- Warga Dusun Pancer, Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi, Jawa Timur, mendirikan tenda biru perjuangan Januari lalu, sebagai protes warga terhadap rencana eksplorasi tambang emas di Gunung Salakan, yang berdekatan dengan Gunung Tumpang Pitu.
- Warga Dusun Pancer, mata pencaharian utama nelayan dan tani. Meskipun begitu, alam daerah barat daya Banyuwangi ini terkendal keindahannya hingga jadi destinasi wisata, seperti Pantai Mustika Pancer.
- Masyarakat berusaha Gunung Salakan, tetap terjaga karena kawasan itu pertahanan mereka. Warga di sana, punya pengalaman tsunami, sumber air juga dari pegunungan itu dan kala nelayan kena angin barat, tidak bisa melaut, mengandalkan pengharapan dari gunung.
- Buaian kesejahteraan dengan ada perusahaan tambang emas, malah berbuah permasalahan sosial makin tinggi. Konflik antar saudara, keluarga, tetangga, teman terus terjadi antara mereka pro tambang dan penolak tambang.
Pancer, nama sebuah dusun di Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi, Jawa Timur. Di dusun ini terdapat pantai yang terkenal punya panorama indah, yaitu, Pantai Pulau Merah, Pantai Mustika, dan Pantai Wedi Ireng. Jarak antara Pantai Mustika dengan Pantai Pulau Merah, hanyalah sekira empat km.
Pada 3 Januari 2020, Pemkab Banyuwangi menggandeng PT Bumi Suksesindo (BSI), meresmikan dan memulai pembangunan Jalan Pancer dan Pulau Merah sepanjang 3,85 km.
Mustika adalah nama pantai yang disepakati warga Dusun Pancer. Ia ada di barat daya Banyuwangi. Orang biasa menyebut Banyuwangi Selatan. Ia disebut Pantai Mustika karena secara folklor, dulu Nyai Roro Kidul, pernah singgah di pantai ini. Sewaktu pulang, mustika si Nyai Kidul ketinggalan.
Oleh seorang warga Pancer, mustika itu dibuang ke laut, dengan harapan bisa kembali ke sang pemilik.
Di seberang pantai ini terdapat Pulau Mustaka. Ia dikenal karena terumbu karang nan indah, dan habitat berbagai flora dan fauna, seperti berbagai jenis ular laut.
Baca juga: Cerita dari Tenda Perjuangan Warga Penolak Tambang Emas di Gunung Salakan [1]
Dari Pantai Mustika, dapat melihat jelas Gunung Tumpang Pitu yang memiliki ketinggian 485 mdpl. Di gunung itulah dulu Wong Agung Wilis menghabiskan beberapa waktu untuk perjalanan religiusnya, pada abad XVIII. Di masa Blambangan, Wilis dikenal sebagai pemimpin yang mengobarkan semangat perlawanan terhadap VOC periode 1767-1768.
Pantai Mustika, juga satu garis pantai dengan Pantai Pulau Merah, hanya berjarak hampir empat kilometer. Di barat, Tumpang Pitu masih ada Bukit Salakan, yang tak menjulang sendirian, ada bukit-bukit lain di sekitar. Dua antara lain, Bukit Lompongan dan Gondoruwo. Perbukitan ini ada di tanah Dusun Pancer, Desa Sumberagung, Pesanggaran, Banyuwangi.
Baca juga: Kala Warga Banyuwangi Tolak Tambang di Gunung Salakan
Nama dusun sendiri dari sebutan pengendali perahu, pancer. Jember juga memiliki pantai dengan nama Pantai Pancer, di Puger Kulon. Antara Pantai Mustika Pancer dan Pantai Pancer Jember, sama-sama ada di pantai selatan.
Pantai Pancer Jember, juga satu garis pantai dengan Watu Ulo, dan pantai-pantai selatan lain di Kabupaten Jember. Folklor yang menyatukan pantai selatan di Jember dan di Banyuwangi adalah kisah tentang ular raksasa. Beberapa orang menyebutnya Nogo Rojo.
