- DPR memutuskan lanjut agenda pembahasan Rancangan Undang-undang Cipta Kerja (omnibus law) dan RUU yang masuk prolegnas lain di tengah negeri terserang pandemi Virus Corona.
- Berbagai kalangan masyarakat sipil menyatakan, seharusnya, masa-masa seperti ini DPR fokus soal penanganan wabah Corona, antara lain mengawasi dan mengevaluasi aksi pemerintah dan memberikan masukan langkah-langkah penanganan dan bagaimana alokasi dana untuk wabah ini.
- Kalau berbagai RUU ini tetap jalan, bahasan tak dipastikan tak akan maksimal, belum lagi partisipasi masyarakat akan minim atau bahkan tak ada karena sedang ada Corona.
- Mereka mendesak pemerintah mengambil langkah-langkah responsif dan efektif mencegah bahaya kelangkaan pangan dan ketimpangan akses atas pangan karena ada praktik monopoli pangan oleh segelintir kelompok. Caranya, menjamin keadilan dan ketersediaan pangan nasional melalui basis-basis produksi pertanian dan kebun pangan rakyat.
Kamis, 2 April 2020, DPR resmi memutuskan pembahasan Rancangan Undang-undang Cipta Kerja, yang berisi penyederhanaan aturan di negeri ini (omnibus law) tetap lanjut di tengah pandemi Virus Corona menyerang negeri ini. Hari sama, sekitar pukul 15.30 waktu Jakarta, data resmi Pemerintah Indonesia menyebutkan, warga positif Corona ada 1.790, meninggal dunia 170 dan sembuh 112 orang. Tiap hari jumlah terinfeksi dan yang meninggal dunia bertambah, lebih tinggi dari orang yang sembuh.
Sudah puluhan tenaga medis, baik perawat, dokter dan tenaga medis lain terinfeksi dan meninggal dunia terkena Corona. Alat pelindung diri tak mencukupi dan belum memadai, peralatan kesehatan jauh dari kata cukup, ruangan rumah sakit pada penuh padahal yang sakit dan perlu pertolongan terus bertambah.
Belum lagi, di masyarakat, sebagian harus setop tanpa upah, banyak yang terpaksa tetap kerja dengan risiko tinggi terkena Corona. Bagaimana kepastian layanan kesehatan bagi masyarakat? Bagaimana pemenuhan alat pelindung diri tenaga medis? Bagaimana mengawasi pemerintah agar virus bisa tertangani dengan baik?
Bagaimana memastikan ketersediaan pangan di tengah pandemi? Berbagai hal itu maha penting dalam kondisi bencana ini seakan tak jadi prioritas wakil rakyat, mereka lebih memilih lanjut membahas RUU Cipta Kerja (omnibus law).
Bukan hanya RUU Cipta Kerja. DPR menyatakan, akan terus melanjutkan pembahasan 50 RUU yang masuk prolegnas 2020, termasuk RUU Pertanahan, RUU Mineral dan Batubara dan lain-lain. Ketua DPR, Puan Maharani dalam Rapat Paripurna DPR, Senin, (30/3/20), mengajak pemerintah bersama-sama menuntaskan penyusunan dan pembahasan RUU prolegnas dalam waktu dekat.
Dalam rapat paripurna II dalam masa persidangan III 2019-2020 itu dipimpin oleh Azis Syamsuddin, Wakil Ketua DPR, didampingi Rahmat Gobel dan dihadiri 31 anggota secara fisik dan 278 anggota secara virtual. Rapat di Gedung MPR/DPR, Senayan, Jakarta ini disiarkan melalui akun Youtube DPR.
Putusan dalam paripurna itu, antara lain DPR tetap membahas RUU omnibus law dan lanjut tingkat legislasi. “Serta ada persetujuan terhadap surat yaitu surat presiden (R06/Pres/202/2020 ) tertanggal 7 Februari 2020 berkenaan RUU Cipta Kerja yang dibahas di dalam rapat konsultasi pengganti Bamus pada 1 April 2020. Hal-hal pembahasan yang disepakati untuk lanjut ke Badan Legislasi,” kata Azis.
Benny K Harman, anggota Komisi III sempat interupsi. Dia meminta, pimpinan legislatif menunda pembahasan RUU omnibus law. Dia menyarankan, rapat paripurna fokus pembahasan dan pengesahan tata tertib baru mengenai rapat virtual dan penanganan Covid-19.
“Kan enggak enak, pimpinan. Di tengah-tengah Corona rakyat kita susah. Belum mengatasi COVID-19, untuk makan saja susah saat ini. Kok tiba-tiba kita ngomong soal omnibus law, soal Undang-undang Mahkamah Konstitusi-lah, tunda dululah itu,” kata Benny juga juru bicara Fraksi Partai Demokrat.
Dia mengharapkan, pemerintah dan DPR lebih prioritas penanganan COVID-19 dibandingkan agenda lain.
Senada dikatakan Herman Khaeron, anggota DPR juga Fraksi Partai Demokrat meminta, masa sidang ini lebih fokus wabah penyakit Corona karena masyarakat memerlukan perhatian serius.
Achmad Baidowi, Wakil Ketua Badan Legislasi DPR mengatakan, minggu depan segera membentuk panitia kerja (panja) untuk membahas RUU ini.
“Rencana minggu depan bentuk panja, lalu uji publik mengundang pihak-pihak yang berkepentingan termasuk kalangan buruh. Kami akan undang fisik atau virtual. Kami akan dengarkan semua hingga kehadiran RUU ini paling tidak bisa ditemukan titik persamaan,” katanya saat dihubungi Mongabay.
Dia memastikan, dengan Corona ini pembahasan RUU tetap efektif dan sesuai mekanisme UU 15/2015 jo UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan tatib DPR. Mekanisme itu, katanya, memastikan fungsi DPR tetap berjalan secara proporsional.
Berbicara polemik RUU Cipta Lapangan Kerja ini, Achmad berjanji mendengarkan aspirasi semua pihak. “Baik pro maupun kontra, kami dengarkan aspirasinya baik langsung maupun tak langsung.”
Baleg, katanya, akan mengundang perwakilan buruh, pengusaha maupun pakar.
Fokus tangani Corona
Koalisi masyarakat sipil menyayangkan sikap DPR itu. Menurut mereka, pembahasan berbagai regulasi di DPR seharusnya setop dulu. Saat ini, Indonesia darurat pandemi Corona.
“Di tengah kondisi kita yang berhadapan dengan penanggulangan Corona, saat sama pemerintah dan DPR memaksakan pembahasan perundang-undangan,” kata Wahyu Perdana, Manajer Kampanye Pangan, Air dan Ekosistem Esensial Walhi Nasional.
Bukan hanya RUU Cipta Kerja, juga RUU Minerba, KUHP dan lain-lain. “Menurut kami ini tidak tepat.”
Pemaksaan pembahasan RUU Cipta Kerja dan berbagai RUU lain di tengah darurat Corona, merupakan tindakan tidak etis. Seharusnya, DPR mengutamakan peran memantau kinerja pemerintah dalam menanggulangi pandemi itu.
“Beberapa teman-teman khusus buruh sudah protes berturut-turut. RUU Cipta Kerja juga berbahaya bagi upaya penyelamatan lingkungan,” katanya.
Wahyu bilang, kalau pembahasan RUU tetap jalan, akan menghilangkan kesempatan publik ikut berpartisipasi dalam mengawal. Saat ini, katanya, tenaga dan pikiran publik banyak tersita untuk mengurus pandemi Corona. Kalaupun dipaksakan memantau, tak akan maksimal.
Asep Komarudin, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia mengatakan, pembahasan RUU di DPR yang terus berjalan di tengah pandemi Corona tak hanya soal omnibus law juga RUU lain seperti minerba dan KUHP.
“Saat ini yang diperlukan publik keseriusan dari eksekutif maupun legislatif terkait penanganan pandemi ini. Dengan terus memaksakan pembahasan RUU Cipta Kerja dan RUU lain menurut saya sangat tidak elegan seperti menikam rakyat dari belakang,” katanya.
Seharusnya, kata Asep, DPR, lebih baik fokus mengawasi eksekutif dalam penanganan terkait Corona, misal, bisa pembahasan berkaitan proses penganggaran perubahan APBN untuk mengatasi pandemi ini. Karena dalam perubahan APBN, eksekutif memerlukan persetujuan DPR.
“Pembahasan yang berkaitan dengan pandemi Corona yang kita persilakan. Di luar itu, hentikan saja.”
Saat ini, katanya, koalisi masyarakat sipil terus kampanye publik untuk menolak pembahasan RUU Cipta Kerja. Koalisi, katanya, juga sedang menyiapkan surat yang akan disampaikan kepada presiden dan DPR dengan isi meminta pembahasan dihentikan.
Reynaldo Sembiring, Direktur Eksekutif Indonesia Center for Environmental Law (ICEL) mengatakan, peroses pembahasan RUU di DPR sebaiknya ditunda dan fokus pada pengawasan pemerintah dalam menanggulangi pandemi Corona.
“Apalagi kita tahu pemerintah juga baru menerbitkan beberapa paket kebijakan hukum untuk menjawab situasi ini. Perlu peran strategis DPR. Kita ragu DPR memaksakan pembahasan yang tak begitu prioritas dibandingkan situasi penanganan Covid-19,” kata Dodo, sapaan akrabnya.
Dodo bilang, draf RUU Cipta Kerja banyak mendapatkan kritik baik dalam proses maupun substansi. Dalam proses penyusunan, pemerintah sangat tertutup. Pun dari sisi prinsip-prinsip dasar pembentukan RUU juga banyak dilanggar.
“Ketika DPR memaksakan membacakan supres (surat presiden-red) dan proses legislasi lain, saya khawatir dalam situasi seperti ini sangat rawan terjadi manipulasi.”
Belum lagi dengan partisipasi masyarakat, seperti tercantum dalam UU No 12/2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan di Pasal 96 mengenai partisipasi masyarakat. Ayat 1 dan ayat 3 disebutkan, masyarakat yang punya kepentingan langsung berhak memberikan masukan.
