- Pada November tahun lalu, pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 9/2019 tentang Rencana Aksi Nasional Perkebunan Sawit Berkelanjutan (RAN-SB) 2019-2024. Kebijakan ini bisa jadi jalan untuk serius memperbaiki tata kelola perkebunan sawit di Indonesia.
- Dalam RAN-SB itu, setidaknya, ada lima tujuan yakni, meningkatkan kapasitas dan kapabilitas pekebun, penyelesaian status dan legalisasi lahan, pemanfaatan sawit sebagai energi terbarukan. Juga, meningkatkan diplomasi mencapai perkebunan sawit berkelanjutan, dan mempercepat pencapaian perkebunan sawit Indonesia yang berkelanjutan.
- Mandat presiden dalam inpres ini terkait penguatan data, koordinasi dan infrastruktur, peningkatan kapasitas dan kapabilitas pekebun, pengelolaan dan pemantauan lingkungan. Juga, tata kelola perkebunan dan penanganan sengketa, percepatan sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan peningkatan akses pasar produk sawit.
- Implementasi kebijakan ini harus transparan. Juga penting antar kementerian maupun lembaga di pusat dan daerah sinkron, menjalin koordinasi maupun komunikasi dengan baik.
Presiden Joko Widodo, pada November tahun lalu mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 9/2019 tentang Rencana Aksi Nasional Perkebunan Sawit Berkelanjutan (RAN-SB) 2019-2024. Kebijakan ini bisa jadi jalan untuk serius memperbaiki tata kelola perkebunan sawit di Indonesia.
“Terbitnya RAN-SB sebenarnya momentum bagi industri, pegiat atau praktisi sawit untuk memperbaiki tata kelola kita agar bisa bersaing lebih kuat, lebih hebat di pasar global,” kata. Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan dalam diskusi di Jakarta, pekan lalu.
Tak bisa dipungkiri, katanya, ada persoalan serius terjadi dalam industri sawit negeri ini, seperti sawit ilegal, merambah kawasan hutan, konflik dan lain-lain.
Baca juga: Jokowi Teken Inpres Rencana Aksi Sawit Berkelanjutan, Apa Isinya?
Dalam RAN-SB itu, setidaknya, ada lima tujuan yakni, meningkatkan kapasitas dan kapabilitas pekebun, penyelesaian status dan legalisasi lahan, pemanfaatan sawit sebagai energi terbarukan. Juga, meningkatkan diplomasi mencapai perkebunan sawit berkelanjutan, dan mempercepat pencapaian perkebunan sawit Indonesia yang berkelanjutan.
Secara umum, mandat presiden dalam inpres ini terkait penguatan data, koordinasi dan infrastruktur, peningkatan kapasitas dan kapabilitas pekebun, pengelolaan dan pemantauan lingkungan. Juga, tata kelola perkebunan dan penanganan sengketa, percepatan sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan peningkatan akses pasar produk sawit.
Teguh bilang, inpres ini jangan sampai cidera karena masih banyak perusahaan yang tak menerapkan tata kelola perkebunan sawit dengan baik. Pemerintah, katanya, harus serius mengambil tindakan tegas dalam menertibkan itu.
Menurut dia, ada beberapa mandate dan program dalam RAN-SB yang penting disoroti. Dalam pembentukan tim pelaksana RAN-SB dan forum multi pihak sawit berkelanjutan, missal, hingga kini, belum diketahui siapa-siapa yang masuk dalam tim.
“Apakah melibatkan perwakilan masyarakat adat dan lokal serta masyarakat sipil.”
Di tingkat daerah, katanya, gubernur dan bupati maupun wali kota daerah-daerah penghasil sawit juga mendapat mandate menyusun rencana aksi dan membentuk tim pelaksana daerah berupa Forum Multi Pihak Sawit Berkelanjutan.
Namun, katanya, instansi pendukung yang disebutkan dalam program ini hanya mencakup Kementerian dan pelaku usaha. “Tidak menyebutkan pemangku kepentingan lain, masyarakat, organisasi non pemerintah dan lain-lain,” katanya.
Pada 17 Desember 2019, Menteri Pertanian menerbitkan SK 833/2019 tentang Penetapan Luas Tutupan Sawit Indonesia, sebesar 16.381.959 hektar. Data ini, katanya, akan terus dimutakhirkan hingga 2024. Dalam matriks RAN-SB, kegiatan harus dijalankan Menteri Pertanian terkait penguatan data dasar lebih berfokus pada pekebun, yakni penyusunan pedoman pendataan pekebun, pemutakhiran informasi geospasial tematik ( IGT) tutupan kebun sawit. Kemudian, pendataan pekebun dan pemetaan lokasi kebun berkala dan pemetaan kebun-kebun yang perlu diremajakan.
