- Seorang warga berinisial AH (24 tahun) asal Riau ditangkap pada Senin (24/2/2020) saat hendak menyelundupkan sekitar 10 ribu ekor benih lobster (BL) ke Singapura melalui Bandara Ngurah Rai Bali
- Penyelundupan BL masih terus terjadi. Di Bali, tercatat ada 3 kasus selama 2019. Penyelundupan terjadi karena perbedaan harga BL sangat timpang di dalam negeri dan luar negeri
- Menteri baru Kelautan dan Perikanan sedang mengkaji perubahan Peraturan Menteri KP No.56/Permen-KP/2016 tentang Larangan Penangkapan dan atau Pengeluaran Lobster, Kepiting, dan Rajungan dari Indonesia yang menjadi dasar pelarangan ekspor BL
- Para pihak diminta mengawal revisi Permen KP ini agar memberikan solusi berkelanjutan bagi kelestarian lobster dan terutama keberadilan dan kesejahteraan nelayan pembudi daya lobster.
Petugas Bea Cukai Bandara Ngurah Rai menguntit seorang warga asal Riau yang diduga hendak menyelundupkan benih lobster (BL) pada Senin (24/2/2020) sampai jelang masuk pesawat. Areal apron No.B36 Bandara I Gusti Ngurah Rai Bali menjadi lokasi penangkapan warga berinisial AH (24 tahun) itu.
Ia disebut membawa tujuh kantong plastik berisi BL jenis pasir sebanyak 9.028 ekor dan satu kantong plastik berisi BL jenis Mutiara sebanyak 980 ekor dengan total seluruhnya sebanyak 10.008 ekor.
Pada 23 Desember 2016, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengeluarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) No.56/Permen-KP/2016 tentang Larangan Penangkapan dan atau Pengeluaran Lobster, Kepiting, dan Rajungan dari Indonesia. Disebutkan, lobster yang boleh ditangkap minimal berukuran 200 gram, sehingga penangkapan dan perdagangan BL dilarang.
Pria muda ini sudah diintai sejak tiba di bandara, check-in di konter, melewati proses imigrasi, sampai boarding dan naik bus menuju pesawat dengan tujuan Singapura menggunakan Air Asia QZ504.
“Kami mendapat informasi dari masyarakat. Jadi dilakukan pengintaian terlebih dahulu, mulai kedatangan di bandara, sampai ditangkap jelang naik pesawat,” urai Kepala Seksi Penyuluhan dan Pelayanan Informasi Bea Cukai Ngurah Rai, Teddy Triatmojo dikonfirmasi Selasa (25/2/2020).
baca : Adakah Cara Lain Pemanfaatan Benih Lobster, Selain Ekspor?

Benda di dalam tasnya bisa terpantau dari pemeriksaan image Xray. Namun petugas menunggu sampai dia boarding ke pesawat untuk menangkapnya guna memenuhi bukti dia berniat ekspor BL ke luar negeri.
Teddy menyebut proses penyelidikan sedang berlangsung untuk mengetahui tujuan akhir ekspor selain Singapura, bekerja sendirian atau sebagai kurir dan asal benih lobster. Sedangkan nilai jual keseluruhan barang bukti benih lobster ditaksir Rp1.550.200.000.
Atas perbuatannya, AH diduga melanggar Pasal 102a, Huruf a, Undang-Undang No.17/2006 tentang perubahan atas Undang-Undang No.10/1995 tentang Kepabeanan yakni penyelundupan barang ekspor dengan ancaman pidana penjara maksimal 10 tahun dan denda maksimal Rp5 miliar.
Penyelundupan Terus Berulang
Penangkapan warga yang hendak mendistribusikan benih lobster terjadi nyaris tiap tahun. Bahkan pada 2019 ada sedikitnya 3 kasus penangkapan. Kasus terakhir pada Senin (9/9/2019), Polair Polda Bali menggagalkan penyelundupan lebih dari 33.000 ekor BL senilai lebih dari Rp5 miliar hendak diselundupkan ke Vietnam.
Naas bagi sang kurir, Eko (26 tahun), pria yang disebut hanya mendapat upah sekitar Rp750 ribu dari Mns untuk biaya transportasi dan ongkos. Dari keterangan tersangka, benih lobster berjenis pasir (29.450 ekor) dan mutiara (3750 ekor) ini hendak diselundupkan ke Vietnam melalui bandara Ngurah Rai, Bali setelah transit di Singapura. Harga benih jenis mutiara ke luar negeri lebih mahal sekitar Rp200 ribu/ekor, sementara jenis pasir sekitar Rp150 ribu/ekor. Kerugian negara ditaksir mencapai Rp5,167 miliar.
baca : Benih Lobster Senilai Lebih Rp 5 Milyar Hendak Diselundupkan ke Vietnam

