- Ancaman dan kejadian bencana cenderung meningkat baik korban jiwa maupun kerugian sosial ekonomi serta kerusakan infrastruktur penting. Presiden Joko Widodo, mengingatkan, pencegahan bencana harus jadi prioritas.
- Presiden memerintahkan, seluruh instansi pemerintah di pusat maupun daerah (provinsi, kabupaten, kota), harus bersama-sama bersinergi melakukan pencegahan, mitigasi dan meningkatkan kesiapsiagaan bencana.
- Penanganan bencana, harus melalui pendekatan menyeluruh (holistik), tak hanya mengandalkan pembangunan infrastruktur tanggul penahan longsor dalam mengatasi persoalan ini. Ekologi, harus diperbaiki, seperti penghijauan kembali. Selama tidak penanaman pohon-pohon keras yang memiliki akar-akar serabut panjang, longsor akan terus terjadi.
- Presiden Jokowi contohkan upaya pencegahan bencana dengan menanam akar wangi bersama tanaman keras lain seperti pohon buah-buahan, misal petai, jengkol, rambutan dan lain-lain.
Presiden Joko Widodo kembali menekankan pencegahan harus menjadi prioritas dalam mengatasi bencana. Terlebih, ancaman dan kejadian bencana cenderung meningkat baik korban jiwa maupun kerugian sosial ekonomi serta kerusakan infrastruktur penting.
“Saya tahu, ada bencana, BNPB sigap datang pertama menyelamatkan dan meringankan beban para korban. Walaupun kita bekerja keras membantu korban, penderitaan telah terjadi, kerugian masyarakat dan bangsa harus kita tanggung,” kata presiden menyampaikan arahan upaya pencegahan bencana dalam Rakornas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) di Sentul International Convention Centre (SICC) Bogor, Selasa (4/2/20).
Jokowi bilang, kondisi tambah mengkhawatirkan karena ancaman bencana makin meningkat dari tahun ke tahun. Tak hanya di Indonesia, katanya, juga di negara-negara lain terutama karena perubahan iklim global karena perbuatan manusia.
Baca juga: BMKG : Waspadai Potensi Cuaca Ekstrim Hujan Lebat Pasca Banjir Jakarta
Kala musim penghujan, bencana juga mengintai seperti banjir, banjir bandang dan tanah longsor. “Selalu itu yang kita lihat setiap tahun. Hal ini yang harus segera diatasi bersama.”
Sehari sebelumnya, Jokowi mengunjungi Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Wilayah ini rawan longsor dan berulang.
Baca: Korban Tewas Banjir Jabodetabek 60 Orang, BNPB Sebut Tambang Penyebab Bencana di Lebak
Penanganan, katanya, harus melalui pendekatan holistik, tak hanya mengandalkan pembangunan infrastruktur tanggul penahan longsor dalam mengatasi persoalan ini. Ekologi, katanya, harus diperbaiki, seperti penghijauan kembali. Selama tidak penanaman pohon-pohon keras yang memiliki akar-akar serabut panjang, katanya, longsor akan terus terjadi.
“Jangan urusan fisik saja. Dibuat tanggul penahan penting tapi yang lebih penting, akan lebih permanen apabila kita mau merehabilitasi lahan, menanam pohon-pohon yang memiliki akar kuat hingga longsor itu tidak terjadi. Ini mau saya kenalkan,” katanya.
Kalau banyak longsor di daerah, banjir, untuk menahan tanah-tanah agar tidak tererosi, sedimen tidak masuk ke waduk dan sungai, tanam vetiver atau akar wangi.
Tanaman ini, dalam setahun, akar bisa mencapai setengah hingga satu meter. Dalam tiga sampai empat tahun, bisa tiga, sampai empat meter masuk ke tanah. Di Kecamatan Sukajaya, dia menanam akar wangi.
Menanam akar wangi, agar lahan-lahan tidak kritis. Selain itu, juga tanam tanaman keras seperti durian, jambu, jengkol dan rasamala.
“Ini harus mulai dikenalkan. Saya kemarin sudah sampaikan kepada Pak Jenderal Doni Monardo (Kepala BNPB-red). Vetiver harus diperbanyak bibitnya, sebarkan ke daerah-daerah yang memiliki ancaman bencana, terutama banjir dan tanah longsor,” katanya.
Dia bilang, Gubernur Jawa Barat langsung pesan 50 juta bibit. “Saya bilang, separuh buat sendiri, separuh nanti dari pusat. Jangan semua minta dari pusat, bagi-bagi.”
