- Sejak disahkan 16 tahun silam, Undang-Undang No.31/2004 tentang Perikanan sudah menjadi pelindung dan sekaligus pengayom untuk sektor kelautan dan perikanan. Selama rentang waktu tersebut, banyak agenda penting yang dilaksanakan oleh Negara berdasarkan UU tersebut
- Tetapi, saat ini keberadaan UU tersebut dinilai sudah tidak bisa mengikuti perkembangan zaman. Padahal, di saat yang sama stakeholder terus melakukan berbagai inovasi untuk mengembangkan sektor kelautan dan perikanan
- Agar UU Perikanan bisa terus menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, maka pilihan terbaik adalah melakukan revisi. Namun, itu tidak akan mudah karena banyak hal yang harus bisa masuk dan menjadi rujukan untuk pengembangan sektor kelautan dan perikanan
- Dengan merangkul semua stakeholder dan isu yang ada, diharapkan kehadiran rancangan UU Perikanan yang masuk program legislasi nasional (Prolegnas) DPR RI bisa mendorong terwujudnya tata kelola perikanan yang berkelanjutan dan bertanggung jawab
Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kedua Undang-Undang No.31/2004 tentang Perikanan kini sudah masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) 2020 yang dilaksanakan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). RUU tersebut menjadi harapan baru bagi masyarakat perikanan Indonesia yang menjadikan laut sebagai sumber kehidupan dan penghidupan.
Kehadiran RUU tersebut diharapkan bisa menjadi rujukan baru untuk tata kelola perikanan yang berkelanjutan dan bertanggung jawab. Untuk mewujudkan harapan tersebut, perlu langkah dan strategi yang tidak mudah untuk dijalankan oleh Pemerintah Indonesia, utamanya Kementerian Kelautan dan Perikanan yang menjadi pengayom sektor kelautan dan perikanan nasional.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim mengatakan, dalam naskah akademik RUU Perikanan yang tengah dibahas oleh Komisi IV DPR RI, ada beberapa ruang lingkup yang menjadi pembahasan dan menjadi harapan untuk memperbaiki kondisi sektor perikanan di seluruh Indonesia.
Adapun, ruang lingkup yang dibahas itu adalah wilayah pengelolaan perikanan (WPP); usaha perikanan (akses kapal asing, pengelolaan dan pemasaran hasil perikanan); sistem informasi dan data; pungutan perikanan; serta penyerahan urusan dan tugas perbantuan.
Kemudian poin selanjutnya yaitu penyerahan urusan dan tugas pembantuan; pengawasan perikanan; peran serta masyarakat; pengadilan perikanan, penegakan hukum, dan sanksi; penelitian dan pengembangan perikanan; serta pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan perikanan.
baca : Kedaulatan Negara Jadi Pokok Bahasan Utama dalam RUU Perikanan, Seperti Apa?
Menurut Halim, dengan banyaknya ruang lingkung pembahasan dalam RUU Perikanan yang baru, itu menjelaskan bahwa kondisi sektor perikanan dalam negeri saat ini masih diperlukan peningkatan pada berbagai sektor. Selain itu, tantangan yang ada sekarang pada sektor tersebut juga perlu kehadiran semua pemangku kepentingan.
“Itu untuk untuk mencapai pengelolaan perikanan yang berkelanjutan dan bertanggung jawab,” ungkapnya saat hadir dalam diskusi bertajuk ‘Menghadirkan Tata Kelola Perikanan yang Berkelanjutan dan Bertanggungjawab melalui Penyusunan RUU Perubahan Kedua UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan’ yang diselenggarakan Pusat Transformasi Kebijakan Publik di Jakarta, pekan lalu.
Halim menjelaskan, agar bisa tercapai tata kelola yang diharapkan tersebut, maka salah satu jalan yang bisa ditempuh adalah dengan melakukan intervensi perubahan kedua UU No.31/2004. Dengan melakukan intervensi, maka perubahan bisa dilakukan sesuai dengan ihwal yang terjadi untuk masa sekarang dan yang akan datang.
baca juga : Tata Kelola Kapal Perikanan Masih Amburadul?
Isu Besar
Adapun, dari poin perubahan yang menjadi ruang lingkup pembahasan RUU Perikanan, Halim menyebutkan setidaknya ada tiga klaster isu besar yang bisa dibahas. Pertama, adalah kelembagaan wilayah pengelolaan perikanan dan pola hubungan antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkenaan dengan pengelolaan perikanan.
“Kedua, pengurusan administrasi perizinan perikanan; dan ketiga adalah pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan dan penegakan hukum atas tindak pidana perikanan di laut,” papar dia.
Dari klaster isu besar di atas, ada beberapa poin yang bisa dijadikan rekomendasi untuk pembahasan RUU Perikanan yang baru. Di antaranya adalah perlunya dilakukan sinkronisasi definisi tentang nelayan kecil; dan peralihan kewenangan pengelolaan urusan perikanan tangkap dan mekanisme pembagian dana bagi hasil.