“Meskipun pendataan pekebun, salah satu hal paling krusial diselesaikan, tetaplah penting mensinkronisasi data perizinan perusahaan sebagai data dasar menuju perkebunan sawit berkelanjutan. Ini sejalan dengan mandat Inpres 8 tahun 2018 tentang moratorium sawit,” katanya.
Presiden, katanya, memandatkan kepada menteri pertanian untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitas pekebun, terutama dalam penggunaan benih bersertifikat dan penerapan praktik budidaya yang baik. Juga, meningkatkan akses pendanaan peremajaan tanaman bagi pekebun termasuk meningkatkan dana peremajaan sawit rakyat dari BPDPKS.
Ada mandat, mendorong percepatan pembentukan dan penguatan kelembagaan pekebun, dan meningkatkan penyuluhan pertanian di kawasan sentra produksi sawit.
Menteri Pertanian juga dapat mandat mempercepat sertifikasi ISPO, termasuk pekebun dan mendorong percepatan realisasi pembangunan kebun sawit berkelanjutan bagi masyarakat oleh perusahaan.
Ada kebijakan perbaikan tata kelola tampaknya belum menyentuh pada pelaksanaan di lapangan. Satu contoh, setelah Inpres Moratorium Sawit, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengeluarkan izin pelepasan kawasan hutan untuk satu perusahaan sawit di Buol Sulawesi Tengah. Setelah penelusuran, tenyata perusahaan ini mendapatkan sertifikasi ISPO.
Kalau melihat sejarah perubahan lahan, katanya, mereka menebang hutan, menanam jauh sebelum mendapatkan izin pelepasan kawasan hutan dan menanam di sepanjang daerah aliran sungai (DAS).
“Itu terlihat dari foto citra satelit. Kami lakukan ground check dengan foto udara. Sampai kini dalam konteks perbaikan, situasi seperti ini tidak direspon? Ini kan jadi preseden buruk,” kata Teguh.
Dia tekankan, perbaikan tata kelola sawit Indonesia harus serius dan benar-benar komitmen dengan prinsip keberlanjutan. Pemerintah, katanya, harus tegas menindak berbagai pelanggaran.
“Kalau memang kita merasa sawit penting sebagai salah satu pilar ekonomi hari ini, gak ada pilihan. Kita harus bersama-sama memperbaiki industri sawit nasional.”
Inpres RAN-SB juga memandatkan Menteri LHK menyelesaikan status lahan perkebunan sawit yang terindikasi berada dalam kawasan hutan. Hal ini, katanya, sejalan Inpres Moratorium Sawit.
Data KLHK menyebut, terdapat 3.177.014 hektar perkebunan sawit dalam kawasan hutan, termasuk proses permohonan pelepasan 576.983 hektar dan tak ada permohonan 2.548.880 hektar.
Sesuai Inpres Moratorium Sawit, kata Teguh, pelaku usaha perkebunan yang memenuhi syarat proses perizinan akan lanjut, sementara yang tak memenuhi syarat akan kena langkah-langkah hukum.
Dia tekankan, proses dan hasil penyelesaian status lahan perkebunan sawit di kawasan hutan ini harus setransparan mungkin dan terpantau publik. Ini untuk meminimalkan risiko korupsi dan meningkatkan akuntabilitas perizinan perkebunan sawit.”
Penyelesaian status lahan perkebunan sawit terindikasi dalam kawasan hutan inipun, katanya, jangan hanya legalisasi.
Inpres RAN-SB, juga menginstruksikan pemantauan dan evaluasi kewajiban setiap perusahaan dalam pengendalian kebakaran lahan dan kebun. Dalam evaluasinya, inpres ini tak menginstruksikan penindakan hukum baik pidana maupun perdata untuk kasus kebakaran hutan dan lahan.
Soal konflik agraria, Menteri Agraria dan Tata Ruang juga mendapat tugas penanganan sengketa lahan perkebunan sawit di alokasi penggunaan lain (APL) dengan membentuk tim mediasi, pelatihan mediasi, menjalankan mediasi, serta mengevaluasi proses penanganan sengketa.