“Jadi, jika Pantai Watu Ulo di Jember itu sebagai tubuh ular, kepalanya ada di sini, di Pulau Mustaka Banyuwangi,” cerita Fitriyati, warga Pancer.
Nama Dusun Pancer, mengingatkan pada falsafah Jawa, sedulur papat limo pancer. Sedulur papat terdiri atas kakang kawah, adi ari-ari, getih, dan puser. Sedangkan manusia yang terlahir dari rahim ibunya, yang disebut pancer. Gambaran dari pusat kehidupan.
Baca juga: Mereka Terus Suarakan Penyelamatan Tumpang Pitu dari Tambang Emas
Bila mengaitkan dengan falsafah itu, Dusun Pancer dapat pula digambarkan sebagai poros: pusat atau bisa juga ancer-ancer. Ia berkaitan dengan orientasi.
Karena berada di pesisir pantai, dusun Pancer tak bisa disebut sebagai poros Banyuwangi. Dari sebelah selatan ia berbatasan langsung dengan Samudra Indonesia. Tapi pusat pemerintahan kecamatan Pesanggaran ada di Jalan Raya Pancer alias jalan menuju dusun Pancer, di desa Siliragung.
Nelayan yang tidak melaut memilih membenahi jala bersama-sama di samping tenda perjuangan sambil berjaga-jaga. Foto: RZ Hakim/ Mongabay Indonesia
Alif Farda, sejarawan Banyuwangi menyatakan, Pesanggaran adalah wilayah Banyuwangi paling selatan.
Sumber lain menyebutkan, posisinya berada di Barat Daya, di antara selatan dan barat. Selain Tegaldlimo, Pesanggaran adalah kecamatan yang memiliki wilayah paling luas di Banyuwangi. Jarak dari pusat pemerintahan Banyuwangi hampir 70 kilometer.
Baca juga: Protes Tambang Emas: Cari Keadilan, Warga Banyuwangi Kayuh Sepeda ke Surabaya
Meskipun lokasi di ujung, namun Dusun Pancer terbilang ramai. Ia dusun yang luas. Pada perhitungan 2018, penduduk Pancer ada 4.888 jiwa, terdiri atas 1648 keluarga, dengan tiga rukun warga (RW) dan 20 rukun tetangga (RT).
Tak heran bila Pancer disebut sebagai penghasil ikan terbesar ke dua di Banyuwangi. Melalui TPI Pancer, mereka pemasok ikan terbanyak di Muncar, Banyuwangi.
Selain hidup sebagai nelayan, warga Pancer juga makmur karena bidang pertanian. Mereka penghasil padi dan buah naga. Ada juga jenis tanaman produksi lain seperti jagung, jeruk, dan lain-lain.
Ketika angin barat daya bertiup sangat kencang, nelayan Pancer tak berani melaut. Mereka meliburkan diri, hingga angin kencang berlalu. Syukurlah, mereka punya Gunung Tumpang Pitu yang memiliki fungsi alami sebagai pemecah angin. Fungsi alami lain, katanya, tentu sebagai penanda bagi nelayan yang sedang melaut ketika mereka hendak pulang.
Tsunami 1994 dan Gunung Salakan
Masyarakat Dusun Pancer, punya kenangan tersendiri terkait angin barat daya yang bertiup kencang, yakni, peristiwa tsunami pada 3 Juni 1994.
“Saat itu, saya sedang melaut, tentu tak tahu bila sedang tsunami. Gelombang di lautan hanya terlihat berbeda dari biasa, tapi saya tak merasakan apa-apa,” kata Bambang, warga Dusun Pancer.
“Waktu perahu saya hendak merapat, saya sudah curiga. Deg-degan. Ada apa ini? Kok pemukiman kami terlihat lain dari biasanya? Bisa dikatakan hancur. Jantung saya berdegub kencang. Perahu saya sandarkan selekas mungkin, lalu saya bergegas mencari keluarga saya. Istri dan anak saya. Bagaimana nasib mereka?”
“Saya lari ke mesjid, tempat jenasah korban tsunami ditaruh berjajar-jajar sebelum dimakamkan. Saya lihat itu mayat, saya buka tutup wajahnya satu persatu hingga deret terakhir. Tak ada wajah anak saya. Juga istri saya. Di mana mereka?”
