- Praktik eksploitasi kepada tenaga kerja perikanan asal Indonesia di atas kapal perikanan asing, hingga saat ini masih belum bisa dihentikan. Praktik terlarang itu biasanya adalah praktik kerja paksa dan juga perdagangan manusia di atas kapal
- Dari hasil investigasi yang dilakukan Greenpeace Indonesia dengan serikat buruh migran Indonesia (SBMI), terdapat enam perusahaan yang menjadi penyalur tenaga kerja perikanan ke kapal ikan asing yang melaksanakan praktik eksploitasi
- Perusahaan-perusahaan penempatan pelaut perikanan tersebut melakukan perekrutan tanpa memiliki izin usaha sesuai dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia
- Tanpa izin, perusahaan akhirnya melaksanakan kegiatan bisnis secara serampangan dan eksploitatif yang mengakibatkan praktik seperti tindak pidana perdagangan orang (TPPO) biasa dilakukan di atas kapal perikanan kepada awak kapal perikanan (AKP) dari Indonesia
Eksploitasi kepada para buruh migran yang bekerja sebagai awak kapal perikanan (AKP) pada kapal perikanan di dalam dan luar negeri, diduga kuat masih terus berlangsung hingga sekarang. Hal itu, diketahui karena ada enam kapal ikan asing (KIA) yang melaksanakan praktik kerja paksa dan dugaan perdagangan orang kepada AKP asal Indonesia.
Dugaan tersebut mengemuka setelah Greenpeace Indonesia mengungkap hasil investigasi yang dilakukan bersama dengan serikat buruh migran Indonesia (SBMI) kepada enam perusahaan yang diduga kuat melakukan praktik eksploitasi AKP asal Indonesia. Empat dari enam perusahaan tersebut diketahui ada di Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah.
“Pengungkapkan ini sebagai tanda bahwa Pemerintah Indonesia masih lalai dan gagal melindungi hak dan keselamatan ABK (anak buah kapal) Indonesia,” ucap Ketua Umum SBMI Hariyanto Suwarno saat memberi keterangan resmi secara daring beberapa waktu lalu.
Menurut dia, kegagalan Pemerintah berakar dan berpangkal pada lambatnya penerbitan aturan turunan dari Undang-Undang No.18/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Seharusnya, aturan turunan dari UU tersebut sudah ada sejak 22 November 2019 lalu.
Selain itu, Pemerintah Indonesia juga dinilai lemah dalam melaksanakan pengawasan operasional terhadap puluhan perusahaan perekrutan yang memanfaatkan kondisi rentan dari tenaga kerja perikanan asal Indonesia. Akibatnya, para ABK Indonesia bisa dengan mudah dieksploitasi dan menjadi korban kerja paksa, serta perbudakan modern di atas kapal perikanan.
baca : Perlindungan Awak Kapal Perikanan Dimulai dari Daerah Asal

Hariyanto menyebutkan, dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini sudah banyak korban berkaitan dengan ABK Indonesia yang dieksploitasi. Dari data yang dimiliki BSMI sudah ada sebanyak 257 ABK yang menjadi korban eksploitasi, dan itu tidak termasuk dengan temuan yang ada dalam serikat pekerja buruh migran atau pun pekerja perikanan.
“Jadi, wajar saat ini kita meragukan keseriusan dan kapasitas Pemerintah untuk melakukan pengawasan, sekaligus evaluasi, dan juga penertiban terhadap perusahaan-perusahaan yang diduga melakukan eksploitasi terhadap ABK Indonesia,” ungkap dia.
Adapun, enam perusahaan yang diduga kuat melakukan praktik eksploitasi kepada ABK asal Indonesia pada kapal perikanan asing, di antaranya adalah PT Puncak Jaya Samudra (PJS), PT Bima Samudera Bahari (BSB), PT Setya Jaya Samudera (SJS), PT Bintang Benuajaya Mandiri (BBM), PT Duta Samudera Bahari (DSB), dan PT Righi Marine Internasional (RMI).
Menurut Hariyanto, perusahaan-perusahaan yang disebutkan di atas masih memiliki kaitan yang erat dengan salah satu atau lebih dari 13 kapal perikanan asing dari berbagai negara di dunia yang melakukan praktik eksploitasi seperti kerja paksa dan perdagangan manusia kepada AKP yang berasal dari Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Perlindungan Negara
Staf Bantuan Hukum SBMI Eddy Purwanto pada kesempatan yang sama mengatakan, Pemerintah seharusnya bisa bergerak cepat dengan melakukan penertiban kepada perusahaan penempatan pelaut perikanan yang melakukan perekrutan tanpa memiliki izin usaha.
Untuk bisa melaksanakan perekrutan, seharusnya perusahaan bisa menerapkan peraturan yang sudah ada dalam pasal 54 UU No.18/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Dalam aturan tersebut, diatur tentang besarnya modal dan deposito agar bisa melaksanakan melakukan bisnis penempatan AKP dengan baik.
“Tanpa izin, bisnis berjalan secara serampangan dan eksploitatif,” tegas dia.
baca juga : Pekerja Perikanan di Atas Kapal Butuh Perlindungan Negara

