- Di sekitar pabrik sawit di Mamuju Tengah, Sulawesi Barat, bau busuk kadang menyeruak. Beberapa pabrik sawit terbangun di dekat pemukiman penduduk dan dekat sungai.
- Selain polusi udara, air sungai pun rawan tercemar. Penghasilan petani tambak juga terganggu, merusak ekosistem sungai, mengubah wilayah tangkap nelayan sungai, hingga memisah manusia dari sungai.
- Sebelum pabrik sawit beroperasi, warga pesisir masak air hujan buat keperluan minum saat mengurus tambak dan rumah tangga. Air merah nipah kadang jadi selingan. Sekarang, mereka beli galon buat air bersih. Mengapa?
- Warga protes dan menolak sejak awal pendirian pabrik sawit. Mereka berharap, Primanusa gagal beroperasi atau paling tidak, mempertimbangkan usul mereka soal dampak lingkungan di Kambunong. Mereka tak ingin, limbah mencemari ruang hidup.
Tiga hari sudah, hujan tak mengguyur Mamuju Tengah, Sulawesi Barat. Hawa panas bisa terasa hingga tengah malam. Hujan bukan tanda baik bagi pemukim sekitar kebun sawit. Kalau hujan, bau busuk limbah sawit menyeruak. “Itu kata orang limbah sawit yang dipakai pupuk,” kata sopir mobil yang mengantar saya.
Selang beberapa menit, bau busuk menyembur. Kami segera menaikkan kaca jendela. “Toh, kayak bau tahi kering. Bau aneh-aneh. Ini mending, coba saja kalau hujan. Saya heran masih ada orang tahan tinggal di sini.”
Bau busuk itu berasal dari limbah cair buangan pabrik minyak sawit. Limbah itu biasa jadi pupuk di kebun sawit (land application).
Baca juga: Gubernur Sulbar Nilai Kontribusi Sawit Minim, Malah Rusak Lingkungan
Di Mateng, pabrik mintak sawit ada empat. PT. Surya Raya Lestari II (Astra), PT. Trinity Palmas Plantation (TPP—dulu Trinity Corration), dan PT. Primanusa Global Lestari (Wahana).
Pabrik sawit itu, kecuali Wahana, terletak dekat sungai. Trinity misal, ia berada di badan Sungai Budong-budong dan amat dekat dengan permukiman penduduk. Begitu juga Primanusa beroperasi di Desa Kambunong, Kecamatan Karossa.
Bau busuk bisa berlalu begitu saja searah tiupan angin. Bagaimana yang mengalir ke sungai?
Dari cerita warga yang sata temui di Desa Barakkang, Budong-Budong dan Desa Kambunong, limbah itu lebih sekadar bau mengganggu.
Penghasilan petani tambak juga terganggu, merusak ekosistem sungai, mengubah wilayah tangkap nelayan sungai, hingga memisah manusia dari sungai.
Kasim, petani tambang Dusun Kambunong, pertengahan Januari sore, dia memandangi aliran muara yang mengarus ke laut.
Pria kelahiran Pangkep, Sulawesi Selatan ini sejak 2011 jadi petambak.
Satu kilometer dari rumahnya, di balik gunung, pabrik sawit primanusa beroperasi. Asap putih dan hitam mengepul dari cerobong. Di sanalah, tandan buah segar (TBS) diolah jadi minyak sawit (crude palm oil/CPO).
“Biasa kalau sudah hujan, hitam air itu sungai. Kayak oli. Baunya kayak bau tahi,” kata Kasim.
“Ini kita di rumah, saling menuduh siapa yang berak. Pokoknya bau sekali. Terus air kayak sudah ditumpahi minyak.”
Di Dusun Kambunong, ada dua aliran sungai. Sebagai tanda, warga menyebut jembatan I dan II. Di jembatan akhirlah rumah Kasim berada.
Di sini, akses jalan berangkal batu. Hamparan tambak menyambut perjalanan saya. Di pinggir sungai, tumbuh mangrove. Di ujung jalan, terdapat wisata pantai.
