- PT. Tompo Dalle melakukan pengrusakan kawasan mangrove di Lantebung, Kelurahan Bira, Kecamatan Tamalanrea, Makassar, Sulawesi Selatan dengan cara mencabut 200 pohon menggunakan ekskavator dan tali sling. Pihak perusahaan berdalih penebangan tersebut dilakukan karena telah memiliki sertifikat kepemilikan yang sah.
- Kasus penebangan mangrove di Lantebung ini menunjukkan betapa rentannya pesisir dari ancaman pengrusakan dan lemahnya penegakan hukum di pesisir.
- Pembukaan hutan mangrove merupakan keniscayaan karena di dalam RZWP3K daerah tersebut masuk dalam zona reklamasi.
- Pada tahun 2018, Gubernur Sulsel, Sumarsono, menerbitkan surat edaran yang berisi himbauan kepada BPN agar dalam menerbitkan sertifikat tanah di lahan pesisir sebagai kawasan lindung harus melibatkan instansi lain yang terkait serta memenuhi sejumlah perizinan, seperti izin prinsip, izin lingkungan, dsb.
Di tengah pandemi COVID-19, publik Makassar dikagetkan dengan adanya penebangan mangrove oleh PT. Tompo Dalle di kawasan mangrove Lantebung, Kelurahan Bira, Kecamatan Tamalanrea, Kota Makassar, Sulawesi Selatan.
Menggunakan dua unit alat berat jenis ekskavator dan tali sling, Jumat (17/4/2020), anak perusahaan PT. Dilla ini merobohkan sekitar 200 pohon di lokasi yang selama ini dikenal sebagai kawasan ekowisata mangrove.
Ade Saskia, salah seorang warga menyatakan sangat kaget dengan penebangan tersebut karena dilakukan secara diam-diam dan tanpa izin dari pemerintah setempat.
“Kita sebagai warga yang selama ini melakukan penanaman sangat kaget dan merasa kecolongan. Karena lokasinya agak jauh dari pemukiman jadi tidak terlihat,” ungkap Ade.
Kawasan mangrove Lantebung sendiri selama ini telah menjadi lokasi penanaman mangrove dari berbagai pihak seperti TNI, perbankan, Pemprov dan pemkot, swasta, mahasiswa dan berbagai komunitas pencinta mangrove. Terdapat puluhan ribu mangrove yang telah ditanam dalam 14 tahun terakhir ini.
baca : Mangrove Terjaga, Kesejahteraan Nelayan Meningkat di Lantebung

Menurut Ade, mangrove yang dirusak tersebut sudah berusia puluhan tahun. Rusaknya mangrove tersebut dikhawatirkan akan mengganggu aktivitas nelayan kepiting yang selama ini hidupnya sangat bergantung pada keberadaan mangrove tersebut.
Hal yang sama diakui Andi Nur, pendamping masyarakat yang telah lama beraktivitas di Lantebung. Ia tak menduga adanya penebangan tersebut karena kawasan tersebut sudah menjadi kawasan wisata mangrove yang justru diinisiasi oleh Pemkot Makassar.
“Sebenarnya kita juga sempat kaget, kami kira tak akan ada lagi penebangan di Lantebung melihat perkembangan wisata yang cukup maju,” katanya.
Menurut Andi Nur, pihak perusahaan berdalih penebangan tersebut dilakukan karena telah memiliki sertifikat kepemilikan yang sah. Hanya saja ia tidak tahu secara pasti kapan sertifikat tersebut diterbitkan karena pada salinan sertifikat yang ditunjukkan perusahaan tidak terlihat dengan jelas.
Untungnya, upaya ini segera dihentikan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Makassar yang langsung menerjunkan tim ke lokasi setelah mendapat laporan dari warga. Hanya saja belum jelas sanksi hukum apa yang akan diberikan kepada perusahaan ini.
Carut Marut Penegakan Hukum
Menurut Yusran Nurdin Massa, peneliti dari Blue Forests, kasus penebangan mangrove di Lantebung ini menunjukkan betapa rentannya pesisir dari ancaman pengrusakan dan lemahnya penegakan hukum di pesisir.
“Padahal telah banyak aturan yang mengatur perlindungan pesisir ini, namun sepertinya berbagai aturan tersebut tak bertaji dalam mencegah pengrusakan mangrove,” ungkapnya dalam diskusi via aplikasi zoom yang diselenggarakan Mongabay Indonesia kerja sama Blue Forests, Sabtu (18/4/2020).
baca juga : Begini Pemberdayaan Nelayan Sekaligus Pelestarian Mangrove Dengan Ekominawisata di Lantebung. Seperti Apa?