Pintu masuk Dusun Pancer. Foto: RZ Hakim/ Mongabay Indonesia
Hampir saja Bambang berlari naik ke Salakan untuk mencari mereka, ketika tiba-tiba namanya dipanggil salah satu pengurus mesjid.
“Keluargamu ora enek nang kene. Insya Allah slamet. Soale bojomu lagi mbecek nang omah keluargane kono.”
Mbecek atau rewang adalah bahasa Jawa yang berarti bantu-bantu keluarga yang sedang ada hajatan.
“Ketika saya sedang mencarinya, istri saya juga sedang mencari saya. Dia menunggu kedatangan saya di tempat yang berbeda.”
Bambang dan istri berjumpa di sebuah bruk di dekat pertigaan Salakan, bila lurus ke selatan masuk ke pemukiman warga Pancer. Mereka berdekapan.
“Saya menangis di pelukan istri saya. Dia juga begitu. Saya peluk anak lelaki saya yang saat itu mungkin baru kelas II sekolah dasar. Sungguh saya bersyukur,” katanya.
Tak semua keluarga bernasib seperti Bambang dan keluarga. Banyak dari mereka kehilangan orang-orang tercinta. Tsunami itu segera jadi perhatian nasional. Presiden Soeharto beserta rombongan datang ke Pancer.
Cuaca dingin di bawah tenda terpal yang menangkis air hujan, Bambang bercerita. Hujan turun deras disertai angin.
“Nek wes angin banter ngene iki, nelayan ora wani nggolek iwak. Prei,” kata Sukamto, lelaki yang duduk tak jauh dari Bambang.
Tragedi tsunami tak hanya lekat dalam ingatan Bambang, namun sangat terkenang dalam ingatan Srinati, juga warga Pancer.
Srinati bilang, tsunami sekitar pukul 02.00 dini hari. Saat orang-orang sedang lelap tidur, tiba-tiba datang hempasan air besar. Rumah-rumah roboh terkena terjangan air.
Srinati segera berlari membawa kedua anaknya. Satu dia panggul di punggung dan satu lagi Sri gendong.
Sambil berlari, sayup-sayup dia mendengar suara orang minta tolong, ketika menoleh ke belakang, suara itu lenyap oleh sapuan ombak. Srinati berlari sekuat tenaga menuju Gunung Salakan.
Ketika sampai di tempat aman, di tengah perjalanan, dia menemukan sebatang bambu. Karena kelelahan, bambu itu dia gunakan untuk menopang kedua anaknya.
”Waktu sampai di Salakan, banyak warga Pancer juga menyelamatkan diri ke sana. Pokoknya di sana sudah penuh orang. Kita ngungsi di sana sampai keadaan benar-benar aman. Saya bertemu lagi dengan keluarga yang lain baru esok harinya.”
“Perih kalau ingat tsunami, seperti baru kemarin saja kejadiannya. Bapaknya anak-anak, Sahir, juga mati kena tsunami” kenang Srinati.
Perempuan yang duduk di sebelah Srinati menimpali. “Waktu air masuk rumah, saya sempat menjilatnya. Lha kok terasa asin. Saya cuma mbatin, kalau air asin, wah habis ini saya mati di sini. Habis itu saya terus lari bawa anak saya yang baru berusia empat bulan”.
Selain sebagai benteng menyelamatkan diri, wilayah perbukitan Gunung Salakan juga sumber kehidupan warga untuk bertani, mencari sayur, kayu bakar dan sumber air yang menghidupi masyarakat Pancer dan sekitar.
Tak heran, kala mendengar Gunung Salakan bakal alami senasib dengan Tumpang Pitu, buat tambang, warga menolak keras.
“Kalau kita kan sudah tua, mati bisa sewaktu-waktu. Yang dipikirkan jelas anak cucu. Kita ini bukan demo, tapi upaya memepertahankan lingkungan.”
Masyarakat, katanya, hanya meminta Gunung Salakan tak ditambang. Gunung itu, katanya, penyangga satu-satunya Dusun Pancer.
