- Sebagai kawasan konservasi penting di Bali dengan hutan, tiga danau dan lahan-lahan pertaniannya, Bedugul kini justru terancam oleh masifnya alih fungsi lahan
- Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bedugul Bali mengusulkan kembali agar kawasan penyangga air Bali itu dikelola dengan manajemen cagar biosfer
- Potensi hayati yang kaya dan unik di Bedugul bisa menjadi pendorong untuk mewujudkan Bedugul sebagai cagar biosfer berikutnya di Indonesia
- Peringatan Hari Bumi di tengah pandemi COVID-19 saat ini bisa menjadi momentum untuk mengingat kembali pentingnya hubungan selaras alam, termasuk di Bedugul.
Merayakan Hari Bumi pada 22 April 2020, pengelola Balai Konservasi Tumbuhan (BKT) Kebun Raya Bedugul, Bali mengusulkan kembali agar kawasan kebun raya di Bali tersebut dan sekitarnya ditetapkan sebagai cagar biosfer. Masifnya alih fungsi lahan di sekitar kebun raya terbesar di Bali itu menjadi salah satu alasannya.
Usulan agar Bedugul diajukan sebagai cagar biosefer kepada Badan PBB di Bidang Pendidikan dan Kebudayaan (UNESCO) itu kembali disampaikan Kepala BKT Kebun Raya Eka Karya Bali Didit Okta Pribadi. “Jika diakui oleh UNESCO sebagai cagar biosfer, maka Bedugul akan mendapatkan dukungan untuk konservasi sumber daya alam maupun sumber daya hayatinya secara internasional. Bedugul juga akan lebih dikenal,” kata Didit ketika dihubungi melalui telepon dari Denpasar.
“Ini tidak hanya sebatas kebun raya, tetapi juga hutan-hutan di sekitarnya. Penetapan sebagai cagar biosfer akan memperlebar spektrum konservasi,” lanjutnya.
Menurut Didit, usulan agar Bedugul ditetapkan sebagai cagar biosfer ke UNESCO itu penting untuk menjamin kelestarian kawasan hutan penyangga air di Bali itu. Sebab, saat ini kawasan Bedugul mengalami beberapa ancaman, termasuk alih fungsi lahan. Makin hari, menurutnya, makin banyak hutan berubah menjadi tempat wisata dan pertanian.
baca : Pendekatan Bentang Alam untuk Menjawab Konflik Pengelolaan Hutan
Didit menambahkan pengusulan ke UNESCO itu perlu didukung juga para pemangku kepentingan di kawasan Bedugul, terutama pemerintah dan masyarakat sekitar. Hal tersebut karena status sebagai cagar biosfer tidak hanya berarti untuk perlindungan, tetapi juga interaksi dengan masyarakat sekitar. Tidak hanya aspek ekologi, tetapi juga sosial.
“Kalau semua pihak sudah sepakat, barulah UNESCO akan mempertimbangkan. Kalau tidak ada ya sulit, terutama jika tidak didukung pemerintah,” ujarnya.
Pengelola Kebun Raya Bali sendiri sudah pernah membahas usulan tersebut 15 tahun lalu dalam sebuah simposium. Namun, pada saat itu usulan tersebut tidak dilanjutkan karena ada kekhawatiran status sebagai cagar biosfer justru akan merusak lingkungan jika nantinya ada aktivitas pariwisata yang tidak ramah lingkungan. “Saat itu belum ada dukungan dari pemerintah karena belum seperti saat ini yang sudah ada konsep ekowisata,” kata Didit.
Dalam simposium pada 2005 itu diusulkan model manajemen yang sesuai dengan daerah cekungan terkungkung Bedugul yaitu pengelolaan dengan konsep cagar biosfer. Menurut Didit cagar biosfer adalah situs yang ditunjuk oleh berbagai negara melalui kerja sama program Man and the Bosphere (MAB) UNESCO untuk mempromosikan konservasi keanekaragaman hayati dan genetika yang sejalan dengan pembangunan ekonomi dan kearifan budaya lokal.
Cagar biosfer diakui secara internasional sebagai bagian dari program MAB UNESCO untuk mempromosikan keseimbangan hubungan antara manusia dan alam. Cagar biosfer memiliki fungsi pendukung penelitian, pemantauan dan proyek percontohan serta pendidikan dan pelatihan. “Dengan demikian, cagar biosfer tidak hanya untuk konservasi, tetapi juga menjadi upaya untuk mengimplementasikan pembangunan berkelanjutan,” kata Didit.
baca juga : Menikmati Tanaman ‘Berbicara’ di Kebun Raya Bedugul Bali
Kawasan Penting
Bedugul merupakan kawasan hutan pegunungan yang ada di tengah-tengah pulau Bali. Lokasinya sekitar 70 km dari Denpasar ke arah utara. Kawasan ini berada di perbatasan dua kabupaten yaitu Tabanan dan Buleleng.