Ia berharap kasus Lantebung menjadi momentum menguatkan aturan pesisir dan tetap menjadi wilayah pemanfataan publik yang dikuatkan dengan berbagai regulasi lokal yang ada.
Terkait adanya alasan hukum perusahaan berupa sertifikat kepemilikan, Yusran menilai hal ini menjadi tantangan tersendiri dan ia berharap ada solusi yang tepat melalui berbagai saluran hukum yang ada.
“Berbagai pihak bisa sama-sama menguatkan posisi mencari prosedural yang betul-betul sesuai dan jalan legal mana yang sesuai untuk dipakai. Kalau kendalanya ada di sertifikat maka harus diketahui betul apakah dengan adanya alasan hak milik lantas bisa dimanfaatkan semaunya yang tak sesuai dengan peruntukan di RTRW?” katanya.
Menurut Ridjal Idrus, pakar kelautan dan pesisir dari Universitas Hasanuddin, persoalan pesisir memang sangat rumit karena berkaitan dengan wilayah ekonomi. Semakin tinggi nilai ekonomi maka penegakan hukum juga akan semakin rumit.
“Di tingkat lokal sudah ada aturan seperti Perda RTRW dan RZWP3K. Aturan hukum sudah lengkap, hanya saja bermasalah di penegakan hukumnya. Ini sangat berhubungan dengan relasi kuasa,” tambahnya.
Meski akan mendapatkan tantangan yang besar, Ridjal mengharap upaya menolak privatisasi pesisir ini tetap dilanjutkan.
“Saya kira teman-teman di LSM lingkungan tidak boleh putus asa, ada beberapa contoh kasus di mana kita bisa melakukan class action. Selama masyarakat berdaya dan menunjukkan kekuatannya maka upaya-upaya untuk mengeksploitasi lingkungan bisa dihentikan.”
menarik dibaca : Dapat Bantuan Perahu, Produktivitas Nelayan Kepiting di Lantebung Makassar Meningkat

Sedangkan Edy Kurniawan dari LBH Makassar mengatakan ada berbagai saluran hukum yang bisa digunakan dalam menyikapi kasus Lantebung ini, tergantung pada jenis kasusnya.
“Dari segi hukumnya itu by case, harus dilihat per kasusnya terhadap pengrusakan mangrove. Informasinya harus pasti dulu karena beragam informasi yang beredar misalnya lahannya memiliki sertifikat, lalu katanya ada masuk kawasan konservasi, atau sebagai kawasan ekowisata dalam RTRW. Jadi sekali lagi kalau mau tinjauan hukumnya apakah masuk ranah pidana, perdata, atau administrasi maka perlu ditinjau per kasus,” jelasnya.
Ia selanjutnya menganjurkan kasus Lantebung diselesaikan melalui saluran hukum pidana.
“Hanya saja upaya ini perlu dikawal dengan baik dan akan sangat tergantung pada kekuatan masyarakat sipil dan kampanye lingkungan sebagai upaya pressure penegakan hukumnya,” tambahnya.
Menurut Muhammad Al Amin, Direktur Walhi Sulsel, upaya pengrusakan mangrove di Lantebung sebenarnya adalah keniscayaan karena di dalam RZWP3K kawasan ini masuk dalam zona reklamasi.
“Jadi cepat atau lambat Lantebung itu akan dibabat semua mangrovenya dan akan diserahkan pengelolaannya ke swasta. Jadi ini pra kondisi saja. Sama seperti wilayah pesisir lain sudah dimiliki oleh pemodal besar. Modusnya, jauh-jauh hari perusahaan telah membeli lahan dari warga namun pengelolanya diberikan ke masyarakat. Ketika nilainya sangat tinggi dan peluang bisnisnya akan nampak maka akan diambil alih pengelolaannya,” katanya.
Meski demikian, Amin berharap berbagai pihak, termasuk masyarakat Lantebung bersatu padu dalam menolak privatisasi dan reklamasi ini dan menuntut adanya revisi di RTRW ataupun RZWP3K terkait peruntukan kawasan.
baca juga : Kembali Lebat, Ini Cerita Sukses Rehabilitasi Mangrove Kurricaddi

Dodi Kurniawan, Kepala Balai Penegakan Hukum (Gakum) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Sulawesi, menyatakan turut prihatin dengan adanya upaya pengrusakan mangrove ini dalam skala besar. Ia mendorong untuk membawa kasus ini ke ranah hukum, namun sebelumnya harus ada kajian terlebih dahulu.
“Saya sangat mendengar informasi teman-teman semua, kami mendukung kegiatan teman-teman yang perhatian pada mangrove. Saya mendengar ada yang mau pidana atau perdata, kita lihat dulu lokusnya apa. Harus diperjelas. Kalau ada sertifikat dari BPN harus dilihat dulu apakah bisa sertifikat di kawasan tersebut,” katanya.
Dodi kemudian menyinggung surat edaran Pj. Gubernur Sulsel, Sumarsono, tertanggal 25 Juli 2018, yang di dalamnya berisi himbauan kepada Badan Pertanahan Nasional agar dalam menerbitkan sertifikat tanah di lahan pesisir sebagai kawasan lindung harus melibatkan instansi lain yang terkait serta memenuhi sejumlah perizinan, seperti izin prinsip, izin lingkungan, dsb.
“Ini perlu dikaji ulang juga sertifikat di kawasan lindung, ataupun yang sudah terlanjur. Surat edaran terbit pada 2018, sementara sertifikat yang ada saat ini rata-rata 2017 ke bawah. Perlu dikaji juga apakah kawasan itu memang dilindungi tetapi tidak ada larangan atau sanksinya.”
Dodi mengakui adanya kerumitan dalam menindak pelanggaran di pesisir karena biasanya perusahaan melakukan aktivitasnya secara legal, membangun secara bertahap demi menutupi celah hukum.
“Mari kita satukan informasi, apa yang akan kita lakukan apakah pidana, perdata atau administrasi. Kita coba cara pidana, lihat unsur pasalnya, apakah alat bukti cukup, reklamasi juga bisa tapi harus dikaji pengrusakannya, apa kerugian dan dampaknya,” tambahnya.