Kalau sudah kena tambang, katanya, masyarakat susah cari penghidupan. “Mau cari kayu susah. Cari sayuran bayem dan daun junggulan juga susah. Nanti pasti dikeruk dan dipagar. Jelas susah. Nah, air juga pasti susah,” kata Srinati, seraya bilang, selama ini, warga sekitar Pancer memanfaatkan sumber air di Gunung Salakan.
Suami tewas jadi korban tsunami, Srinati harus menghidupi anak-anak sendirian dengan bertani dan mencari sayur di Salakan.
“Ya, kalau ikan ada, lha sekarang ikan ini sudah mulai susah. Lumpur sampai ke tengah, jadinya harus makin jauh melaut. Kalau dulu, dekat sudah bisa dapat ikan, sekarang jauh.”
Jadi, katanya, Salakan harus dipertahankan untuk sumber penghidupan masyarakat. “Di bawah gunung itu banyak perkampungan, nanti kalau ditambang gimana? Mau jadi apa?”kata Srinati dengan mata berkaca-kaca.
Perikanan bisa terdampak
Rika, juragan kapal di Dusun Pancer, juga mengeluhkan, tangkapan ikan sekarang tidak semelimpah dulu. Apalagi jenis yellowfin, tuna bersirip kuning, hampir tiap musim dalam tiga tahun ini, tak pernah mampir ke perairan laut Pancer.
Tuna sirip kuning merupakan andalan ekspor Indonesia. Dаrі sekian banyak daftar hasil laut Indonesia yang bernilai tinggi, nama ikan tuna sirip kuning (yellowfin) termasuk dalam daftar ikan termahal Indonesia. Ia jadi sajian favorit kuliner dunia. Jenis ikan laut ini di perairan Indonesia іnі jadi ajang perburuan kapal ikan asing.
“Kalau untuk nelayan itu biasa berpatokan sama ilmu titen. Kalau yang kami rasakan yang paling menonjol itu jenis tuna yellowfin. Biasa mereka dari September ke Desember, banyak. Sudah tiga musim, hampir empat musim ini, belum pernah ada tangkapan jenis itu. Padahal yang paling ditunggu-tunggu jenis tuna itu.,” kata Rika.
Bersepeda protes rencana eksporasi perusahaan tambang emas di Gunung Salakan. Foto: RZ Hakim/ Mongabay Indonesia
Dia tak tahu penyebab tuna ekor kuning susah ditemukan. “Dulu, ikan jenis ini yang membuat pendapatan nelayan jadi melimpah,” kata Rika, yang bersolidaritas di tenda perjuangan bersama warga Pancer.
Rika bilang, yellowfin merupakan ikan migrasi yang menyukai suhu air tertentu. Jadi, pada bulan tertentu mereka bermigrasi ke perairan Pancer. Satu migrasi yellowfin berlangsung selama tiga bulan, setahun sekali.
“Apa iya ini karena adanya tambang? Ya, saya nggak tahu, karena saya bukan professor. Semoga ada penelitian ilmiah yang bisa menjelaskan itu.”
Yang jelas, katanya, kemungkinan suhu air sudah berubah hingga tak disukai yellowfin lagi. Sejak tiga atau empat tahun lalu sampai sekarang, belum pernah lagi merasakan panen melimpah.
Ketika yellowfin jarang mampir, katanya, yang paling menolong nelayan untuk bisa lanjut melaut adalah cakalang dan baby tuna. Baby tuna merupakan sejenis yellowfin namun ukuran lebih kecil.
Seiring tangkapan ikan merosot, jala-jala makin lengang. Perbukitan Gunung Salakan, jadi pilihan sumber penghidupan lain bagi warga Pancer ketika tak melaut.
“Mereka nggak tau hukum nggak tau apa, tapi pada hari ini mereka akan tetap berjuang hidup dan mati untuk mempertahankan Gunung Salakan ini dari jamahan pertambangan emas. Itu sumber penghidupan utama masyarakat,” kata Zainal Arifin, warga Desa Ringintelu, Kecamatan Bangorejo.