Jokowi contohkan lagi di Waduk Gajah Mungkur, Jawa Tengah, terjadi sedimentasi setiap tahun. Pengerukan dengan berbagai alat berat, katanya, tak akan menyelesaikan masalah kalau tak ada perbaikan lahan di hulu.
“Rehabilitasi lahan, penanaman, penghijauan kembali. Ya, ini juga sama, butuh yang namanya vetiver, penting nanem sebanyak-banyaknya,” katanya, seraya bilang tanaman ini juga murah, perbatang Rp2.000.
Evakuasi korban banjir di Jawa Tengah. Foto: BNPB
Dia meminta bupati, walikota dan gubernur di daerah lain menyiapkan tanaman ‘penjaga’ erosi ini meskipun tetap ada bantuan pusat.
“Kalau tanah longsor, banjir bandang, tanam vetiver juga kombinasi dengan pohon-pohon lain. Kemarin kita juga nanem pohon jengkol, durian, sengon, petai. Jadi [manfaat] ekonomi ngambil dari situ biar enggak ngambil dari akar wanginya, kombinasi itu harus dilakukan.”
Jokowi juga mengatakan, Indonesia yang berada di ring of fire bencana lain seperti gempa bumi, letusan gunung berapi dan tsunami.
“Mulai harus kita pikirkan, dirancang lagi. Yang namanya di pantai-pantai itu harus mulai ditanam mangrove. Jangan lupakan mangrove, cemara laut, pule, beringin. Ini akan menghambat, mengurangi dampak tsunami.”
Indonesia juga kawasan rawan gempa bumi, yang kemungkinan menimbulkan tsunami. Kalau tak ada penghalang apa-apa, begitu ada tsunami langsung ke rumah, ke perkampungan dan sangat berbahaya. “Semua harus diingatkan ini, terutama masyarakat.”
Manajemen bencana
Dia menyakini, banyak bencana bisa dicegah atau minimal dikurangi tetapi tak dilakukan. Untuk itu, katanya, pengaturan atau manajemen bencana harus jelas.
“Selama ini kita masih sering tergagap-gagap, daerah tahapan manajemen seperti apa, ini harus miliki semua dalam menghadapi bencana, menghadapi kerusakan infrastruktur, menampung pengungsi, dan melakukan pemulihan,” katanya.
Jokowi pun memerintahkan, seluruh instansi pemerintah di pusat maupun daerah (provinsi, kabupaten, kota), harus bersama-sama bersinergi melakukan pencegahan, mitigasi dan meningkatkan kesiapsiagaan.
“Saya lihat selama ini sudah cukup baik tapi perlu lagi kita tingkatkan agar lebih baik lagi,” katanya.
Dia juga memerintahkan jajarannya mengendalikan tata ruang berbasis pada risiko bencana. “Pak Sekda, kendalikan ini bersama dinas-dinas terkait. Selalu sigap dalam menghadapi potensi-potensi risiko sesuai karakteristik wilayah dan potensi ancaman, baik itu geologi, vulkanologi, hidrometeorologi, biologi, serta limbah dan pencemaran lingkungan.”
Kepada gubernur, bupati, walikota, Jokowi memerintahkan segera menyusun rencana kontigensi, termasuk penyediaan sarana prasarana kesiapsiagaan yang betul-betul dapat dilaksanakan semua pihak. Semua pihak, katanya, harus siap menangani bencana hingga dapat bisa teratasi secara tuntas.
“Penanggulangan bencana harus dengan pendekatan kolaborasi pentahelix, yaitu, kolaborasi antara unsur pemerintah, akademisi, dan peneliti.
“Sudah saya sampaikan tahun lalu dan sudah dilaksanakan Pak Jenderal Doni Monardo. Juga akademisi, peneliti, dunia usaha, masyarakat, serta dukungan media massa untuk dapat menyampaikan pemberitaan kepada publik.”
Pemerintah pusat dan daerah, katanya, harus meningkatkan kepemimpinan dan pengembangan sumber daya manusia yang handal dalam penanggulangan bencana. Juga, penataan kelembagaan mumpuni, termasuk program dan anggaran yang harus ditingkatkan sesuai prioritas RPJMN 2020-2024.
Jokowi juga memerintahkan, kepada Panglima TNI dan kapolri, untuk terus turut dalam mendukung upaya penanggulangan bencana. Termasuk penegakan hukum, pengerahan dan dukungan secara nasional hingga ke daerah dan bersinergi dengan pemerintah daerah dan BNPB.