Selain oleh apara kepolisian, pihak keamanan bandara Ngurah Rai juga kerap menggagalkan upaya penyelundupan BL ke luar negeri, terutama ke Vietnam. Penangkapan tak hanya kurir dan pembeli, ada juga oknum petugas bandara yang menjadi jaringan penyelundupan BL.
Pada 2 September 2019, Petugas Bea Cukai Ngurah Rai Bali menggagalkan upaya penyelundupan ekspor 17.192 ekor benih lobster ke Vietnam melalui Bandara Ngurah Rai Bali. Benih lobster ini diamankan dari seorang pria oknum petugas ground handling Bandara Ngurah Rai Bali.
Harga benih lobster sangat timpang di dalam negeri dan luar negeri, memicu penyelundupan BL ke luar negeri terus terjadi. Apa solusi pencegahannya? Mongabay Indonesia rutin menulis persoalan ini dari sejumlah sisi, pemerintah, pengusaha, LSM, dan nelayan.
perlu dibaca : Sebanyak Rp1,37 Triliun Potensi Kerugian Negara Diselamatkan Dari Penyelundupan Benih Lobster
Perubahan Aturan Larangan Ekspor BL
Permen KP No.56/2016 tentang Larangan Penangkapan dan/atau Pengeluaran Lobster, Kepiting, dan Rajungan dari Indonesia tak lama lagi akan digantikan dengan peraturan yang baru yang tengah disusun saat ini oleh KKP.
Peraturan yang baru diperkirakan akan mengubah aturan pelarangan ekspor benih lobster menjadi pengelolaan ekspor benih lobster.
Agar tidak semakin melenceng jauh, masyarakat perikanan diharapkan bisa ikut terlibat dan memantau proses penyusunan dan pembahasan rancangan Permen KP yang baru. Jangan sampai, peraturan yang baru hanya akan menyusahkan masyarakat pesisir dan nelayan skala kecil saja
Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati pada Selasa (13/2/2020), menyatakan bahwa Rapermen KP tersebut sedianya akan menjadi peraturan pengganti Permen KP No.56/2016.
Menurut Susan, jika Permen yang baru nanti disahkan, maka Permen yang lama tidak akan berlaku. Itu artinya, aturan mengenai pelarangan ekspor BL yang sudah berlaku melalui Permen KP 56/2016, akan otomatis berubah menjadi aturan ekspor BL.
Bagi Susan, perubahan arah tersebut tak hanya akan memberi keuntungan yang besar bagi pelaku usaha benih lobster saja, namun juga pelaku usaha kepiting, dan rajungan. Dengan adanya Permen KP 56/2016 pun, ketiga komoditas tersebut selama ini selalu menjadi andalan bagi para pelaku usaha untuk mendapatkan pundi-pundi rupiah.
baca : Hilangnya Aspek Lingkungan dalam Tata Kelola Pemanfaatan Lobster

Adapun, rapermen yang dimaksud saat ini masih dalam tahapan pembahasan oleh KKP di bawah pemantauan Komisi Pemangku Kepentingan dan Konsultasi Publik Kelautan dan Perikanan (KP2 KKP). Naskah akademis rapermen tersebut yang terdiri dari empat draf, saat ini sudah diberikan KKP kepada KP2 KKP.
Bagi KIARA, penyusunan draf tersebut harus dikawal ketat oleh publik, terutama masyarakat perikanan nasional. Penyebabnya, karena Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo yang memimpin langsung penyusunan draf, saat ini semakin terlihat fokus untuk mengarah Rapermen pada pencabutan larangan ekspor BL.
KKP diharapkan untuk membangun sistem budi daya lobster atau penangkapan lobster yang berbasis masyarakat, dan keberlanjutan lingkungan. Dalam Permen KP 56/2016, pengaturan lobster yang boleh ditangkap minimal adalah berukuran 8 centimeter/200 gram. Sementara, dalam Rapermen yang sekarang, aturan itu berubah menjadi ukuran minimal 6 cm/150 gram.
Kemudian, kepiting yang boleh ditangkap sesuai Permen KP 56/2016 adalah minimal berukuran 15 cm/200 gram dan kemudian berubah menjadi berukuran minimal 12 cm/150 gram. Sementara, untuk rajungan, tidak mengalami perubahan dalam rapermen yang sekarang, yakni berukuran minimal 10 cm/60 gram.
baca juga : Kenapa Penyelundupan Benih Lobster Terus Meningkat?
Kompensasi Larangan Ekspor
Sebelumnya Mongabay Indonesia juga merangkum hasil liputan dari Lombok, pusat penangkapan benih lobster yaitu tentang demografi nelayan, dampak larangan, maraknya penyelundupan bibit lobster, serta jalan keluar yang diharapkan para pihak termasuk nelayan, organisasi nelayan, pemerintah, dan organisasi non-pemerintah
Ketika Permen KP 56/2016 muncul, nelayan di pesisir selatan Lombok sedang menikmati berlimpahnya rezeki dari hasil penangkapan bibit dan budidaya lobster. Lalu terhenti karena larangan, dan muncul banyak kasus penyelundupan.
baca fokus liputan : Larangan Penangkapan Lobster, Permen Pahit bagi Nelayan Lombok (Bagian 4)

Pemerintah memberikan penggantian (kompensasi) untuk nelayan. Pada Juli 2017 lalu KKP membagi dana sebesar Rp50 miliar kepada nelayan di Lombok yang terdampak pelarangan penangkapan dan budidaya lobster. Dana itu diberikan kepada 2.246 rumah tangga (RT) bekas penangkap bibit lobster, masing-masing di Kabupaten Lombok Tengah sebanyak 873 RT, Lombok Timur 1.074 RTP, dan Lombok Barat sebanyak 229 RTP.
Dana kompensasi itu diberikan dalam bentuk peralatan tangkap berupa jaring, kapal, serta bibit ikan bawal dan kerapu. Di tingkat lapangan, nelayan mengaku mendapatkan kompensasi berupa 600 ekor bibit bawal dan 37 karung pakan bawal masing-masing seberat 20 kg. Jika dirupiahkan, tiap nelayan mendapatkan Rp10 juta – Rp20 juta.
Di tingkat nelayan, kompensasi mendapat tanggapan dan masalah beragam. Pertama dari sisi nilai rupiah, nelayan menganggap jumlah tersebut terlalu kecil.