Sesuai Perpres Reforma Agraria No. 86/2018, pelaksanaan ini harus sinkron dengan penanganan sengketa dan konflik agraria yang difasilitasi Gugus Tugas Reforma Agraria) berjenjang mulai kabupaten/kota, provinsi, hingga nasional.
Kementerian ATR/BPN, juga dapat mandate melegalisasi lahan melalui skema reforma agraria sebagai tindak lanjut penyelesaian status perkebunan yang terindikasi dalam kawasan hutan dan hasil penyelesaian sengketa.
“Proses reforma agraria ini juga harus setransparan mungkin untuk menghindari celah korupsi dan penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan untuk kepentingan pribadi.”
Terlebih dalam proses reforma agraria, di Perpres 86/2018 mewajibkan laporan penyelenggaraan reforma agraria agar bisa rerakses masyarakat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan berlaku.
Dia menyayangkan, ketentuan yang menjamin transparansi dan keterbukaan informasi ini tidak ada dalam Inpres Moratorium Sawit maupun Inpres RAN-SB.
Tim nasional
Muhammad Saifulloh, Asisten Deputi Perkebunan dan Holtikultura Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mengatakan, pembentukan tim nasional RAN-SB merupakan tupoksi Kemenko Perekonomian. Saat ini, pembentukan sedang berproses.
“Kalau bicara soal produk hukum, SK [surat keputusan] sudah ada di biro hukum kami. Kami sisir seluruh kementerian yang diamanahkan dalam Inpres RAN-SB yang tercakup dalam draf SK tim nasional ini. Diharapkan, ketika ada kebijakan-kebijakan teknis yang bottle neck, bisa diekseklusi di Kemenko Perekonomian, dengan tetap berkoordinasi dengan kementerian teknis,” katanya.
Saifulloh mengatakan, mereka melibatkan Dirjen Perkebunan, Kementerian Pertanian sebagai kolega utama dalam mengimplementasikan RAN-SB. Intuk teknis pembinaan petani, katanya, merupakan ranah Dirjenbun Kementan.
“Dalam proses penyusunan inpres ini pun perwakilan Gapki, [Yayasan] Kehati dan perwakilan kementerian lembaga lain.”
Soal proses penyusunan data tutupan lahan sawit seluas 16,3 juta hektar, Kemenko Perekonomian juga melibatkan Dirjenbun Kementan, KLHK, ATR/BPN, Gapki, BIG, Lapan dan Yayasan Kehati. “Jadi tidak betul kalau kebijakan soal sawit ini hanya monopoli dari pemerintah. Kami sudah open mind melibatkan private sector dan NGO,” katanya.
Saifulloh menegaskan, RAN-SB sejalan dan menguatkan kebijakan lain seperti moratorium sawit, penghentian pemberian izin di hutan alam primer dan reforma agraria.
Tantangan dalam implementasi RAN-SB, katanya, soal koordinasi dan komunikasi pusat dan daerah.
“Kan yang punya sawit itu kabupaten. Kebijakan dibuat di level nasional. Pemerintah pusat harus selalu berkoordinasi dan berkomunikasi dengan seluruh stakeholder local government.”
Dia katakan, kadang masa sosialisasi kurang hingga pemerintah daerah tak peroleh informasi dengan baik. “Juga peningkatan kapasitas pekebun swadaya harus terus.”
Untuk menguatkan perkebunan sawit berkelanjutan, pemerintah sedang menyusun aturan (perpres) penguatan ISPO. Dengan perpres ini, sertifikasi ISPO jadi wajib oleh perusahaan skala besar maupun petani swadaya.
Draf Perpres ISPO, katanya, sudah ada di meja presiden, tinggal tanda tangan.
Mulai di sawit rakyat
Siswo Pramono, Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kementerian Luar Negeri mengatakan, terus melakukan diplomasi terkait sawit berkelanjutan Indonesia di kalangan internasional.
“Cuma diplomasi ini kan ujungnya. Memang di dalamnya ada persoalan lebih berat karena menyangkut tata kelola yang sebetulnya di luar Kemenlu,” katanya.
Dia bilang, tugas Kementerian Luar Negeri membantu perbaikan tata kelola dengan menggandeng pihak-pihak luar ikut membantu.
Siswo mencontohkan, Kemenlu bersama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), beberapa kali menyelenggarakan kursus mengenai minyak sawit dengan melibatkan peserta dari beberapa negara, termasuk dari Eropa.
Kelas ini, katanya, buat mengenal praktik-praktik sawit berkelanjutan oleh petani. Peserta akan merasakan pengalaman tinggal bersama petani sawit dan melihat langsung praktik keberlanjutan mereka.