Presiden Joko Widodo, rehabilitasi lahan kritis di Kabupaten Bogor untuk mencegah bencana. Foto: BNPB
Waspada karhutla
Kemudian, presiden juga mengingatkan, soal kemarau dan ancaman kebakaran hutan dan lahan (gambut) karena beberapa daerah sudah masuk musim kemarau. “Hati-hati dengan ini. Ini kan kita sudah masuk ke musim kemarau, di Aceh dan Riau, sudah ada titik, mulai ada titik api,” katanya.
Pemadaman api karhutla, katanya, harus sedini mungkin agar tak meluas. Jangan sampai, katanya, pemadaman api justru ketika lahan terbakar sudah sangat luas.
“Hati-hati. Begitu api muncul satu, kecil, tolong segera padamkan…Ini sering orang lalai. Hati-hati, negara sebesar Australia saja sekarang ini kewalahan menghadapi kebakaran hutan yang mencapai 6 juta hektar dan kehilangan 500 juta fauna yang mereka miliki. Bayangkan betapa bencana ini bukan hanya urusan ekonomi tapi urusan bisa ke mana-mana,” katanya.
Penyebab karhutla, katanya, kemarau panjang dan ulah manusia. “Ulah masyarakat kita sendiri, mulai dari keteledoran sampai kesengajaan, juga kerusakan ekosistem dan lingkungan, serta tata ruang penataan lahan yang tak sesuai dengan risiko-risiko bencana,” katanya.
Jokowi juga singgung ancaman bencana lain seperti virus corona. “Hatihati dengan ini. Kita harus punya skenario kalau terjadi, moga-moga enggak terjadi di negara kita. Kalau terjadi, penyiapan apa, di mana, dikerjakan apa, step-step itu harus kita miliki. Kalau tidak, akan tergagap-gagap,” katanya.
Dia mengapresiasi sikap cepat Kementerian Luar Negeri bersama Kementerian Kesehatan dan BNPB didukung penuh Panglima TNI dan seluruh jajaran, kapolri, dalam mengevakuasi WNI di Hubei, Wuhan, balik ke tanah air.
“Dalam kecepatan yang sangat cepat. Diputuskan cepat, dilaksanakan juga sangat cepat. Hal-hal seperti ini yang saya apresiasi, kecepatan-kecepatan seperti itu.”
Perlu solusi permanen
Doni Monardo, Kepala BNPB mengatakan, siap menjalankan arahan presiden. Dia membenarkan, eskalasi bencana mengalami peningkatan dari tahun ke tahun jadi perlu solusi permanen.
Dia bilang, dalam berbagai kesempatan presiden menyampaikan beberapa kali tentang perlu menjaga dan merawat sinergitas antara pemerintah pusat dan daerah. Menurut Doni, perlu kesadaran kolektif semua pihak karena bencana buah perilaku manusia.
Untuk itu, katanya, tanpa terkecuali wajib bergotong royong menyumbangkan pikiran dan bakti guna pengurangan risiko bencana.
Sementara itu, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Badan Litbang dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memperkenalkan, metode soil bioengineering dalam pencegahan dan penanganan bencana tanah longsor. Tutupan vegetasi menjadi bagian penting dalam pelaksanaan, tanaman bidara laut, salah satu.
Metode soil bioengineering merupakan upaya preventif dalam menstabilkan kelerengan lahan dengan vegetasi. Tujuannya, akar tanaman dapat meningkatkan kohesi tanah (daya lengket tanah) sebagai sebuah sistem konstruksi alami penstabil lereng.
“Keefektifan ini banyak dibuktikan, tanah dengan vegetasi tanpa vegetasi bisa mengurangi aliran permukaan tanah hingga 60% bahkan lebih jika kondisi lahan bisa diciptakan seperti di hutan alam,” kata Budi Hadi Narendra, peneliti dari Puslitbang KLHK di Jakarta, belum lama ini.
Kalau di hutan alam, lebih 99% air terinfiltrasi dalam tanah dan kurang 1% air limpasan (run-off), hingga air mengalir dalam bentuk butir-butir air.
Tanaman, katanya jadi struktur utama dalam metode soil bionengineering. Metode ini, bisa juga kombinasi dengan rekayasa geoteknik atau penguatan tanah dengan konstruksi sipil teknis meski langkah itu perlu biaya relatif mahal.