Tak cukup hanya membangun tenda perjuangan, warga Pancer, juga menyuarakan penolakan rencana eksplorasi tambang emas Gunung Salakan ke Gubernur Jawa Timur, di Surabaya. Lebih seratusan warga Pancer, bersama mahasiswa, bersepeda dari Banyuwangi ke Surabaya, mencari keadilan. Kini, mereka menyuarakan kekhawatiran dan keterancaman mereka di Surabaya. Mereka berharap, pucuk pimpinan provinsi itu mendengarkan keresahan mereka dan menghentikan niat perusahaan beraksi lebih jauh di Gunung Salakan.
Penangkapan Agus
Sore itu, pukul 15.34. Seorang lelaki tampak tergopoh-gopoh memarkir motor lalu menghambur pada sekumpulan warga yang duduk di emperan toko yang tutup, di bawah pohon kersen.
Lokasi tepat di sisi kanan tenda, hanya dibatasi jalan kecil berpaving. Abdullah, lelaki itu masih mengenakan jas hujan warna hijau ketika baru tiba sambil tergopong-goponh.
“Agus ditangkep polisi” Itu kalimat pertama yang terucap dari bibir Abdullah.
Orang-orang di sekitar tenda segera datang mendekati. Abdullah cerita, Agus ditangkap polisi ketika sedang berboncengan dengan dia. Abdullah menyetir motor, Agus diboncengan.
Mereka dicegat petugas yang gunakan dua mobil. Satu warna hitam, dan satu putih. Saat turun dari mobil, barulah Abdullah mengerti kalau petugas itu sedang tidak mengenakan pakaian tugas.
Agus ditangkap Kamis, (30/1/20) di Kedungrejo, Bangorejo pada pukul 14.30 saat hendak berangkat bekerja ke Pelabuhan Muncar. Mulanya, warga hanya bisa menduga-duga, kenapa Agus ditangkap. Abdullah dicecar banyak pertanyaan kemudian salah satu warga menyarankan warga lain tetap tenang.
Abdullah juga diminta menenangkan diri. Dari sana, mereka mulai mencoba menelepon sana-sini untuk mencari informasi terkait penangkapan Agus.
Akhirnya, warga mengerti, Agus ditangkap terkait aksi penghadangan yang pernah mereka lakukan pada 18 hari sebelumnya.
“Enek sing laporan”, Ujar salah seorang warga. Diketahui bahwa yang melaporkan Agus adalah Aan Prayoga, pemuda dari Pantai Pulau Merah yang juga karyawan di PT. BSI.
Suasana sore yang ramai itu menjadi melankolis manakala Misini datang ke lokasi. Ia menangis sesenggukan. Kata-kata yang keluar dari bibirnya bercampur dengan isak tangis. “Padahal aku sedinoan iki enek nang tendo, kok yo ora enek sing ngabari aku nek bojoku ditangkep pulisi”. Abdullah memang tidak segera menghubungi pihak keluarga Agus, melainkan langsung menuju tenda perjuangan. Orang-orang menenangkan Misini, istri Agus. “Tenang, jangan khawatir. Sebentar lagi kita jemput Agus bersama-sama ke Polsek Pesanggaran”.
Menurut Abdullah, saat pertama penangkapan, dia diminta berhenti dan Agus dibawa masuk mobil. Petugas juga tak mengeluarkan surat penangkapan di depannya. Agus masuk ke mobil.
“Saya disuruh balik pulang,” katanya.
Sore itu, warga Pancer bersatu dan berbondong-bondong menuju Polsek Pesanggaran yang berjarak enam kilometer dari tenda perjuangan. Mereka mau tahu yang sebenarnya terjadi, dan bermaksud membawa Agus pulang.
Belum sampai di Polsek Pesanggaran, hujan turun begitu deras disertai angin. Warga tetap menuju lokasi. Tak semua warga ikut ke Polsek Pesanggaran, sebagian tenda untuk mempersiapkan istighosah malam hari.
Zainal Arifin, warga yang turut ke Polsek Pesanggaran mengatakan, warga ikut ke polsek lebih 300 orang. Mereka tersebar di banyak titik, termasuk beberapa warga yang bertahan dalam tenda untuk mengikuti istighosah.
“Kalau dihitung semua ya banyak sekali”.
