berusaha baik lingkungan hidup maupun kehutanan, kluster perngadaan lahan dan pengenaan sanksi.
- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan akan menekankan basis konsep risk based approach dan Undang-undang Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, tetap jadi filosofi dan yuridiksi yang diselaraskan tanpa mengubah prinsip lingkungan.
- Reynaldo Sembiring, Deputi Direktur—kini Direktur– Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL) menilai, penyederhanaan proses perizinan yang jadi alasan investasi seharusnya diatasi dengan pemberantasan mafia perizinan.
Penyederhaan Undang-undang, atau dikenal dengan omnibus law macam jadi prioritas kejar tayang pemerintah. Pada pidato pelantikan Presiden Joko Widodo, 20 Oktober lalu tercetus ide pecepatan pertumbuhan ekonomi—peningkatan investasi–melalui omnibus law yang kini muncul lewat Rancangan Undang-uncang Cipta Lapangan Kerja. RUU ini memicu kontroversial yang memicu kekhawatiran jadi aturan “sapu jagat” karena memotong banyak regulasi penting dalam proses pembangunan, terutama terkait lingkungan hidup.
Pada 15 Januari 2020, Presiden Jokowi menggelar rapat terbatas soal penyusunan RUU yang menyederhanakan aturan ini. Jokowi berharap, pembahasan dua rancangan aturan omnibus law, yakni, RUU Cipta Lapangan Kerja dan RUU Perpajakan bisa rampung dalam 100 hari kerja setelah draf pemerintah ajukan pada Januari 2020.
Baca juga: Omnibus Law, Potensi Tambah Masalah Lingkungan dan Sosial
Dalam ratas itu, Jokowi menyebutkan, naskah RUU mencakup 11 klaster, antara lain, penyederhanaan perizinan, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, kemudahan, pemberdayaan, dan perlindungan UMKM. Lalu, kemudahan berusaha, dukungan riset dan inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi, pengadaan lahan, investasi dan proyek pemerintah dan kawasan ekonomi.
Dia mengingatkan jajarannya mengonsultasikan substansi RUU dengan seluruh pemangku kepentingan dan memberikan akses terhadap rancangan itu kepada publik sebelum maju kepada DPR. Harapannya, proses penyusunan menerapkan prinsip keterbukaan.
“Ini agar pendekatan kepada organisasi-organisasi juga dilakukan hingga berjalan paralel antara nanti pengajuan di DPR dan pendekatan-pendekatan dengan organisasi,” katanya dilansir dari laman Setneg.
Gayung bersambut. Pada 22 Januari 2020, DPR menetapkan RUU Cipta Lapangan Kerja atau masuk program legislasi nasional prioritas 2020.
Berdasarkan data Kementerian Hukum dan HAM per 23 Januari 2020, terdapat 8.451 peraturan pusat dan 15.965 peraturan daerah. Hal ini menggambarkan kompleksitas dan obesitas regulasi di Indonesia. Dengan ada RUU Cipta Lapangan Kerja, akan dapat mengurangi bahkan menghilangkan tumpang tindih antar peraturan perundang-undangan (PUU), efisiensi proses perubahan/pencabutan PUU, dan menghilangkan ego sektoral. Setelah indentifikasi kebijakan, ada 81 UU terdampak omnibus law Cipta Lapangan Kerja.
Susiwijono Moegiarso, Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menyebutkan, meski pembahasan substansi RUU telah selesai, pemerintah masih memeriksa detail per klaster untuk memastikan substansi regulasi.
Pada Minggu (26/1/20), draf RUU akan diserahkan kepada Airlangga Hartarto, Menko Perekonomian untuk disahkan secara substansi. Senin (27/1/20), Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) akan menghadap Presiden Jokowi untuk membahas progres terbaru omnibus law. Rapat terbatas kemudian, guna pemberian paraf presiden dan menteri-menteri terhadap draf dan naskah akademik RUU itu.
“Begitu sudah paraf dan dikirim surat presiden kepada DPR, kemudian akan dibahas dalam sidang paripurna, baru akan dibahas ke publik. Jadi, dijamin yang beredar (sekarang) tidak benar, karena masih ada di kami,” kata Susiwijono.
Setelah proses supres dikirim ke DPR, dia menjamin bahwa draf RUU dan naskah akademik akan terbuka buat publik.