Kasim bilang, sebelum sungai tercemar limbah, tiap jembatan kerap ramai dengan pemancing ikan. Menyusuri muara, nelayan sungai juga ikut menebar pukat. “Sekarang tidak ada, katanya sudah banyak ikan mati gara-gara limbah.” Dia bilang, sudah ada satu tambak gagal panen karena limbah.
Kala itu, katanya, anak sang pemilik tambak, enteng membuka pintu air. Dia tak mengira air yang masuk itu bercampur limbah. Keesokan hari, udang dan bandeng mati. “Kasihan. Anaknya mungkin tidak tahu.”
Setahun lebih sudah Primanusa beroperasi di tengah penolakan warga yang mayoritas petani tambak ini.
***
Kebun sawit milik Bhadra Sukses, anak usaha Astra Agro Lestari (AAL), dulu hamparan kebun karet. “Kata orang-orang dulu, kebun karet itu milik Ibu Tin Soeharto.”
Kejayaan komoditii itu bertahan, hingga 1997.
Jelang krisis moneter, usaha sawit mengekspansi dataran Mateng—dulu Kabupaten Mamuju. Industri ini datang menggandeng program transmigrasi, sekaligus menggeser karet.
Lambat laun, usaha sawit pun meluas. AAL yang lebih dulu bercokol, memperluas kebun. Anak usaha sawit KPN Plantation, PT. Wahana Karya Sejahtera Mandiri (WKSM), menyusul.
Selain skala industri, sekitar 2005, warga mulai ikut tanam sawit. Ada lewat kemitraan dan mandiri. Kakao dan jeruk pun ditebang. Alasan mereka menanam sawit sederhana, karena budidaya mudah, untung bisa selangit.
Setidaknya, hingga 2018, di Mateng, luas kebun sawit mencapai 41.998 hektar] Setara kawasan ibukota negara yang baru. Hutan lindung berkisar 5% dari 301.000 luas kawasan hutan.
Kini, sawit menghampar sepanjang jalan. Di bukit hingga menerabas kawasan hunian warga. Bila mobil menanjak jalan berbukit, kanan dan kiri, sawit menghampar bagai tak berujung.
Penolakan warga
“Jangan Korbankan Kesehatan Kami Demi Bisnismu.” Begitu bunyi spanduk itu penolakan warga, 8 Agutus 2018 siang, jelang peresmian pabrik ini. Warga menghalang akses masuk ke pabrik dengan membentangkan spanduk bertulisan merah.
Mereka berharap, Primanusa gagal beroperasi atau paling tidak, mempertimbangkan usul mereka soal dampak lingkungan di Kambunong. Mereka tak ingin, limbah mencemari ruang hidup.
Warga kukuh menolak Primanusa, hingga bentrok pecah.
Bupati Mateng, Aras Tammauni—hadir meresmikan pabrik—menemui demonstran. Situasi tetiba kondusif. Di hadapan Aras, warga jongkok mendengar janji bahwa pemerintah menampung keluhan warga Sulawesi Barat (Sulbar].
Kasim, di antara barisan massa penolak kala itu. Kini dia menyaksikan dan merasakan pencemaran lebih dari sekali.
Desember 2019, warga Kambunong kembali temukan ratusan ikan mati engapung di sepanjang muara.
Dugaan warga, ikan itu keracunan limbah sawit. Menurut Kasim, itu kejadian terparah sejak pabrik berdiri.
Warga lalu mengangkat ikan-ikan itu dari sungai, sebagian lagi hanyut ketika laut surut.
Ikan mati itu dikubur. Warga tak memakannya, mereka takut apa yang dialami Senter, warga Dusun Antalii, sekeluarga kembali terulang.
Senter tinggal di Dusun Antalili, Kambunong. Pada 1994, dia pindah dari pemukiman trans Tobadak, Mateng. Di Kambunong, pria 74 tahun ini menyambung hidup sebagai nelayan, berbekal perahu kayu dan pukat kecil.
Senter, kini tak lagi menjaring ikan. “Saya sudah setahun lebih tidak tangkap ikan. Tinggal berkebun saja.”
Pada suatu malam tahun 2018, air sungai pasang, muara meninggi. Berbekal alat penerang, Senter mendayung perahu, menyusuri muara.