Pada pukul 16.43, Kapolsek Pesanggaran, AKP Ryan Wira Raja Pratama, mengkonfirmasi di depan rombongan warga ke Polsek, bahwa penangkapan Agus Hariawan berdasarkan laporan Aan Prayoga, yang mengaku mendapatkan penganiayaan.
Laporan ini masuk pada 10 Januari 2020 disertai visum dari dokter. Menurut hasil visum, terdapat luka memar. Kapolsek juga memperlihatkan video bukti penganiayaan kepada Misini, istri Agus. Video juga dia perlihatkan ke beberapa warga.
Warga yang melihat video, merasa tidak terima karena dianggap rekayasa pelaporan. Menurut Misini, suaminya tak pernah memukul.
Pada penghadangan 10 Januari 2020 itu, Agus berusaha menghalau dan melerai. Dalam video, adegan itu dilingkari dan diputar slow motion. Beberapa warga bersaksi, tak ada pemukulan.
Selama tenda perjuangan berdiri, tak ada aksi kekerasan yang dimulai warga. Video itu menggambarkan penggalan peristiwa ketika aksi penghadangan warga Dusun Pancer terhadap tim peneliti dari Universitas Tri Sakti Jakarta.
Tim ini berkolaborasi dengan PT BSI, selaku perusahaan pengelola tambang emas Gunung Tumpang Pitu. Proses pengujian potensi mineral itu dikawal Brimob dan Polda Jawa Timur.
Ketika dikonfirmasi, Kapolsek Pratama mengatakan, sudah memenuhi prosedur dengan memakai surat penangkapan. Dia mengkonfirmasi lewat telepon kepada petugas dan didengarkan oleh sebagian warga termasuk istri Agus.
Dia menjanjikan, menindak tegas para aparat bila ada yang dianggap menyalahi aturan dan prosedur di lapangan.
Rika, pemilik kapal tempat Agus bekerja kecewa atas penangkapan Agus yang terkesan rekayasa.
“Terus terang saya kecewa Pak. Agus ini ditangkap saat mau berangkat kerja. Tidak ada surat penangkapan, tiba-tiba ditangkap di jalan. Seperti maling. Agus ini sudah seperti keluarga saya sendiri. Saya akan terus mendampingi,” kata Rika.
Warga yang berkumpul di Polsek Pesanggaran juga kecewa karena Agus tak ada di Polsek. “Mungkin Agus langsung dibawa ke Polres Banyuwangi,” kata salah satu warga.
Kekecewaan itu membuat warga memblokir jalan tepat di depan Polsek Pesanggaran. Jalan Raya Pancer, namanya. Hari telah senja ketika mereka memulai pemblokiran jalan, dimulai oleh sekumpulan Ibu-ibu. Semua pengguna jalan yang melintas diperiksa, apabila yang lewat adalah karyawan BSI, disuruh berbalik arah. Pengguna jalan lain bisa terus melanjutkan perjalanan.
Seorang perempuan yang menggunakan jas hujan berlogo BSI warna hijau muda dan kuning juga dipersilakan melintas karena mengaku rumah di dekat sana.
Tuntutan mereka hanya satu, meminta kejelasan tentang penangkapan Agus dan akan membawa Agus pulang. Bila masih belum ada kejelasan tentang Agus, mereka akan tetap bertahan memblokir jalan yang menghubungkan dengan BSI, Pantai Pulau Merah, dan Dusun Pancer.
Menjelang magrib, Aan Prayoga, pelapor didatangkan untuk proses verifikasi sekaligus dipertemukan dengan warga dan keluarga. Aan datang ditemani ibunya. Menurut pengakuan dia, proses pelaporan itu bukan atas kehendaknya sendiri tetapi didorong inisiatif teman-teman pekerja lain yang tergabung dalam Koperasi Serba Usaha Al Falah. Aan juga mengaku, sebenarnya Agus tidak memukul hanya memegang bahu.
Akhirnya, Aan bersepakat mencabut tuntutan namun kejelasan harus menunggu kedatangan AKBP Arman Asmara, Syarifuddin Kapolresta Banyuwangi.