Presiden Joko Widodo, bersama para menteri, usai penanaman akar wangi di Kabupaten Bogor. Foto: BNPB
Dalam metode ini, tanaman memiliki peran dalam efek hidrolik, yakni, mengurangi kejenuhan air dan efek mekanis, dengan meningkatkan kohesi tanah.
Pada lahan-lahan miring, seperti tebing, katanya, perlu jenis perakaran dengan banyak serabut. Tujuannya, meningkatkan daya cengkram hingga mampu mengurangi kemungkinan pergerakan tanah.
Puslitbang KLHK menyebutkan, pemilihan jenis tanaman menjadi kunci penting dalam keberhasilan pengendalian longsor lahan secara rekayasa vegetatif atau metode soil bioengineering. Ada 47 jenis tanaman diteliti yang mampu mengendalikan tanah longsor. Bidara laut (Strychnos lucida R.Br.), salah satu dari 47 jenis tanaman yang terbukti potensial dalam rehabilitasi lahan kritis dan mitigasi longsor.
Tanaman ini, katanya, memiliki sistem perakaran dalam dan kuat serta mampu menembus lapisan bidang tanah yang mampu mencegah longsoran. Penanaman bidara laut dalam upaya rehabilitasi perlu bersama tanaman lain agar tak monokultur dan memperkuat cengkraman tanah. Bidara laut, punya akar kuat dan pohon tak besar hingga tak terlalu membebani lereng. “Lebih bagus dikombinasikan dengan vetiver guna membentuk kanopi bertingkat, yaitu tajuk vetiver di lapisan bawah dan bidara lapisan atas,” katanya.
Tanaman ini, kata Budi, bukan endemis Pulau Jawa, hingga sulit ditanam, misal, di wilayah konservasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak yang alami longsor. Bidara laut, katanya, endemis Nusa Tenggara, Bali, Sulawesi dan sebagian Sumatera.
”Kita perlu lihat populasi tanaman itu ada atau tidak (di TNGHS-red), jika bukan alami sepertinya sulit masuk,” katanya.
Tak hanya bisa memitigasi longsor, tanaman ini juga bersifat ekonomis sebagai barang kerajinan yang memiliki nilai jual dan kandungan batang sebagai obat-obatan.
Ada juga pohon buah-buahan yang memiliki akar kuat, seperti, mangga dan nangka. Meski begitu, manga memiliki diameter batang besar hingga terlalu berat dan kurang cocok kalau tanam di tebing.
Chairil Anwar Siregar, peneliti Balitbang KLHK mengatakan, bambu juga memiliki perakaran kuat dan membuat stabil tanah. ”Saya katakan semua tanaman itu bagus, yang tidak bagus itu ketika tak ada tanaman. Tinggal kita memilih tanaman, jika terlalu curam lahan, perlu disesuaikan agar tidak menjadi beban dan berat,” katanya.
Kehadiran tanaman atau pohon mampu mengurangi kejenuhan air dan meningkatkan kohesi, hingga bisa menahan daya rusak air.
Dengan menerapkan kombinasi bangunan konservasi tanah dan air serta teknik revegetasi, katanya, jadi langkah tepat guna cegah longsor. “Jika memungkinkan, hindari pemukiman dan pengolahan tanah intensif untuk daerah yang memiliki kelerengan curam.”
Sumber: BNPB
Ekoriparian untuk mitigasi banjir dan longsor Jakarta
KLHK juga memperkenalkan ekoriparian sebagai upaya pengendalian banjir dan longsor di Jakarta. Ini bisa jadi solusi menurunkan koefisien air limpasan)dan menaikkan kapasitas masuk serta perembesan air ke dalam tanah (infiltrasi dan perkolasi). Ekoriparian adalah langkah restorasi sungai dengan konsep holistik.
Luckmi Purwandari, Direktut Pengendalian Pencemaran Air Ditjen Pengendalian Pencemaran Dan Kerusakan Lingkungan, (PPKL) menyebutkan, pola ekoriparian jadi salah satu solusi pencegahan banjir.
Banjir terjadi karena debit puncak lebih besar daripada debit aliran sungai (tampungan sungai). Debit puncak dipengaruhi faktor intensitas hujan, koefisien run-off dan luas wilayah. Sedang, debit aliran sungai dipengaruhi kecepatan aliran sungai dan luas penambang basah sungai.
”Dengan ekoriparian ini akan mengembalikan air pada ekosistem. Meningkatkan kapasitas tampung sungai,” katanya.
