- Madu lebah kelulut dihasilkan dari hutan mangrove di Desa Labuh Air Pandan, Mendo Barat, Bangka Belitung. Lebah ini didapat dengan cara menebang pohon sarangnya yang berada di dalam batang pohon tua.
- Meski pohon yang dijadikan sarang lebah kelulut merupakan pohon mati, tapi tingginya permintaan madu membuat banyak pohon ditebang atau sengaja dimatikan.
- Salah satu cara untuk menata produksi madu lebah kelulut tanpa merusak pohon adalah dengan skema budidaya. Yakni, memanfaatkan satu pohon mati untuk diisi dua koloni lebah kelulut.
- Desa Labuh Air Pandan, merupakan desa di Mendo Barat, yang bebas dari penambangan timah, sehingga hutan dan lahannya terjaga. Warga menolak perusahaan yang ingin melakukan penambangan timah di desanya.
Dominasi rasa asam sedikit manis, serta nilai jual yang cukup tinggi berkisar Rp200-400 ribu per kilogram, membuat madu lebah kelulut [Trigona spp.] menjadi sumber ekonomi masyarakat Desa Labuh Air Pandan, Kecamatan Mendo Barat, Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Namun di balik itu semua ada harga mahal yang harus dibayar!
“Kami terpaksa menebang setiap batang pohon yang ditempati lebah kelulut, karena sarangnya di dalam, kedalamannya berkisar 20-30 sentimeter. Jenis pohon sarangnya, seperti cempedak, nyirih, dan sejumlah pohon bakau yang tentunya bertekstur keras. Ukuran pohon, satu hingga dua pelukan orang dewasa, bahkan lebih,” kata Zulpan, pencari madu di Desa Labuh Air Pandan, kepada Mongabay Indonesia, Minggu [02/2/2020].
Akan tetapi, meski pengambilan madu mengharuskan menebang satu buah pohon, warga tidak sembarang melakukannya.
“Lebah biasanya bersarang di pohon tua dan lapuk. Lambat laun, pohon itu mati. Warga di sini, hanya memilih jenis-jenis pohon yang memang sudah lapuk, dan madu sudah waktu panen. Tepatnya, setelah tiga bulan lebah kelulut bersarang,” kata Dedi Suryadi, warga yang sudah 20 tahun mencari madu lebah kelulut.
Baca: Mangrove Lestari, Madu Lalan-Sembilang Terjaga Sepanjang Tahun
Madu lebah kelulut tidak memiliki musim. Hal ini dikarenakan, ekosistem mangrove di sekitar Desa Labuh Air Pandan masih terjaga, nektar bunga tersedia sepanjang tahun.
“Dalam satu bulan, kami bisa mendapat dua hingga tiga kilogram madu. Biasanya kami kemas dalam botol plastik bekas dan langsung kami pasarkan ke kota atau melalui media sosial. Hasilnya lumayan, sebagai penghasilan sampingan, untuk kami yang berprofesi sebagai nelayan dan petani,” terang Dedi.
Ancaman
Desakan permintaan pasar yang besar tentunya berpotensi menggerus nilai-nilai kearifan lokal terhadap pengelolaan hasil madu. Misalnya, mematikan sejumlah pohon agar didatangi lebah kelulut. Selain itu, lebah kelulut yang dipanen secara banyak dan cepat atau tidak diatur produksinya akan merusak ekosistem alam.
“Oknumnya tentu pelaku ekonomi dan bisnis madu kelulut yang eksploratif, senantiasa memenuhi permintaan pasar tanpa mengenal musim. Sangat kontradiksi sekali apabila ada badan usaha yang menjual madu kelulut tapi tidak mempunyai basis produksi yang jelas,” kata Zulvan, Manager GIS dan Database Walhi Bangka Belitung.
“Mungkin, kehadiran KPHP selaku institusi negara di tingkat tapak bisa memberikan pengarahan dan pengawalan terkait pelestarian alam dan kearifan lokal,” katanya.
