- Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat, yang bentang alamnya menghubungkan Bukit Barisan dengan pesisir barat Sumatera, memiliki 132 sungai. Berbagai aktivitas ekonomi menyebabkan sungai-sungai tersebut terancam rusak.
- Sebuah kelompok arung jeram, yakni Arung Jeram Bonjol coba menggalang generasi muda di Pasaman. Selain sebagai sarana olahraga, juga melakukan berbagai kegiatan yang peduli sungai, seperti membersihkan sampah dan penanaman pohon.
- Berbagai persoalan terjadi pada sungai-sungai di Pasaman. Mulai dari perambahan hutan, penambangan batu kali, hingga penambangan emas rakyat. Dampaknya, terjadi abrasi dan menurunnya kualitas air sungai. Dibutuhkan solusi mengatasi ini semua.
- Kebesaran sejarah perjuangan Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Rao melawan penjajahan Belanda, dan Bonjol sebagai wilayah equator, sebetulnya dapat dijadikan sumber ekonomi kreatif masyarakat, seperti pariwisata, yang dapat dikembangkan pemerintah dan masyarakat sebagai sumber ekonomi dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan.
Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat, yang luasnya sekitar 394.763 hektar, memiliki bentang alam yang menghubungkan Bukit Barisan dengan pesisir barat Sumatera. Di wilayah permukiman tua ini, terdapat sekitar 132 sungai. Tiga sungai besarnya adalah Sungai Sumpu, Sungai Alahan Panjang, dan Sungai Tibawen. Bagaimana cara generasi muda Pasaman menjaga kelestarian sungai-sungai tersebut?
“Kami membentuk kelompok Arung Jeram Bonjol. Tujuannya selain sebagai sarana olahraga, juga upaya melestarikan sungai-sungai di Pasaman, khususnya Sungai Alahan Panjang,” kata Erik Candan, Ketua FAJI [Federasi Arung Jeram Indonesia] Pasaman, 21 Januari 2020 lalu.
Baca: Danau Maninjau, Buya Hamka dan BIOS 44

“Melalui kegiatan arung jeram, kami juga melakukan berbagai kegiatan, seperti membersihkan sampah setiap pekan, dan melakukan penanaman pohon di sepanjang pinggiran sungai yang mengalami kerusakan. Kami banyak menanam pohon pinang dan bambu,” lanjutnya.
Kelompok Arung Jeram Bonjol didirikan tahun 2015. Lokasinya berada di tepi Sungai Alahan Panjang dan Jalan Lintas Tengah Sumatera di Bonjol, Pasaman. Puluhan anak muda di Pasaman, bergabung dengan kelompok arum jeram ini.
“Kami juga menyediakan jasa untuk mereka [wisatawan] yang ingin memacu adrenalin dan menikmati Sungai Alahan Panjang,” ujarnya.

Sungai Alahan Panjang berhulu di Bukit Barisan. Sungai yang belum diketahui data panjangnya ini sebagian besar mengalir sepanjang Jalan Lintas Sumatera di Kabupaten Pasaman, yang kemudian melalui Kabupaten Agam, sebelum bermuara di Samudera Hindia.
Keberadaan sungai ini, seperti sungai lainnya di Pasaman, merupakan bagian terpenting dari kehidupan masyarakat.

Hampir semua warga di Pasaman bergantung air bersih alami, baik dari mata air di Bukit Barisan maupun dari sungai yang mengalir. Mulai sebagai air minum, mencuci dan mandi, serta pertanian seperti persawahan dan perikanan.

Ironi
Berdasarkan pantauan Mongabay Indonesia, seperti umumnya sungai di Indonesia, sampah merupakan persoalan menonjol di Sungai Alahan Panjang. Berikutnya, habisnya hutan di tepian sungai, serta aktivitas penambangan liar batu kali yang dilakukan sejumlah warga, adalah persoalan utama yang dihadapi sungai ini. Akibatnya, ratusan meter tepian sungai mengalami abrasi.
“Sulit mencegah warga untuk tidak lagi mencari batu kali di Sungai Alahan Panjang, sebab itu merupakan mata pencaharian mereka. Kalau dilarang harus ada solusi pekerjaan untuk mereka,” kata seorang warga Bonjol.

Kabupaten Pasaman, yang terdiri 12 nagari, merupakan wilayah di Sumatera Barat, yang warganya hidup miskin. Berdasarkan data BPS [Badan Pusat Statistik] pada 2017, tingkat kemiskinan di Kabupaten Pasaman sekitar 7,60 persen dari sekitar 266.462 penduduknya.

Fakta ini cukup ironi. Sebab, Pasaman merupakan wilayah lintasan antara Sumatera Barat menuju Sumatera Utara sejak di era pemerintah Belanda.
Selain itu, Pasaman merupakan simbol perlawanan atau perjuangan terhadap pemerintah Belanda. Tuanku Imam Bonjol [Pahlawan Nasional] dan Tuanku Rao, dua pemuka agama di masa lalu, begitu dikenal memimpin peperangan melawan Belanda, yang dikenal sebagai Perang Paderi [1821-1830].

Tanah kelahiran dua tokoh pejuang tersebut menjadi nagari, yakni Nagari Bonjol dan Nagari Rao. Di Bonjol saat ini terdapat benteng pertahanan pasukan Tuanku Imam Bonjol saat melawan Belanda.
Selain itu, Nagari Bonjol saat ini merupakan salah satu titik lintasan garis khatulistiwa [equator] di Indonesia saat ini.
“Seharusnya, kebesaran sejarah dua tokoh tersebut dapat menjadi potensi ekonomi kreatif, seperti pariwisata, yang dapat mendorong kesejahteraan masyarakatnya. Ini dapat dilakukan pemerintah maupun pelaku usaha yang melibatkan masyarakat, tentunya dengan tetap menjaga lingkungan,” kata Hendra Bonjo, tokoh pemuda masyarakat Nagari Bonjol yang berminat pada persoalan sejarah dan budaya Bonjol.
*Arbi Tanjung. Pemerhati lingkungan dan budaya di Sumatera Barat.