Selama proses menunggu hasil keputusan sampai Agus benar-benar keluar dan kembali kepada keluarga, blokade terus berlangsung.
Monumen Peringatan Tsunami di Pancer. Foto: RZ Hakim/ Mongabay Indonesia
Sekitar pukul 22.10, AKBP Arman Asmara Syarifuddin, Kapolresta Banyuwangi menemui warga di Polsek Pesanggaran. Warga dikumpulkan di area terbuka dalam lingkungan polsek. Dia bilang, sedang proses penangguhan penahanan.
Penangguhan ini, katanya, proses untuk penangkapan selanjutnya. Arman juga berkomitmen untuk memeriksa laporan terkait SOP penangkapan Agus yang dinilai warga tidak adil. Arman berjanji akan melakukan kroscek terkait surat penangkapan tersebut.
Usai mediasi, sekitar pukul 22.21, antara kapolresta dengan warga Pancer penolak rencana pertambangan Gunung Salakan dan sekitar, suasana sempat memanas.
Di luar ada beberapa pro tambang dari Pancer, memancing emosi warga. Keributan berhasil dicegah kepolisian dan inisiatif beberapa warga untuk tak terpancing emosi. Warga bersikeras tetap tinggal di Polsek Pesanggaran, sampai ada kejelasan tentang pembebasan Agus.
Sebelum rombongan pro tambang datang, warga dusun Pancer yang menolak rencana pertambangan Gunung Salakan telah mendengar kabar itu. Mereka telah siap, apapun yang terjadi.
“Kalau Pak Kapolres tak langsung turun tangan sendiri, embuh wes. Bakalan perang habis-habisan,” celetuk seorang perempuan yang menggendong anaknya.
Sekitar pukul 23.00, datang Kepala Desa Sumberagung, Vivin Agustin, dan berinisiatif menjemput ke Polres Banyuwangi.
Pukul 01.00 dini hari, Agus datang dikawal kepala desa, kapolsek dan jajarannya. Kedatangan Agus disambut gembira warga.
Saat ditanya, Agus bilang, baru melihat surat penangkapan ketika masuk mobil polisi. Dia membaca keseluruhan isi surat. Selama proses ke Polres, dia juga tak mendapatkan kekerasan ataupun intimidasi dari kepolisian.
Kapolres mengatakan, segera memproses pencabutan kasus karena pelapor berkomitmen mencabut.
***
Setiap hari ada percakapan-percakapan, dan berbagi informasi atas apapun yang menyangkut hidup mereka. Pada hari-hari tertentu, kadang ada kunjungan dari para pihak, seperti dari muspika, muspida, bahkan kadang kunjungan politisi.
“Kami menyambut mereka semua secara sama saja. Apa adanya. Kami suguhkan kepada mereka apa yang kami makan. Kalau kami makan di dapur, ya para tamu yang hadir itu pasti akan kami ajak makan bersama-sama, dengan menu sama,” kata Zainal.
Di tengah kesibukan warga di tenda, dua anjing tampak mengendap-endap mendekati dapur umum. Seolah sudah hapal kalau di sudut dapur selalu ada sisa makanan buat mereka. Tak jauh dari dua anjing itu, ada kucing kampung juga sedang akan mengambil bagiannya.
Di tenda perjuangan ini, kedua jenis hewan karnivora yang sulit akur ini tak saling serang. Mereka bisa hidup rukun dan berbagi tempat di tanah Pancer. Kondisi berbanding terbalik dengan warga yang hidup di sana. Sejak masuk pertambangan emas, masyarakat Desa Sumberagung, Pesanggaran, terjadi pro kontra.
Konflik sosial bisa muncul kapan saja…Itukah harapan pemerintah yang sudah menghadirkan investasi dengan buaian kesejahteraan bagi warga? (Selesai)
Keterangan foto utama: Gunung Salakan, dari kejauhan dan papan penunjuk arah untuk evakuasi tsunami dari Dusun Pancer. Warga Pancer begitu khawatir kala gunung tempat mereka menyelamatkan diri kala tsunami bakal jadi wilayah tambang emas. Foto: RZ Hakim/ Mongabay Indonesia