Secara geologis, Bedugul merupakan peninggalan gunung berapi purba. Bedugul adalah cekungan (basin) endorheik (terkungkung) di mana terdapat tiga dari empat danau besar di Bali yaitu Danau Beratan (375,6 ha), Danau Buyan (336 ha), dan Danau Tamblingan (110 ha). Karena itu Bedugul menjadi lansekap penting untuk konservasi, penduduk, pertanian, pariwisata, agama, dan budaya Bali.
Di sini terdapat pula kebun raya terbesar di Bali yaitu Kebun Raya Bali (KRB) – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Eka Karya. Di dalam kebun raya seluas 50 ha ini terdapat berbagai hutan dan kebun tematik yang sekaligus menjadi tempat tujuan warga Bali untuk berwisata alam (ekowisata) maupun petualangan. Namun, terkait dengan pandemi COVID-19 saat ini, Kebun Raya Bali sedang ditutup sejak minggu ketiga Maret 2020.
Pada tahun 2010, tim peneliti Kebun Raya Bali mempelajari keanekaragaman flora dan potensi karbon di Bukit Pohen, salah satu kawasan hutan di Bedugul. Hasilnya, mereka menemukan bahwa dalam petak sampel seluas 1 ha terdapat beragam keanekaragaman hayati, termasuk beberapa spesies flora langka yang harus dilindungi.
Namun, sebagai daerah subur, Bedugul juga menjadi sentra pertanian hortikultura terbesar di Bali. Dari sini sayur-mayur Bali menuju berbagai tempat, terutama di Bali. Perbukitan di sekitar tiga danau pun kini makin berkembang menjadi lahan pertanian.
Menurut Sutomo, peneliti ekologi di Kebun Raya Bali, perubahan penggunaan lahan di wilayah Bedugul, sangat jelas jika dilihat dengan teknik pengindraan jauh dan analisis citra satelit. “Tanpa penerapan teknik konservasi tanah dan air yang tepat, (alih fungsi) itu dapat menyebabkan erosi, penurunan kualitas air serta sedimentasi dan dapat merusak fungsi area danau sebagai daerah tangkapan air,” katanya dalam siaran pers yang dikirim ke media.
menarik dibaca : Mengenang Bencana Longsor di Keringnya Rumah Kaktus Kebun Raya Bedugul
Meninjau Kembali
Dalam laporan berjudul Bedugul dari Angkasa (2019), Sutomo, Rajif Iryadi dan Wawan Sujarwo, menyampaikan berbagai hal penting yang terdapat dalam kawasan Bedugul. Misalnya beberapa spesies tanaman asli di daerah tersebut dapat diperkenalkan kembali untuk mengembalikan fungsi penyangga danau.
Di antaranya adalah cemara pandak (Podocarpus imbricatus) dan cemara geseng (Casuarina junghuhniana). Beberapa jenis bambu, seperti Scizostachyum branchycladum, Dendrocalamus asper, dan Gigantoclhoa apus, juga dapat dimanfaatkan karena tanaman ini dapat menjaga sistem air. Bahkan, seperti pinang (Pinanga arinasae) dan tumbuhan paku (Dicksonia blumei) merupakan spesies langka yang dapat ditemukan di daerah Bukit Pohen Bedugul.
Sutomo menambahkan potensi hayati yang kaya dan unik di balik ancaman degradasi hutan dan alih fungsi lahan di daerah cekungan ter kungkung Bedugul bisa menjadi pendorong untuk mewujudkan Bedugul sebagai cagar biosfer berikutnya di Indonesia.
Peringatah Hari Bumi bisa menjadi momentum untuk mengingatkan kembali pentingnya status cagar biosfer itu bagi Bedugul. Apalagi di saat dunia sedang menghadapi pandemi COVID-19 saat ini.
Menurut Didit, pandemi COVID-19 bisa menjadi momentum untuk meninjau kembali hubungan manusia dengan alam. “Tidak bisa dipungkiri, hilangnya hutan telah mendorong intensitas interaksi manusia dengan kehidupan alam liar sehingga proses transmisi penyakit dari hewan liar ke manusia bisa terjadi,” katanya.
“Bumi punya caranya sendiri untuk melakukan recovery. Karena itu, marilah kita mulai bijak dalam berperilaku dan sudah saatnya konservasi dipandang tidak hanya sebagai upaya penyelamatan bumi tetapi juga merupakan upaya untuk menyelamatkan kemanusiaan,” tegasnya.