Tak hanya itu, Eddy menduga kalau enam perusahaan tersebut juga sudah melakukan pelanggaran tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Praktik seperti itu, memerlukan penanganan yang tegas dan cepat dari Pemerintah Indonesia.
“Pemerintah tidak hanya perlu cepat, tetapi juga harus lebih berani melakukan penelusuran dan penindakan lebih lanjut sesuai dengan ketentuan UU 21/2007,” terang dia.
Sementara, Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia Afdillah menjelaskan, praktik eksploitatif dari tahap perekrutan hingga kondisi kerja paksa saat berada di atas kapal adalah bentuk-bentuk nyata dari perbudakan modern.
Menurut dia, perbudakan modern di atas kapal ikan tersebut juga erat kaitannya dengan kegiatan perikanan ilegal dan merusak yang menyebabkan kondisi stok ikan dan ekosistem laut semakin terancam.
Dengan kata lain, Afdillah ingin menegaskan bahwa kapal perikanan asing yang melaksanakan praktik eksploitasi seperti kerja paksa dan perdagangan orang, biasanya juga melakukan aktivitas penangkapan ikan dengan cara ilegal, tak diatur, dan tak dilaporkan (IUUF).
“Ini yang mengerikan, karena ternyata kapal perikanan global yang melaksanakan praktik-praktik terlarang dan tak terpuji ini jumlahnya banyak di dunia, dengan nilai pendapatan yang sangat dahsyat,” tutur dia.
perlu dibaca : Ini Tahapan Penting untuk Mendeteksi Praktik Perbudakan di Kapal Perikanan

Peran Indonesia
Menurut Afdillah, praktik-praktik terlarang seperti yang sudah disebutkan di atas, juga berkaitan erat dengan Indonesia. Hal itu, karena Indonesia selama ini sudah berperan sebagai distributor besar untuk praktik-praktik perikanan yang penuh intrik.
Agar tidak semakin membesar dan menggurita, Pemerintah sebaiknya harus segera bertindak dengan membuat dan mengeluarkan kebijakan untuk mengatasi persoalan praktik eksploitasi pada tenaga kerja perikanan. Kata dia, harus ada pengawasan lebih ketat dari Pemerintah untuk melindungi warga Negara Indonesia yang bekerja sebagai tenaga kerja perikanan di kapal perikanan asing.
“Berharap praktik-praktik ini di masa depan bisa menghilang. (Mereka) bisa mendapat lebih baik perlakuan dan kapal-kapal ikan asing juga tidak lagi melakukan praktik IUUF dan perbudakan di atas kapal,” sebut dia.
Dalam Kertas Laporan Investigasi SBMI dan Greenpeace Indonesia yang dirilis Maret 2020, ada sejumlah rekomendasi yang harus dilakukan oleh Pemerintah Indonesia untuk menyikapi praktik eksploitasi pada sektor kelautan dan perikanan. Ada banyai kasus yang dilaporkan ABK kepada SBMI dan kemudian hilang tanpa ada proses kelanjutan dari aparat penegak huku, (APH).
Hal itu menyebabkan hak-hak korban jadi terabaikan atas nama hukum yang berlaku di Indonesia, yaitu UU 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Untuk menyikapi permasalahan tersebut, Pemerintah Indonesia harus bersatu untuk melakukan perbaikan yang komprehensif.
Selain Kementerian Ketenagakerjaan yang menjadi ujung tombak, perlu juga kerja sama yang erat dengan Kementerian Perhubungan, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Kepolisian RI, Mahkamah Agung RI, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, dan Pemerintah Daerah.
baca juga : Kenapa Praktik Perdagangan Manusia dan Perbudakan Belum Hilang dari Kapal Perikanan?

Sebelumnya, Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan menyebutkan bahwa Pemalang menjadi salah satu daerah yang sanggup mengirimkan tenaga kerja perikanan ke ke dalam dan luar negeri dalam jumlah yang banyak setiap tahunnya.
Dalam setahun, Pemalang sanggup mengirimkan sedikitnya 2.000 orang untuk bekerja sebagai AKP pada kapal perikanan asing yang ada di berbagai negara, seperti Fiji, Korea Selatan, Taiwan, Singapura, dan Malaysia.
Sementara, untuk di dalam negeri, kota tujuan yang menjadi incara para penyalur tenaga kerja perikanan asal Pemalang, sebagian besar adalah ke Jakarta, Bali, dan Tegal (Jateng). Kata dia, Pemalang memang merupakan salah satu daerah di Indonesia yang menjadi pemasok AKP di dalam dan luar negeri.
“Khusus untuk AKP yang bekerja di luar negeri, banyak di antara mereka sering mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan, seperti diskriminasi ataupun praktik terlarang lainnya. Contohnya, AKP yang bekerja di Taiwan ada yang sering mengalami kekerasan fisik dan mental,” tutur dia.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan pernah berjanji, Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk memberikan perlindungan kepada awak kapal perikanan yang bekerja di atas kapal perikanan. Untuk itu, Negara akan terus memperbarui standar keamanan awak kapal perikanan untuk lebih baik lagi.
Salah satu upaya untuk meningkatkan standar keamanan itu, adalah dengan mengesahkan dan memberlakukan Peraturan Presiden No.18/2019 tentang Pengesahan International Convention on Standards of Training Certification and Watchkeeping for Fishing Vessel Personnel, 1995 (Konvensi Internasional tentang Standar Pelatihan, Sertifikasi, dan Dinas Jaga Bagi Awak Kapal Penangkap Ikan, 1995).
Lahirnya Perpres tersebut, menegaskan bahwa Pemerintah Indonesia terus berkomitmen untuk menjaga keselamatan awak kapal perikanan yang bekerja di atas kapal perikanan. Perlindungan itu dimulai dari proses persiapan awak kapal untuk memiliki kemampuan bekerja sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh industri sektor kelautan dan perikanan.