- Beragam pangan lokal Luwu Utara (Lutra) dipamerkan pada peringatan Hari Perempuan Internasional di halaman kantor Bupati Lutra, Masamba, Sulawesi Selatan, Rabu (11/3/2020).
- Bupati Lutra tengah mendorong upaya diversifikasi pangan tidak hanya beras, tetapi juga non beras, seperti sagu, ubi kayu, jagung dan jenis pangan lainnya.
- Perempuan dianggap memiliki peranan yang besar dalam memastikan ketersediaan pangan di Indonesia. Begitu juga dengan generasi muda yang didorong untuk tertarik bekerja pada sektor pertanian
- Pangan lokal harus selalu dipromosikan untuk meningkatkan ekonomi masyarakat lokal. Termasuk pengembangan SDM yang berkecimpung dalam pengolahan produk pertanian ini. Pangan lokal bisa jadi identitas kebudayaan, yang memungkinkan ekologi ikut terjaga, di mana tak ada pangan lokal yang tumbuh dari kebudayaan dan lingkungan yang rusak.
Makanan itu dinamai Jadde. Terbuat dari ubi kayu dicampur pisang dan kelapa, ditambah garam secukupnya. Pangan lokal masyarakat Desa Sassa, Kecamatan Baebunta, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan itu biasanya dikonsumsi pada acara pesta, baik itu pesta perkawinan ataupun adat.
Jadde biasa disajikan dengan lauk yang disebut Lawak Sayur Ambong, terbuat dari sayur Ambong yang konon tergolong langka dan hanya ditemui di Kecamatan Baebunta.
“Semua makanan ini adalah makanan khas di Baebunta. Jadi tidak hanya nasi, namun banyak makanan alternatif lain. Ada juga Sagu, Battang atau Jewawut dan Parede Ayam. Kalau Parede Ayam ini uniknya karena dimasak di dalam bambu atau dikenal dengan nama peong,” jelas Maskawati Andi Yasir, Ketua PKK Kecamatan Baebunta.
Tidak hanya makanan, masyarakat Baebunta juga memiliki minuman khas yang disebut Jus Buah Sulikan. Terbuat dari ekstrak buah Sulikan dicampur susu dan gula. Rasanya agak sepet namun tertutupi oleh rasa manis gula dan susu.
Makanan khas lainnya adalah Kapurung. Mirip dengan Papeda di Papua. Terbuat dari Sagu yang diberi tambahan aneka sayur dan ikan. Untuk menambah rasa ditambahkan bumbu yang disebut Patikala, yang memberi rasa asam dengan cita rasa khas.
“Kalau kami di Luwu makan Kapurung disebut ‘minum’,” tambah Maskawati. Disebut minum mungkin karena bentuk makanan yang encer atau berkuah.
Ada juga penganan lokal yang disebut Lemme. Terbuat ubi kayu, kelapa muda dan gula sebagai pemanis.
Semua jenis makanan dan minuman ini dipamerkan pada peringatan Hari Perempuan Internasional, yang diperingati di halaman kantor Bupati Luwu Utara, Kota Masamba, Rabu (11/3/2020).
baca : Gerakkan Ekonomi Desa dengan Kembali ke Pangan Lokal
Kegiatan ini diselenggarakan atas kerja sama berbagai pihak, antara lain Oxfam Indonesia, Pemerintah Kota Luwu Utara, Perkumpulan Katalis, Perkumpulan Wallacea, Koalisi Rakyat Untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), LBH APIK Makassar, Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP), Yayasan Tunas Alam Indonesia (SANTAI), Aliansi Desa Sejahtera (ADS), ASPPUK, ICT Watch, dan Indonesia Business Links (IBL).
Menurut Bupati Luwu Utara (Lutra), Indah Putri Indriani, meski daerahnya merupakan penghasil beras tertinggi di Sulsel, dengan luas sawah sekitar 28 ribu hektar, mencakup 24% dari produktivitas beras provinsi, namun mereka justru ingin menurunkan konsumsi beras warganya.
“Kita tidak melarang konsumsi beras, namun dikurangi. Saat ini konsumsi beras warga sekitar 118 kg per kapita, kita ingin turunkan menjadi di bawah 100 kg. Kegiatan ini menjadi ajang edukasi. Kita berharap para peserta akan menjadi dinamisator, menyampaikan ke masyarakat bahwa Lutra punya banyak potensi pangan lokal yang besar selain beras, salah satunya sagu,” katanya.
Menurut Indah, sagu bagi masyarakat Lutra tidak hanya sebagai makanan tetapi juga telah menjadi identitas. Ia menceritakan kisah pada kronik La Galigo di mana dalam perjalanannya selalu membawa sagu sebagai bekal perjalanan.