Mendekati hilir, Senter gemap, di depan matanya ikan-ikan berenang ‘sempoyongan’. “Saya gembira juga waktu itu, karena gampang sekali ambil ikan.
Tengah malam, dia lekas pulang membawa ratusan ikan. Senter bahagia. Setiba di rumah, Senter lalu menyimpan tumpukan ikan itu di kulkas.
Esoknya, ikan itu jadi santapan keluarga. Semua kenyang. Belum tiga menit, Senter mulai merasa mual.
“Perutku seperti diguncang,” kata Senter. “Tidak lama itu, istri muntah, saya juga muntah, anak-anak juga. Kita juga berak-berak.”
Awalnya, mereka tak tahu kalau makan ikan mabuk keracunan limbah. “Besoknya kita goreng lagi itu ikan, kita makan. Begitu lagi, kita muntah dan berak-berak. Di situ, baru kita tahu, kita keracunan gara-gara itu ikan. Jadi kita buang, habis itu tidak muntah-muntah lagi,” katanya.
Kejadian itu, kata Senter, pengalaman pertama sejak dia tangkap ikan. Dengan rebusan daun jambu, muntaber yang diderita pun sembuh. Saat sama, persediaan ikan mulai menipis di wilayah tangkap Senter.
Perahunya tak mungkin ke laut lepas. Akhirnya, Senter memutuskan berhenti.
Tetangga Santer, Arbiah, sehari-hari menangkap kerang (tude) dan kepiting. Dari tude dan kepiting, dia bisa menyambung hidup dan menyekolahkan anaknya.
Sebelum pabrik ada, perempuan 58 tahun ini bilang, hampir saban hari, menyusuri sungai di Kambunong hingga hulu untuk menangkap tude dan kepiting.
Meski penuh lumpur, sedikitpun dia tak merasa gatal. Bak tradisi, sebelum pulang, Arbiah membersihkan diri lebih dulu, mengguyur air ke tubuh.
Sejak Primanusa beroperasi, tradisi itu dia setop. “Apa gatal-gatal orang kalau dari sungai semenjak ada itu pabrik. Setiap kita pergi cari pasti gatal. Setengah mati kita menggaruk. Muncul bintik-bintik merah,” kata Arbiah.
“Kalau mandi pakai sabun tiga macam, pake sabun mandi, terus cap tangan, pake lagi sunlight. Tapi masih gatal.”
Puteri Arbiah pun nimbrung. Dia bilang, sekujur pinggang sampai paha gatal. “Itu kenapa saya tidak pergi mencari.”
Arbiah ingat, kala Primanusa hendak membangun pabrik, dari perusahaan janji ke warga tak bakal membuang limbah ke sungai. “Tapi, dengan tipu daya pasti warga percaya. Padahal, di situ tempat pembuangan limbah banyak tude dan kepiting. Sekarang, sudah tidak ada lagi. Mati semua kayaknya.”
Terpaksa beli air galon, hasil tambak turun
Sebelum pabrik sawit beroperasi, warga pesisir masak air hujan buat keperluan minum saat mengurus tambak dan rumah tangga. Air merah nipah kadang jadi selingan.
“Sekarang, saya beli galon. Saya takut. Karena kan ada asap pabrik. Sekarang sudah agak hitam atap rumah jadi kalau hujan yang kita tampung tidak bisa minum,” kata Ramli, warga setempat.
Tak hanya air minum tercemar. Kerugian pun dihadapi petambak, karena sungai tercemar. Air sungai jadi sumber air tambak.
Sejak itu, mereka mesti berhati-hati mengisi air tambak. Tak ayal, tambak kadang mengering dan memengaruhi panen bahkan gagal panen.
“Dulu, bisa tiga kuintal, sekarang tinggal satu kuintal kita jual,” kata Ramli. Dulu, mereka bisa peroleh Rp20-Rp40 juta tiap panen.
Kesusahan juga dialami Arman, pengumpul hasil tambak. Sudah satu dekade Arman mengumpul hasil tambak. Sejak pabrik ada, hasil tambak menurun, meski kurang signifikan.
“Kalau berpengaruh di petani tambak, berpengaruh juga di pengumpul karena rezeki petambak juga rejeki kita,” kata pria 37 tahun ini.