Porsi KLHK
Bambang Hendroyono, Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan, dari 11 kluster teridentifikasi dalam omnibus law, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ada pada tiga kluster, seperti perizinan berusaha baik lingkungan hidup maupun kehutanan, kluster perngadaan lahan dan pengenaan sanksi.
Dia bilang, analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) tetap ada dan termasuk dalam izin berusaha, terutama usaha yang berisiko tinggi bagi lingkungan.
“Kita terus membahas secara hati-hati, karena dalam RUU Cipta Lapangan Kerja justru bagaimana kami mendukung investasi yang tak lepas dari basis lingkungan, selain ekonomi dan sosial,” katanya.
KLHK, katanya, akan menekankan basis konsep risk based approach dan Undang-undang Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, tetap jadi filosofi dan yuridiksi yang diselaraskan tanpa mengubah prinsip lingkungan.
KLHK, kata Bambang, jadi menjadi pintu masuk bagi seluruh sektor dalam melaksanakan pembangunan nasional dengan tetap menjunjung tinggi prinsip-prinsip lingkungan.
”Justru dalam kesempatan omnibus law ini, kami sekaligus memperbaiki tata kelola, mekanisme prosedur seperti yang disampaikan Bapak Presiden dalam visinya yakni penyederhanaan birokrasi, yang tidak boleh lagi menghambat investasi karena prosedur berbelit-belit.”
Adapun kriteria berisiko tinggi, katanya, umumnya izin sektor kehutanan, perkebunan dan pertambangan yang dalam operasi berdampak pada perubahan bentang alam, pencemaran lingkungan, kerusakan dan kegaduhan bagi masyarakat.
”Izin lingkungan itu sekarang ditapis dengan amdal. UKL/UPL tetap masih ada dalam kondisi (usaha) berisiko tinggi dan berisiko berat. Itu dorongannya memang amdal jadi acuan dan mekanisme tata kelola lebih rapi,” katanya.
Adapun, proses upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup (UKL/UPL) akan dikenal dengan standar pengelolaan lingkungan hidup. Bagi usaha berisiko sedang, masih mensyaratkan UKL/UPL. Bagi izin usaha berisiko ringan, hanya registrasi.
“Tidak ada yang harus dikhawatirkan, karena yang namanya amdal itu pesan moral, dalam berusaha itu harus diperhatikan prinsip-prinsip lingkungan. Yang jadi persoalan kan saat ini sebenarnya percepatan itu bisa dilakukan, maka mekanisme itu harus dibangun dengan jelas,” kata Bambang.
Amdal jadi ‘pesan moral’ dalam menjalankan sebuah usaha, katanya, kalau terjadi pelanggaran dari komitmen itu akan ada sanksi bahkan pencabutan izin. Bambang menampik, dalam RUU ini akan menghilangkan sanksi pidana kepada korporasi yang melanggar.
“Sanksi itu mungkin di UU Lingkungan Hidup masih bisa kita pakai, tapi yang pasti memang tahapan ada teguran lisan, paksaan pemerintah, pembekuan izin, atau penghentian sementara, pencabutan izin, kemudian baru ke sanksi perdata atau pidana. Tetap itu.”
Selain itu, di UU Kehutanan No 41/1999 akan terjadi revisi soal percepatan perizinan berusaha dengan menyatukan satu izin dari beberapa izin usaha yang selama ini terpisah-pisah.
“Selama ini, izin usaha HTI (hutan tanaman industri-red) kan sendiri, izin usaha kehutanan sendiri, hutan produksi sendiri, padahal RUU ini bisa kita fokus dengan sangat efisien izin usaha pemanfaatan hutan. Di dalamnya ada HHBK (hasil hutan bukan kayu), ada kayu, ada lingkungan dan lain-lain, itu efisiensi. Begitu mereka investasi, kelola hutan itu terintegrasi.”
Bambang mengatakan, keterlibatan masyarakat dalam perizinan memiliki porsi cukup besar dalam RUU ini, khusus yang terkena dampak.
Menurut Susiwijono, isu besar dalam omnibus law Cipta Lapangan Kerja ini ada di klaster pertama, yaitu penyederhaan perizinan berusaha, terbagi atas 18 sub klaster, yakni, lokasi, lingkungan, bangunan gedung, pertanian, kehutanan, kelautan perikanan, ESDM, ketenaganukliran, perindustrian.
Kemudian, perdagangan, kesehatan obat & makanan, pariwisata, pendidikan, keagamaan, perhubungan, PUPR, pos & telekomunikasi, pertahanan & keamanan. Dalam pembahasan terakhir terdapat 52 UU dan 770 pasal terdampak termasuk dalam klaster pertama ini.