“Mereka ikut menyiangi sawit, melihat bagaimana petani tadi tidak lagi menggunakan pupuk kimia, lebih kepada pupuk kandang. Pengembangan sawit, termasuk pengembangan metan dan seterusnya.”
Ada juga pengenalan praktik tumpang sari sawit dengan tanaman lain. Di sela sawit ada jengkol, petai, durian dan pohon kayu.
Intinya, kata Siswo, ingin memperlihatkan, ada problem lingkungan karena sawit di Indonesia, tetapi ada jalan untuk mengatasi.
Tumpang sari sawit dengan tanaman lain, katanya, masih tahap percobaan. Sejauh ini, hasil cukup menggembirakan. Tanaman sawit dalam satu hektar memang berkurang, tetapi hasil tidak menurun.
“Proses penyerbukan lebih sempurna. Hingga hasil tidak menurun walaupun sawit lebih sedikit. Nilai lebih lain, keragaman hayati meningkat. “Sekarang dari demplot-demplot itu sudah kita kembangkan sampai 200 hektar, ada bantuan PTPN V di Jambi.”
Diplomasi lain, lanjut Siswo, mengaitkan sawit dengan isu perdamaian. Pemerintah Indonesia dengan dukungan UNDP pelatihan kepada para mantan kombantanm baik mantan GAM Aceh, Filipina bagian selatan mantan kelompok Abu Sayaf, Timor Leste, Kolombia, bahkan Afghanistan.
“Kita berupaya bagaimana negara-negara yang punya problem, kombatan bisa kembali ke masyarakat dan menanam sesuatu lebih sustainable melalui tata kelola yang baik, tapi income juga baik, seperti tanam kelapa, cokelat dan sawit.”
Selain itu, katanya, Pemerintah Indonesia bersama organisasi masyarakat sipil di luar negeri kini mendorong standarisasi minyak nabati. Standarisasi ini perlu, katanya, bukan hanya untuk minyak sawit, juga seluruh minyak nabati.
Kerjasama melibatkan para ilmuan Eropa juga terus berjalan, salah satu penelitian mengenai pemindaian DNA sawit. “Ini penting agar petani bisa membedakan bibit unggul dan jelek.”
Dukungan pelaku usaha
Ismu Zulfikar, Kompartemen Sertifikasi ISPO Gabungan Asosiasi Pengusaha Sawit Indonesia (Gapki) mengatakan, industri sawit berkelanjutan sejalan dengan visi lembaga Gapki. Gapki, katanya, terus mendorong anggota menerapkan prinsip berkelanjutan. Gapki juga aktif sosialisasi RAN-SB dan bagaimana mengimplementasikan kepada anggota.
Dia bilang, hal paling krusial harus segera diatasi pemerintah dalam mengimplementasikan RAN-SB, katanya, soal koordinasi dan sinergitas antar kementerian dan lembaga baik pusat, maupun daerah.
Dia menilai, selama ini koordinasi dan sinergitas masih lemah dan bisa mereka rasakan, dalam mendorong sertifikasi ISPO.
ISPO, katanya, merupakan platform tata kelola sawit berkelanjutan di Indonesia. Dalam ketentuan itu, diatur bagaimana legalitas usaha perkebunan, manajemen base practice, pengelolaan yang baik dari aspek produksi, ekonomi maupun lingkungan. Juga perlindungan hutan alam primer, lahan gambut, pengelolaan lingkungan, tanggungjawab terhadap pekerja, tanggungjawab sosial dan pemberdayaan ekonomi maupun peningkatan usaha berkelanjutan.
Untuk mendorong sertifikasi ISPO, kata Ismu, seharusnya semua tingkatan kementerian dan lembaga kompak mendorong hingga strategi maupun praktik sinkron.
Berdasarkan catatan Gapki, dari 621 sertifikat Komisi ISPO, 405 merupakan anggota Gapki. Total luas perkebunan sawit anggota Gapki yang bersertifikat ISPO seluas 4,6 juta hektar.
“Tantangannya terus terang untuk koordinasi antar kementerian dan lembaga itu masih kurang. Apalagi kalau di daerah. Kalau kita bicara ISPO, kayak kami inisiatif sendiri, sosialisasi pelatihan kepada anggota. Harusnya kan dari Disbun daerah yang menginiasi.”
Keterangan foto utama: Hutan adat Kinipan, yang terbabat karena masuk konsesi untuk persiapan kebun sawit. Foto: Save Our Borneo