Di rumah Arman, saya melihat hasil tambak. Ada udang windu (sitto) dan bintik (bitti’). Dalam sebulan dia bisa menjual itu hingga 2-3 ton.
Soal Primanusa Global Lestari
Pencemaran sungai dan air mengarah ke limbah sawit Primanusa Global Lestari. Informasi tentang perusahaan itu terbilang minim. Situs internet yang dapat diakses publik pun tak ada.
Saya temukan rangkap dokumen laporan keberlanjutan dan keterlacakan milik Neste tahun 2018. Di sini, nama Primanusa, tercatat.
Neste merupakan produsen bahan bakar terbarukan terbesar di Eropa. Korporasi raksasa asal Finlandia ini, pada 2019, meraih urutan tiga sebagai perusahaan yang paling berkelanjutan versi Corporate Knight 100 Global Index dan bersertifikasi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), sebagai pembeli minyak sawit.
Dalam dokumen itu, menunjukkan, Primanusa Global Lestari tercatat sebagai pemasok CPO untuk Kutai Refinery Nusantara (KRN), anak usaha Apical Group di Balikpapan.
Dari KRN, CPO yang berasal dari 37 pabrik sawit olahan ini dipasok ke Neste.
Dokumen lain pada 2018 menyebut, Primanusa memasok langsung CPO ke Louis Dreyfus Company (LDC) Refinery Indonesia, dengan nama perusahaan induk, PT Megah Hijau Lestari.
Saya mencoba konfirmasi soal dugaan pencemaran ini ke Primanusa. Berulang kali pesan via WhatsApp, ke Firman Abidin, Humas Primanusa, tak mendapatkan jawaban jelas. Setelah berulang kali ditelepon, Firman memberikan jawaban singkat lewat WhatsApp.
“Masyarakat ada prosedur. Kalau limbah itu sudah di lab (laboratorium) dan hasil labnya sesuai dengan limbah yang dihasilkan pabrik, silakan laporkan. Kami siap melalui prosedur dan aturan yang ada,” katanya.
Kala ada pemberitaan, Primanusa acap kali membantah. Desember lalu, Primanusa berdalih, ratusan ikan mati— yang disaksikan Kasim–, sama sekali tak ada kaitan dengan limbah.
Pernyataan itu, didukung Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Mateng, Muliadi. Di hadapannya, Primanusa mengaku mereka membuang limbah ke perkebunan sawit untuk jadi pupuk.
Dari amatan via Google Earth, dua aliran sungai yang diduga tercemar limbah saling terhubung. Hulu, terletak di sekitar kolam penampungan limbah milik Primanusa. Sungai ini berpola distributary—bercabang-cabang.
Menurut Kasim, limbah itu mengalir ke sungai pertama, ketika pasang, gelombang laut mendorong air itu hingga ke depan rumahnya.
“Menurut perusahaan, itu katanya peodang (racun yang dilepas orang tak dikenal). Tidak masuk akal.”
Melalui panggilan telepon, Kadis LHK Sulbar, Aco Takdir bilang, tim mereka meninjau lokasi dugaan pencemaran sungai di Kambunong. Saat itu, karena kondisi cuaca hingga survei tidak berjalan mulus.
“Saat itu, saya bersama gubernur. Saya turun tapi saya tidak sampai ke titik yang parah itu.”
***
Kini, Primanusa beroperasi 24 jam tiada henti. Asap masih mengepul ke langit, dan limbah membayangi kehidupan warga.
Arbiah, harus menempuh jarak jauh ke Sungai Nirlimbah demi tude dan kepiting. Senter harus muntaber tiga hari, dan kini setop jadi nelayan.
“Selama ada itu pabrik saya tidak pernah setuju. Saya mau pergi mendemo itu hari tapi karena gatal-gatal saya tidak bisa,” kata Arbiah.
Senter kesal seakan tak berdaya, sebagai orang kecil, berhadapan dengan pemodal. (Bersambung)
Keterangan foto utama: Air Sungai Barakkang, terlihat keruh. Tim Penegakan Hukum, sedang ambil sampel. Foto: Istimewa