Perizinan dasar yang penting adalah izin lokasi, izin lingkungan dan izin bangunan gedung. Yang termasuk persoalan izin lokasi, akan berganti dengan penggunaan peta digital rencana detail tata ruang (RDTR), ada pengintegrasian rencana tata ruang (matra darat) dan rencana zonasi (matra laut).
“Intinya, kita tidak ada menghapus sama sekali izin mendirikan bangunan dan izin lingkungan atau amdal, yang dilakukan membuat standar berdasarkan risiko dari masing-masing usaha itu,” katanya.
Himawan Arief Sugoto, Sekretaris Jenderal Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menerangkan, dengan RUU Cipta Lapangan Kerja, salah satu hal penting yaitu kecepatan pengadaan lahan makin dipercepat, kemudian akan dibentuk bank tanah untuk menjamin ketersediaan tanah untuk penciptaan lapangan kerja baru.
“Jadi, ini banyak potensi untuk kepentingan umum, sosial, dan mendukung reforma agraria,” katanya.
Banyak kepentingan bermain
Reynaldo Sembiring, Deputi Direktur—kini Direktur– Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL) menilai, penyederhanaan proses perizinan yang jadi alasan investasi seharusnya diatasi dengan pemberantasan mafia perizinan.
”Perilaku koruptif dalam perizinan sumber daya alam itu memang terbukti. Bahkan, KPK menyebutkan, kerugian lingkungan lebih dari 50% kasus yang ditangani berasal dari sumber daya alam,” katanya.
Kondisi ini, katanya, membuktikan ada mafia bermain dalam perizinan. Dia menekankan, jangan sampai amdal hapus karena ketidakmampuan pemerintah dalam memberantas mafia sumber daya alam. “Jangan hapus izin lingkungan.”
Keterangan foto utama: Deforestasi di sekitar Tumabang Anoi pada Desember 2017. Ada omnibus law, bisa mencegah deforestasi, atau sebaliknya? Foto: Gecko Project/ Mongabay
Melalui amdal, kata Dodo, sapaan akrabnya, pemerintah bisa memetakan sumber daya alam, kerusakan dan pencemaran, dan potensi konflik.
Idealnya, dalam pembenahan sebuah sistem perizinan adalah birokrasi ideal terlebih dahulu, baru percepatan.
Mas Achmad Santosa, ahli hukum lingkungan Universitas Indonesia mengatakan, wacana pemerintah memasukkan amdal dalam RUU omnibus law ini untuk mengikis potensi yang menghambat investasi. Padahal, ekologi kian kritis, katanya, amdal jadi bagian penting dalam konsep pembangunan berkelanjutan.
”Negara dengan peringkat kemudahan berbisnis justru mempertimbangkan aspek lingkungan. Amdal ini penting hingga harus diperbaiki dari penyalanggunaan.”
Saat ini, kata Ota, sapaan akrabnya, terdapat titik-titik pelaksanaan amdal yang berpotensi terjadi berbagai penyimpangan, seperti suap dan memperlambat izin. Hal ini seringkali jadi keluhan investor. Untuk perizinan amdal dan IMB memakan waktu dan biaya tinggi bahkan, tak sesuai peraturan berlaku.
”Di negara ASEAN sendiri, semuanya sudah menggunakan Amdal dan saat ini lebih ketat dan kuat. Indonesia terkenal dengan perlindungan lingkungan kuat, amdal tidak bisa ditinggalkan.” Kalau bicara tujuan pembangunan berkelanjutan, amdal jadi salah satu instrumen.
Indonesia masih mencatatkan pertumbuhan ekonomi sekitar 5% per tahun. Pemerintah menargetkan, pertumbuhan ekonomi 6% per tahun dan menampung 2 juta pekerja baru.
Pemerintah masih memiliki berbagai masalah, seperti tumpang tindih regulasi, efektivitas investasi rendah, pemberdayaan usaha menengah, kecil dan mikro (UMKM) masih dianggap belum maksimal bahkan angka pengangguran masih tercatat 7,05 juta orang.
Percepatan investasi dianggap menjadi jalan keluar. Perhitungan pemerintah, mencapai target pertumbuhan ekonomi Indonesia memerlukan investasi baru Rp4.800 triliun atau 1% pertumbuhan ekonomi dengan perkiraan perlu Rp800 triliun.