Pola ekoriparian ini, bisa meningkatkan kualitas sepadan sungai, dengan membuat kolam-kolam retensi air dan penghijauan di sepanjang bantaran sungai. Pola ini juga berfungsi menurunkan beban pencemar yang masuk ke sungai hingga kualitas air makin membaik.
Pembangunan ekoriparian ini, kata Luckmi, bisa mengembalikan sungai sebagai sumber kehidupan dan jadi halaman depan tempat publik berinteraksi, memulihkan ekosistem akuatik, menciptakan lahan basah alami, dan mencegah erosi.
Sistem ini, katanya, bisa jadi konservasi tanah dan air di daerah sempadan, memperkuat tanggul alami, merevitalisasi budaya lokal berbasis sungai yang ramah lingkungan dan bisa meningkatkan penghasilan masyarakat lokal.
Mengenai upaya pemulihan lingkungan karena banjir dan longsor di Bogor dan Lebak, KLHK akan membangun ekoriparian di Sungai Cidurian (Kabupaten Bogor), Sungai Ciberang dan Ciujung (Lebak).
Kemudian, DAS Ciliwung (Kota Bogor, Kabupaten Bogor dan Kota Depok), DAS Cisadane (Kota Bogor, Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang), dan DAS Citarum (Kota Bandung, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Bekasi).
”Dalam penerapan ekoriparian ini mempertimbangkan juga aspek sosial, ekonomi dan lingkungan.”
Adapun tantangan dalam pembangunan ekoriparian ini adalah ketersediaan lahan. Idealnya, pembangunan ekoriparian berada di sepanjang sungai.
Bambang Hendroyono, Sekretaris Jenderal KLHK mendorong pembangunan ekoriparian jadi langkah bersama dalam memitigasi banjir Jakarta dan sekitar. Harapannya, pembangunan ini bisa jadi alternatif ekonomi untuk wisata sekaligus mampu memitigasi banjir dan menurunkan beban pencemar.
Langkah lain, katanya, konservasi tanah dan air serta penegakan hukum bagi penambangan liar maupun perambahan hutan.
Perhutanan sosial si Jawa buat atasi bencana
Bambang Supriyanto, Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK menyebutkan, pada 2020 akan fokus Jawa sebagai lokasi mendapatkan akses perhutanan sosial, yakni Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, tersebar di 44 kabupaten dan 74 kecamatan. Pemberian izin perhutanan sosial ini juga jadi upaya pencegahan bencana.
Caranya, setiap wilayah kecamatan akan ada penyuluh kehutanan sebagai focal point dalam pendampingan kelompok masyarakat mulai pra izin sampai pasca izin. Pendampingan ini, katanya, akan gunakan anggaran KLHK.
”[Pemberian izin perhutanan sosial] ini lebih strategis dan terintegrasi. Banyak masyarakat miskin di sekitar kawasan hutan dan upaya penanganan banjir dan longsor,” kata Bambang. Pada hutan produksi yang dikuasai negara di Pulau Jawa, terdapat 326.000 izin pemanfaatan hutan untuk perhutanan sosial.
Bambang mengayakan, akan ada peta indikatif dan areal perhutanan sosial khusus Jawa, terutama wilayah-wilayah terdegradasi.
Longsor di Sumenep, Madura. Foto: Humas Polres Sumenep
Musim hujan dan bencana
Sebagian daerah di Indonesia, masih musim penghujan, sepreti Pulau Jawa. Potensi bencana masih menanti. Pada 1 Februari lalu, Kabupaten Jember, Jawa Timur, banjur. Hujan deras di hulu Kali Jompo menyebabkan banjir melanda bantaran Sungai Jompo, Desa Klungkung, Kecamatan Sukorambi, Kabupaten Jember.
Di Sumenep, Madura, selama Januari 2020, setidaknya enam kali puting beliung, tanah longsor, dan banjir.
“Paling banyak puting beliung, ada enam kejadian awal Januari yang menimpa Desa Basoka, Rubaru, Pasongsongan, Guluk-Guluk ,Ganding, termasuk Sapeken,” kata Abdul Rahman Riadi, Ketua Badan Penanggulangan Bencana Daerah Sumenep (BPBD), akhir Januari lalu.
Tanah longsor, katanya, terjadi di Jalan Lingkar Utara, Desa Kebunan, Kecamatan Kota, Sumenep.