Berdasarkan laporan Status Lingkungan Hidup Daerah [SLHD] Provinsi Kepulauan Bangka Belitung 2015, kerusakan hutan mangrove di Kabupaten Bangka meningkat drastis pada 2014 dan 2015 dari pada tahun sebelumnya. Angka kerusakan sebelumnya berada pada 1.000 hingga 1.500 hektar, namun pada tahun 2014 dan 2015 mencapai luasan 5.843,6 hektar.
Budidaya sebagai solusi
Satu tahun terakhir, di Desa Labuh Air Pandan berdiri Kelompok Tani Hutan Sigambir Balapan yang berkerja sama dengan KPHP Sigambir, membuat usaha budidaya madu lebah kelulut.
“Dengan skema ini, satu pohon yang diisi satu koloni lebah kelulut dapat dipecah menjadi dua koloni. Kami menggunakan potongan pohon bekas, sebagai media lebah bersarang,” kata Dedi Suryadi, anggota kelompok budidaya Lebah Kelulut Desa Labuh Air Pandan.
Hingga saat ini, ada 30 koloni lebah yang berhasil dibudidayakan. Dengan hitungan, setiap koloni dapat menghasilkan empat ons madu per pekan.
“Meskipun hingga saat ini, belum ada cara bagaimana memindahkan koloni tanpa menebang pohon. Paling tidak, dengan adanya budidaya ini dapat mengurangi angka penebangan pohon karena madu kelulut merupakan sumber ekonomi alternatif. Kami tengah mencoba memecah koloni yang dulunya dua menjadi tiga koloni,” katanya.
Bukan tanpa hambatan, kadar air yang tinggi menjadi kelemahan hasil madu budidaya. Ini dikarenakan, sarang lebah berada di kotak kayu ukuran 30 sentimeter persegi yang hanya ditutup plastik. Berbeda dengan madu di alam liar, yang aman dari kandungan air karena berada di dalam pohon.
“Semakin banyak kadar air, nilai jual madu semakin murah. Dulu, pernah dicontohkan penyedotan kadar air menggunakan teknologi mesin yang dibawa KPHP, namun hingga saat ini mesin tersebut tidak dapat kami peroleh. Kondisi sarang pun banyak yang terbengkalai karena kurang perawatan,” kata Dedi Suryadi.
“Akan tetapi, proses budidaya semacam ini juga perlu diwaspadai, karena dapat terkesan destructive jika sudah dalam skala luas. Terlebih, lagi jika sudah merusak habitat atau ekosistem tertentu yang dilindungi,” kata Jessix Amundian, Direktur Walhi Bangka Belitung.
Komitmen menjaga alam
Madu lebah kelulut hanya sebagian kecil dari hasil kekayaan alam di desa yang berdekatan dengan Desa Kota Kapur, yang dipisahkan oleh aliran Sungai Mendo sepanjang 24,76 kilometer. Ekosistem mangrove yang terjaga di sepanjang Sungai Mendo, menjadi rumah bagi kepiting bakau, udang galah, berbagai jenis kerang, dan sejumlah satwa di Pulau Bangka seperti beruang madu, rusa, kijang, buaya, dan beragam jenis burung.
“Hasil alam di sini melimpah yang kami distribusikan hampir keseluruh Pulau Bangka. Termasuk madu kelulut ini, di sini salah satu sentranya, karena alam serta hutan mangrovenya terjaga. Terlebih lagi, masyarakat di sini tidak ada yang menambang timah, mayoritas nelayan dan petani,” kata Badarudin, Kepala Desa Labuh Air Pandan.
Labuh Air Pandan menjadi salah satu desa yang bebas eksploitasi tambang, sehingga kondisi alamnya masih baik. Sementara, desa tetangga mereka seperti Desa Kota Kapur dan Desa Pedindang mulai rusak akibat tambang.
“Alhamdulillah, 1.280 jiwa warga di sini kompak menjaga alam, menolak tambang timah dan setiap perusahaan yang masuk desa. Kami tidak ingin merana seperti yang banyak terjadi di Pulau Bangka. Ujung-ujungnya kami juga yang kesulitan, nantinya,” pungkas Badarudin.