Kemudian, pengelolaan perikanan secara berkelanjutan dan bertanggung jawab; pengelolaan kawasan konservasi laut berbasis hukum adat (customary law) dan kearifan lokal; kemudahan pengurusan dokumen administrasi perizinan perikanan.
Poin berikutnya, peningkatan kapasitas pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan, dan penegakan hukum atas tindak pidana perikanan di laut; memastikan keterlibatan perempuan di dalam rumah tangga nelayan dan pembudi daya Ikan dalam pengelolaan perikanan secara berkelanjutan dan bertanggungjawab.
“Pemenuhan hak-hak awak kapal perikanan (ABK) dan Tenaga Kerja di Sektor Pengelolaan dan Pemasaran Hasil Perikanan, dan integrasi administrasi perizinan perikanan dengan izin pengelolaan lingkungan,” bebernya.
Tentang poin yang terakhir di atas, Abdul Halim memberikan uraiannya lebih detil. Menurutnya, pengelolaan sumber daya ikan yang berkelanjutan dan bertanggung jawab bisa diwujudkan dengan melaksanakan penegakan hukum kepada pencemar lingkungan secara bersamaan. Cara itu diyakini akan bisa lebih cepat mewujudkan laut berkelanjutan dan bertanggung jawab.
Selain itu, perlindungan lingkungan juga sudah menjadi mandat dalam pasal 69 ayat (1) Undang-Undang No.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam UU tersebut disebutkan dengan tegas bahwa “Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.”
perlu dibaca : Bertemu LSM Lingkungan, Menteri Kelautan Tegaskan Perikanan Berkelanjutan dan Kawasan Konservasi
Jejak Negatif
Namun demikian, walau ada amanah UU tentang perlindungan lingkungan, Halim menyebutkan kalau selama ini perusahaan perikanan yang beroperasi di Indonesia memiliki rekam jejak yang negatif. Dari semua perusahaan yang ada di Indonesia, tercatat ada 16 perusahaan mendapatkan peringkat merah.
Ke-16 perusahaan tersebut adalah perusahaan yang bergerak di bidang pengolahan ikan, pengolahan udang, dan pengalengan ikan. Mereka masuk daftar merah setelah Kementerian Lingkungan Hidup dan Perikanan (KLHK) menerbitkan Keputusan Menteri (Kepmen) LHK No.613/2018 tentang Hasil Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup Tahun 2017-2018.
“Perusahaan-perusahaan tersebut berlokasi di Bali, DKI Jakarta, Jawa Timur, Maluku, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Utara,” sebutnya.
Menurut Halim, setelah Kepmen di atas terbit, KKP dan KLHK memberikan pendampingan serta pengawasan ekstra kepada 16 perusahaan pengolahan dan pengalengan ikan/udang. Dengan cara tersebut, tujuan agar terjadi perbaikan dalam menjalankan usaha diharapan bisa terjadi.
Sementara, Anggota Komisi IV DPR RI Ibnu Multazam pada kesempatan yang sama menjelaskan bahwa pembahasan RUU Perikanan yang tengah dilakukan memang sudah masuk dalam Prolegnas 2020. RUU tersebut juga menjadi inisiatif dari Komisi IV yang menilai bahwa sektor kelautan dan perikanan perlu dilakukan penataan lebih baik lagi.
Di sisi lain, agar RUU bisa berjalan baik dalam proses pembahasannya hingga disahkan menjadi UU, diperlukan panitia khusus (Pansus) yang bertugas untuk menjalankan semua proses pembahasan. Dengan demikian, pembahasan yang rumit dan harus dilakukan dengan sangat hati-hati, diharapkan bisa berjalan dengan baik sampai tuntas menjadi UU.
Menurutnya, sebagai pengayom untuk sektor kelautan dan perikanan, RUU Perikanan di dalamnya harus mencakup peraturan tentang pengurusan perizinan perikanan yang dilakukan secara terpadu. Tujuan dilakukan penyatuan pelayanan, karena itu akan memudahkan para pemohon perizinan yang berasal dari pelaku usaha perikanan di berbagai provinsi.
Selain perizinan, Ibnu juga menyoroti upaya pengawasan wilayah kelautan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) KKP. Agar bisa lebih baik, dalam RUU yang baru harus ada klausul pembahasan tentang penyatuan pengawasan PSDKP dan pelayanan on calling selama 24 jam.
“Pengelolaan anggaran juga menjadi hal yang krusial dan perlu disesuaikan dengan kebutuhan pengawasan. Jadi tidak mengikuti siklus APBN (anggaran pendapatan dan belanja Negara) per tanggal 25 Desember setiap tahunnya,” tutur dia.
***
Keterangan foto utama : Nelayan Desa Kranji, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur memperbaiki jaring yang rusak. Jaring ini digunakan untuk tangkapan ikan tongkol. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia