- Pandemi COVID-19 yang sedang terjadi saat ini di hampir seluruh dunia, memaksa banyak negara untuk menghentikan aktivitas keseharian di semua sektor kehidupan. Salah satu yang ikut terdampak, adalah sektor kelautan dan perikanan di Indonesia yang juga harus banyak menghentikan aktivitasnya
- Akibat berhentinya banyak aktivitas, potensi peningkatan aktivitas penangkapan ikan dengan cara ilegal, tak dilaporkan, dan tak diatur (IUUF) juga diprediksi akan terjadi. Pelaku kapal ikan asing (KIA) yang memanfaatkan momen itu tidak lain adalah dari negara tetangga di sekitar Indonesia
- Kekhawatiran itu memang terbukti, karena sampai sekarang masih saja ada KIA yang berusaha masuk ke wilayah perairan Indonesia untuk melakukan IUUF. Dari negara tetangga yang ada di sekitar Indonesia, tercatat Filipina, Vietnam, dan Malaysia yang sering masuk sebagai pelanggar
- Dalam melaksanakan pengawasan di wilayah laut, Pemerintah Indonesia juga tetap menerapkan protokol kesehatan yang berlaku di tengah pandemi COVID-19. Upaya itu dilakukan, karena sektor kelautan dan perikanan harus bisa mencegah terjadinya penyebaran virus tersebut
Wabah COVID-19 yang sedang menjadi pandemi di dunia, tak menyurutkan niat Pemerintah Indonesia untuk tetap menjaga wilayah lautnya dari serbuan kapal ikan asing (KIA) yang akan melakukan aktivitas penangkapan ikan secara ilegal, tak dilaporkan, dan tak diatur (IUUF).
Upaya itu, sekaligus menegaskan kepada dunia bahwa Indonesia tak mau meninggalkan kewajibannya untuk melaksanakan penjagaan di wilayah laut di seluruh Nusantara. Dengan itikad baik itu pula, dalam dua hari Indonesia berhasil menggagalkan upaya IUUF yang hendak dilakukan oleh delapan KIA dari negara tetangga.
Delapan kapal yang ditangkap itu, dilakukan dalam dua waktu berbeda. Pertama, dilakukan pada Sabtu (11/4/2020) di perairan laut wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia (WPP NRI) 711 yang mencakup Laut Natuna, dan WPP NRI 716 yang mencakup Laut Sulawesi.
Kemudian, penangkapan yang kedua dilakukan pada Minggu (12/4/2020) di WPP NRI 571 yang mencakup perairan laut Selat Malaka. Kedua penangkapan itu dilakukan kapal pengawas perikanan milik Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di bawah Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Perikanan (PSDKP).
baca : Nasib Nelayan Semakin Terpuruk di Saat Pandemi COVID-19
Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo menjelaskan, penangkapan yang pertama dilakukan kepada tiga KIA berbendera Filipina dan dua KIA berbendera Vietnam. Kemudian, penangkapan yang kedua dilakukan kepada tiga KIA berbendera Malaysia.
“Kita tidak mengendorkan pengawasan di laut selama pandemi COVID-19 ini,” tegasnya dua pekan lalu di Jakarta.
Untuk menangkap lima kapal berbendera Filipina dan Vietnam, KKP melibatkan tiga kapal pengawasan perikanan yang ada di lapangan, yaitu KP Orca 01, dan KP Orca 04 di Laut Sulawesi, serta KP Orca 02 di Laut Natuna Utara. Sementara, penangkapan tiga kapal berbendera Malaysia, KKP menerjunkan KP Perikanan Hiu 03 dan KP Hiu 04.
Edhy mengatakan, keberhasilan KKP menangkap delapan kapal yang diduga akan melaksanakan praktik IUUF di wilayah perairan Indonesia, bisa terjadi karena Pemerintah Indonesia tidak berniat sedikit pun untuk mengurangi intensitas operasi pengawasan wilayah laut selama masa pandemi COVID 19 seperti sekarang ini.
“Kami tetap berkomitmen untuk menegakkan kedaulatan pengelolaan perikanan di seluruh WPP NRI,” ucapnya.
Dengan kondisi sekarang dimana banyak orang menghentikan aktivitas, Edhy sudah mengantispasi akan adanya potensi peningkatan masuknya kapal ilegal dari negara tetangga. Dugaan itu yang menguatkan tekad KKP untuk tidak mengurangi intensitas, apalagi menghentikan operasi pengawasan di wilayah perairan laut yang dinilai rawan terhadap aktivitas IUUF.
baca juga : Nasib Nelayan Semakin Terpuruk di Saat Pandemi COVID-19
Peningkatan
Atas pertimbangan adanya potensi peningkatan masuknya kapal pelaku IUUF, Pemerintah juga berpandangan bukan hanya dengan tetap mempertahankan operasi pengawasan saja, melainkan juga harus dilakukan penambahan hari operasi pengawasan di laut. Opsi tersebut menjadi pilihan, karena bisa memperkuat upaya pemberantasan aktivitas IUUF yang dilakukan KIA.
Edhy menambahkan, berdasarkan hasil pemantauan dan analisis dari Pusat Pengendalian (PUSDAL) KKP, saat ini memang ada kecenderungan bahwa para pelaku IUUF dari negara tetangga sedang memanfaatkan pandemi COVID-19 sebagai momen tepat untuk mencuri ikan di wilayah perairan Indonesia.
“Hal itu bisa dilihat dari dari peningkatan jumlah kapal perikanan asing yang beroperasi di sekitar wilayah perbatasan Indonesia,” tutur dia.
Secara keseluruhan, sejak awal 2020 hingga sekarang sudah ada 24 KIA yang berhasil ditangkap dan diamankan oleh Pemerintah Indonesia. Mereka adalah terdiri dari 12 kapal ikan berbendera Vietnam, 7 kapal ikan berbendera Filipina, 5 kapal ikan berbendera Malaysia.
”Sejak awal memang KKP tidak mengendorkan pengawasan di laut, karena kami meyakini di tengah upaya penanganan pandemi COVID-19 ini, ada potensi kerawanan yang bisa dimanfaatkan oleh para pencuri ikan,” pungkas Edhy.
Selain melaksanakan pengawasan secara intensif, masa pandemi COVID 19 juga menjadi momen yang rawan untuk sektor kelautan dan perikanan nasional. Untuk mencegah virus tersebut menjangkiti banyak pelaku usaha, nelayan, dan juga pembudi daya ikan, Pemerintah melaksanakan pencegahan penularan di sektor tersebut.
Bentuk pencegahan itu, di antaranya dengan menerapkan protokol pencegahan penyebaran COVID-19 dalam penanganan awak kapal pelaku IUUF yang ditangkap di Laut Natuna Utara beberapa waktu lalu. Sebanyak 22 awak kapal perikanan (AKP) berkewarganegaraan Vietnam yang ditangkap kemudian menjalani serangkaian pemeriksaan kesehatan di Batam, Kepulauan Riau.
perlu dibaca : Protokol Penanggulangan COVID-19 Diberlakukan pada Perikanan Tangkap
Direktur Jenderal PSDKP KKP Tb Haeru Rahayu menjelaskan, agar upaya pencegahan penyebaran bisa berjalan dengan baik, Pemerintah disiplin melaksankaan pedoman protokol yang sudah ditetapkan. Untuk itu, dalam memeriksa 22 AKP dari Vietnam tersebut, KKP melibatkan Kantor Kesehatan Pelabuhan Kota Batam.
“Pemeriksaan kesehatan ini penting dilakukan sebagai upaya pencegahan dan prinsip kehati-hatian, agar proses penegakan hukum yang dilakukan oleh KKP tidak membawa implikasi dan permasalahan baru terkait dengan penyebaran pandemi COVID-19 yang saat ini menjadi perhatian semua pihak,” ungkap dia.
Haeru mengungkapkan, ada dua hal penting yang menjadi perhatian KKP dalam upaya menerapkan protokol kesehatan berkaitan dengan upaya pencegahan penyebaran COVID 19. Pertama, untuk memastikan bahwa tidak ada resiko penyebaran COVID-19 dalam proses penegakan hukum yang dilakukan oleh KKP.
Pencegahan
Kemudian, KKP juga ingin menjamin dan memberikan perlindungan kepada para petugas yang bekerja di lapangan di tengah wabah COVID-19. Kedua, sebagai negara pantai, Pemerintah Indonesia tidak ingin mengabaikan isu sekecil apapun yang sedang terjadi di Indonesia dan dunia, termasuk penyebaran COVID-19 yang sudah menjadi pandemi dunia.
Sebelumnya, Kepala Badan Riset, Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM KP) KKP Sjarief Widjaja mengatakan, praktik IUUF yang masih sulit untuk dihentikan sampai sekarang, tak hanya menimbulkan kerugian ekonomi yang besar terhadap Negara dan masyarakat saja, melainkan juga merusak ekosistem yang ada di laut dengan sangat cepat.
Dia menyebutkan, untuk wilayah di sekitar Samudera Pasifik saja, kerugian akibat praktik IUUF bisa mencapai rerata 4-7 juta ton komoditas perikanan per tahun. Dari jumlah tersebut, diperkirakan nilai kerugian secara ekonomi mencapai USD8,3 juta atau Rp116,2 miliar setiap tahunnya.
“Tak hanya secara ekonomi, negara yang mengalami praktik IUU Fishing juga mendapatkan kerugian terhadap keanekaragaman hayati. Berdasarkan data pencatatan, penangkapan sebelum tahun 2015 menunjukkan bahwa hasil tangkapan udang, kakap, dan kerapu dari Laut Arafura semakin berkurang dan ukurannya pun semakin kecil,” ungkapnya.
Bukti lain kalau praktik IUUF sudah memicu kerusakan lingkungan, adalah rusaknya kawasan hutan rumput laut di Cile yang diakibatkan praktik penangkapan secara ilegal untuk komoditas Abalon (Haliotis). Kondisi itu kemudian mengakibatkan keanekaragaman hayati di laut tersebut menurun dengan sangat cepat.
“Salah satunya beberapa jenis ikan di zona bentik,” tuturnya.
Bagi Sjarief Widjaja, contoh di atas menjadi bukti bahwa praktik IUUF berdampak negatif terhadap banyak aspek dan harus dihentikan dengan cepat, karena itu akan terus memicu dampak negatif yang lainnya. Penghentian praktik IUUF, bisa dilakukan dengan berbagai cara, salah satu yang utama adalah melalui regulasi yang diterbitkan oleh Negara.
Namun demikian, Pemerintah juga lebih dulu menyadari kalau penerbitan regulasi tidak serta merta akan bisa langsung menghentikan praktik IUUF. Tetapi, perlu upaya lebih keras dari sekedar penerbitan regulasi, agar praktik terlarang itu bisa benar-benar punah dari aktivitas penangkapan ikan yang ada di Indonesia.
Upaya untuk menghentikan praktik IUUF akan terus dilakukan, karena Pemerintah paham benar bahwa ikan merupakan salah satu alternatif terbaik untuk memenuhi kebutuhan protein bagi masyarakat dunia. Selain itu, dengan mengonsumsi ikan, ketahanan pangan dunia juga akan bisa terjaga dengan baik.
“Namun, ketersediaan stok ikan dunia saat ini juga tengah terancam. Pasalnya, peningkatan angka konsumsi ikan lebih tinggi dibandingkan dengan peningkatan populasi ikan di laut. Hal ini salah satunya disebabkan oleh penangkapan ikan secara berlebihan (overfishing),” ucap dia.