“Sagu menjadi bekal perjalanan jauh karena daya tahannya. Bahkan masyarakat yang pergi beribadah haji kerap membawa sagu sebagai pengganti beras. Ini yang ingin kami kembalikan, bahwa sejatinya masyarakat Lutra makanan lokalnya adalah sagu bukan beras, tetapi kita jangan abaikan beras,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa bentuk edukasi ke masyarakat bahwa makan beras boleh tetapi dengan takaran yang disarankan. “Inilah yang menjadi filosofinya diadakannya kegiatan ini dengan kuliner berbahan pangan lokal,” tambahnya.
baca juga : Ambarwati, Berbagi ‘Kue’ Semangat Dengan Pangan Lokal
Terkait peran perempuan dalam pangan, Indah menyebut jika perempuan memiliki peranan yang besar dalam memastikan ketersediaan pangan di Indonesia. “Perempuan bersama anak muda harus memastikan persoalan pangan tetap terjaga dan tersedia di meja masyarakat Indonesia. Karena semua memiliki hak atas pangan,” katanya.
Indah menyoroti peran sektor pertanian saat ini sebagai penyumbang terbesar Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), di mana di era milenial, profesi petani menjadi jauh lebih sejahtera. Ironisnya, sektor pertanian Indonesia justru dihadapkan pada persoalan regenerasi di mana banyak generasi muda justru enggan bekerja di sektor pertanian.
“54,3% PDRB Luwu Utara, disumbang dari sektor pertanian artinya sangat wajar jika pemerintah menjadikan sektor ini menjadi fokus utama program pemerintah. Hanya saja tantangannya adalah bagaimana meyakinkan anak muda saat ini untuk turut serta menjaga ketahanan pangan tanpa harus berkotor-kotor. Contohnya sarjana pertanian, bisa mendedikasikan dirinya dengan mengedukasi,” katanya.
Ia berharap para pejuang pangan, khususnya perempuan bisa menjadi diseminator bagi masyarakat, karena kedaulatan pangan merupakan tanggung jawab bersama.
Ketua Pokja Masyarakat Sipil Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Idham Arsyad, menyambut baik pelaksanaan pameran pangan ini sebagai sebuah upaya meningkatkan kesejahteraan petani, karena grade produk pertanian diangkat menjadi sesuatu yang lebih tinggi.
“Kini tinggal dikampanyekan, salah satu menurut saya penting adalah terkait aspek kesehatan dan kebersihan. Karena sekarang orang tidak sekedar makan semata, tetapi juga untuk kesehatan. Makanan lokal memiliki aspek ini,” katanya.
Makanan lokal, lanjutnya, harus selalu dipromosikan, dalam rangka meningkatkan ekonomi masyarakat lokal. Tak kalah pentingnya adalah pengembangan sumber daya manusia yang berkecimpung dalam pengolahan produk pertanian ini.
“Sekarang kita menghadapi era yang namanya milenial, bagaimana makanan lokal ini kemudian menjangkau anak-anak muda kita, sehingga menjadi makanan favorit yang akan menguntungkan secara ekonomi. Berarti kan sebenarnya ada transformasi SDM, ada kreativitas di dalamnya.”
perlu dibaca : Makassar Green Food Festival : Menghadirkan Pangan Lokal yang Hampir Hilang
Ia menambahkan bahwa salah satu yang harus diketahui secara luas bahwa pangan lokal itu sehat. Tak kalah penting bahwa unsur pangan yang ditanam oleh petani adalah kombinasi antara pengolahan pangan lokal menjadi basis industri yang kuat yang berhubungan langsung dengan bagaimana komoditi petani itu secara harga menjadi tinggi tidak sekedar diolah secara sederhana.
Dalam mendukung pangan lokal, menurut Arsyad, pemerintah selama ini telah banyak mengampanyekan makanan lokal. Ia mencontohkan Kapurung yang sudah dimasukkan sebagai kekayaan leluhur yang harus dipertahankan.
“Tinggal masyarakat lokal mengembangkannya, tidak hanya sekedar layak makan tetapi juga memiliki potensi ekonomi. Harus di-branding dengan baik. Misalnya kopi, di Sulsel baru ada dua Kalosi dan Toraja. Di sini ada Kopi Seko, ini bisa juga ditunjukkan. Masyarakat harus dididik agar kualitasnya bisa ditingkatkan, kalau suatu komoditi menjangkau pasar lebih besar maka daerahnya ikut terpromosikan, efek ekonominya besar juga.”
Tak kalah pentingnya dari pangan lokal, menurut Arsyad, kita bisa melihat identitas kebudayaan, yang memungkinkan ekologi ikut terjaga. “Tak ada pangan lokal yang tumbuh dari kebudayaan yang rusak dan lingkungan yang rusak.”
Selain pelaksanaan pameran, para peserta yang berasal dari seluruh Indonesia melakukan aksi tinggal di desa, yaitu di Desa Uraso, Kecamatan Mappadeceng, berjarak sekitar 10 km dari ibukota kabupaten. Selama dua hari di desa ini dilakukan diskusi tematik terkait kedaulatan pangan, perubahan iklim, pertanian organik dan pemetaan partisipatif.