Chainur Rasyid, Kepala Dinas Pekerjaan Umum Sumber Daya Air Sumenep. Dia bilang, bila hujan lebat, di perkotaan tergenang air, sungai-sungai tak mampu menampung air hujan dengan baik.
Genangan air, katanya, sampai setinggi betis orang dewasa.
Rahman bilang, ‘genangan’ di perkotaan karena drainase mampet dampak sampah yang menghambat aliran sungai. Berbeda dengan banjir di pedesaan atau di luar Kota Sumenep.
“Rata-rata tanggul jebol, seperti di Kalianjuk, jebol sungai. Termasuk Sungai Kebonagung, ketinggian itu di atas rata-rata biasa sampai ke lahan pertanian.”
Bekerja sama dengan Polres Sumenep dan Dandim 0827, BPBD melakukan kesiapsiagaan bencana dengan mendirikan tiga posko banjir di tiga kecamatan, yakni Lenteng, Saronggo, dan Batuan. Ada 36 personel disiapkan, 30 dari tim Sabhara dan enam SAR Laut.
Apabila terjadi banjir, kata Rahman, mereka akan evakuasi, para korban banjir dan memberikan bantuan sembako. Untuk bantuan, mereka berikan bertahap setelah ada proses pengajuan dan persetujuan bupati.
Rahman mengatakan, mereka bekerja sama dengan berbagai instansi di lingkungan Pemerintah Sumenep untuk reboisasi di beberapa daerah di Sumenep, terutama lahan gundul, kering. Dengan penanaman pepohonan ini, katanya, banjir dan kekeringan bisa teratasi atau setidaknya diminimalisir. Menurut dia, daerah-daerah sering longsor adalah wilayah gundul.
“(Desa) Basoka, misal, karena pohon banyak ditebang, e poger, di lorong-lorong gunung, tak thumatien banyak longsor. Saya sosialisasi, jangan ditebang, kalau nyari bahan bakar, bahan bangunan, jangan nyari di hutan karena hutan ini menjaga kita,”kata Rahman.
Chainur mengatakan, penyebab banjir bukan hanya sampah dan lahan-lahan gundul tetapi sedimentasi sungai dan kepadatan penduduk.
Banyak pembuangan warga, katanya, ke saluran kecil drainase, hingga makin banyak beban saluran pembuangan di Kali Marengan sampai meluap.
Kemungkinan lain, katanya, hutan di hulu sungai gundul hingga perlu konservasi dan tanam lagi.
Dinas PU sudah normalisasi sungai dari hulu ke hilir pada 2019. Sungai yang awalnya lebar, empat meter dinormalisasi menjadi 11 belas meter.
AKP Widiarti, Kepala Sub Bagian Humas Polres Sumenep, mengatakan, bekerjasama dengan berbagai instansi di lingkungan Pemerintah Sumenep memproyeksikan menanam berbagai 10. 000 pohon, seperti mangga, klengkeng, leci, alpukat, jambu, rambutan, jeruk, trembesi, dan lain-lain. Ada pohon-pohon yang bisa dimanfaatkan buah, ada pula untuk mencegah longsor.
Lokasi penanam bermacam-macam, ada di sekitar kantor, di hutan rakyat gundul, dan di semua Polsek Sumenep. Mereka tak hanya menanam juga merawat hingga pohon bisa tumbuh.
Data BNPB menyebutkan, periode 1-30 Januari 2020, terjadi 297 bencana menyebabkan 91 orang meninggal, dua hilang, 120 orang luka-luka, 893.996 mengungsi. Kemudian kerusakan, 10.613 rumah –2.401 rusak berat, 1.671 sedang, 6.541 ringan–, 132 fasilitas pendidikan, 103 fasilitas peribadatan, 11 fasilitas kesehatan, 44 kantor, dan 82 jembatan.
Agus Wibowo, Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Bencana BNPB, mengatakan, bencana hidrometeorologi, mendominasi kejadian awal 2020.
Beberapa wilayah di Indonesia, dilanda banjir dan tanah longsor cukup parah, seperti di Jabodetabek, Sukajaya, Kabupaten Bogor, Lebak, Banten, Kabupaten Bandung maupun puting beliung di Kabupaten Sukabumi.
Keterangan foto utama; Rehabilitasi lahan kritis di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Presiden memerintahkan, seluruh instansi pemerintah di pusat maupun daerah (provinsi, kabupaten, kota), harus bersama-sama bersinergi melakukan pencegahan, mitigasi dan meningkatkan kesiapsiagaan bencana. Foto: BNPB