“Kita tahu RUU Cipta Kerja ini dampaknya tak hanya kepada satu atau dua kelompok saja. Ini RUU sapu jagat. Bagaimana bisa memberikan masukan di tengah situasi seperti ini?”
Kondisi saat ini, membuat masyarakat yang hendak memberikan masukan akan mengalami kesulitan hingga proses partisipasi publik jadi tidak layak, bisa dimanipulasi.
“Kita minta DPR menunda seluruh proses legislasi.”
Cegah krisis pangan
“Dengan pernyataan dan sikap semacam itu, DPR pun gagal menangkap aspirasi serta keresahan di bawah terkait peringatan luas bahaya RUU Cipta Kerja. Bukannya ikut meredam terutama di masa krisis Corona, jadi penyambung lidah dan penyelamat kepentingan rakyat, justru jadi pihak yang kerap ikut memancing keresahan serta kemarahan di masyarakat,” kata Beni Wijaya dari Konsorsium Pembaruan Agraria, dalam rilis kepada media.
Penyusunan omnibus law melalui RUU Cipta Kerja menuai protes luas dari berbagai gerakan masyarakat sipil, mulai dari gerakan buruh, gerakan tani (agraria), gerakan masyarakat adat, gerakan perempuan, gerakan mahasiswa dan kelompok aktivis. Kritikan juga datang dari kalangan pakar dan akademisi.
DPR mengecewakan. Alih-alih mengerahkan energi dan sumberdaya fokus dan serius pembahasan anggaran dan pengawasan penanganan Virus Corona secara jelas dan cepat, katanya, DPR justru memberi sinyal kontraproduktif.
Sebagai perwakilan rakyat, katanya, DPR penting pula mengikuti perkembangan lain di lapangan masalah agraria. Praktik-praktik yang mengancam keselamatan masyarakat dan kedaulatan pangan nasional melalui penggusuran, penanganan represif, intimidasi, ancaman dan kriminalisasi terhadap masyarakat di pedesaan masih berjalan di tengah situasi Corona ini.
KPA mencatat, selama tiga minggu terakhir, petani dan masyarakat adat di wilayah konflik justru masih mengalami kekerasan, intimidasi dan teror hingga resah dan jatuh korban. Beberapa contoh, di Lahat, Luwu Utara, Luwu Raya, Soppeng, Mamuju Tengah dan Deli Serdang.
“Tindakan ini justru kontraproduktif dengan kebijakan pemerintah dalam pembatasan jarak fisik, pencegahan kerumunan karena menimbulkan gejolak sosial di bawah.”
Dia bilang, dalam situasi krisis ini, seharusnya jadi momentum DPR maju menjadi garda terdepan mewakili aspirasi masyarakat menjalankan tugas, mengevaluasi kinerja pemerintah dalam menangani wabah Corona.
“Termasuk, menangkap aspirasi di bawah terkait penolakan RUU Cipta Kerja, ancaman krisis pangan dan penuntasan konflik agraria. Bukan berposisi seolah-olah jadi perwakilan korporasi besar dan entitas bisnis dengan terus memaksakan pembahasan RUU Cipta Kerja.”
KPA bersama organisasi rakyat mendesak DPR bberapa poin. Pertama, mencabut RUU Cipta Kerja yang membahayakan petani dan pertanian rakyat, serta menunda pembahasan RUU prolegnas 2020 sampai situasi krisis COVID-19 berakhir hingga partisipasi publik dan transparansi proses dapat berjalan.
Kedua, memaksimalkan sumberdaya DPR, dengan fokus menjalankan fungsi pengawasan dan penganggaran terkait penanganan pandemi COVID-19. Juga penanganan dampak krisis lanjutan secara nasional dan sistematis.
Ketiga, memastikan pemerintah transparan, efektif dan berkeadilan menjalankan prioritas kebijakan kepada kelompok rentan (tenaga kesehatan, buruh, tenaga kerja informal, keluarga ekonomi lemah). Caranya, memastikan jaminan akses terhadap alat pelindung diri (APD), pangan, air, listrik, sanitasi, dan bantuan sosial lain selama masa krisis pandemi.
Keempat, mendesak pemerintah mengambil langkah-langkah responsif dan efektif mencegah bahaya kelangkaan pangan dan ketimpangan akses atas pangan karena ada praktik monopoli pangan oleh segelintir kelompok. Caranya, menjamin keadilan dan ketersediaan pangan nasional melalui basis-basis produksi pertanian dan kebun pangan rakyat.
Kelima, mendesak pemerintah pusat, daerah, perusahaan (swasta, BUMN) dan aparat keamanan menghentikan praktik penggusuran tanah, intimidasi, kriminalisasi dan cara-cara represif penanganan konflik agraria di tengah situasi pandemi Corona. Juga, penuhi jaminan keamanan dan keselamatan atas tanah-tanah pertanian dan kebun rakyat.
Keenam, jalankan agenda reforma agraria sejati sebagai agenda politik bangsa untuk mewujudkan keadilan sosial dan kedaulatan pangan negara.
Rekomendasi Standar Penggunaan APD
Keterangan foto utama: Virus Corona. Sumber: Kementerian Kesehatan