- Leang Bulu Bettue, Maros, Sulawesi Selatan, menyimpan banyak peninggalan purbakala, antara lain dua temuan seni ukir kecil bergambar anoa dan matahari dengan perkiraan antara 14.000-26.000 tahun lalu.
- Kedua temuan fragmen figuratif di Goa Bulu Bettue ini adalah yang pertama dari zaman pleistosen di seluruh Asia Tenggara dan Australia.
- Ukiran figuratif dari fragmen dan lukisan goa yang menampilkan anoa ini, juga membuktikan kisah spesies di ambang kepunahan. Di goa lain menemukan gambar seperti babi rusa, juga fauna endemik Sulawesi langka dan dilindungi.
- Budianto Hakim, arkeolog Balai Arkeologi Makassar mengatakan, temuan fragmen dengan ukiran figuratif ini, bukti manusia yang hidup masa itu sudah memiliki perangkat sosial yang mulai kompleks.
Pada 2017 dan 2018, beberapa arkeolog melakukan penggalian di Leang Bulu Bettue, Maros, Sulawesi Selatan di kawasan yang membentang pegunungan karst sekitar 44.000 hektar. Tempat gemuruh aliran air raksasa dari bawah tanah. Juga kawasan penuh misteri ilmu pengetahuan, dianggap sebagai kotak pandora dalam merunut asal usul manusia di Sulawesi.
Selain bentangan alam menakjubkan, tempat ini juga menyimpan ratusan, kalau tak ingin menyebut ribuan ceruk dan goa. Ada ratusan goa teridentifikasi sebagai tempat hunian manusia purba. Tempat kembali mempertanyakan identitas kebangsaan yang terus menerus merosot. Satu tempat menyingkap tabir dan kejutan itu.
Di Leang Bulu Bettue, tak jauh dari jalan utama desa menuju Kompleks Taman Pra Sejarah Leang-leang, goa ini menghadap ke laut. Para arkeolog terkesima menemukan dua fragmen ukir yang mengagumkan. Bermula pada 2017, temuan pertama berupa batu kecil berukuran kecil dari telapak tangan dengan ukiran figuratif berbentuk binatang anoa. Pada 2018, ada temuan fragmen batu dengan ukiran figuratif mirip matahari.
Fragmen itu tersingkap pada kedalaman 90-110 cm dari permukaan. Oleh para peneliti disebut lapisan 4A. Keduanya ditemukan pada kotak ekskavasi berbeda, namun dalam lapisan sama. Lapisan ini kemudian memperoleh penanggalan antara 14.000-26.000 tahun lalu.
Penelitian ini dilakukan Universitas Griffith Australia bersama Pusat Penelitian Penelitian Arkeologi Nasional melibatkan Balai Arkeologi Makassar, Badan Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan, Universitas Hasanuddin, dan Universitas Haluleo Kendari. Ada puluhan arkeolog terlibat, salah satu Basran Burhan.
Basran, jadi peneliti independen sejak 2013 dan membantu beberapa penelitian di Sulawesi Selatan. Saat ini, dia menekuni kajian geo-arkeologi dan sedang menempuh program doktoral di Universitas Griffith, Australia.
Dia mengingat pertama kali melihat artefak itu, sebuah fragmen menawan. Ia mengundang beragam perdebatan, beberapa peneliti tak menyangka kalau artefak itu kelak memunculkan figur anoa. Para peneliti sepakat kalau fragmen figuratif itu bukanlah terbentuk secara alami, melainkan dibuat sengaja oleh manusia.
Saat dua fragmen itu diterbangkan ke Universitas Griffith di Brisbane, Australia, seorang peneliti seni dekoratif prasejarah kemudian gunakan metode pencahayan dengan teknologi mutakhir dalam laboratorium, menemukan figur yang muncul anoa yang menyamping. Memperlihatkan tanduk, moncong, dan pipi. Hasil temuan itu membuat semua peneliti bernapas lega.
Temuan satu lagi, berbentuk matahari. Awalnya ragu, karena usia temuan di lapisan tua, dianggap sebagai artefak yang menyusup. Ketika para arkeolog meneliti setiap lapisan tanah dengan seksama, mereka menemukan kesimpulan, fragmen itu dari lapisan sama gambar anoa.
“Kami benar-benar memeriksa kondisi lapisan tanah, dan menemukan pada lapisan di atas temuan ada lapisan flowstone. Tidak mungkin ada artefak yang menyusup,” kata Basran.
Penggalian di Goa Bulu Betue, Maros. Foto: dokumentasi Universitas Griffiht, Australia
Keraguan mengenai ukiran figuratif itu, hampir jamak dialami banyak orang. Selama ini, seni kompleksitas tinggi berasal dari Eropa dan wilayah Asia lain. Manusia purba, sebelum gelombang Austronesia 4000 tahun lalu memasuki Sulawesi, menusia pendukungnya dianggap masih tertinggal dan tak berbudaya. Homo Sapiens yang diperkirakan sebagai ras Melanesid, adalah manusia pendukung yang terbelakang.
Lambat laun, anggapan itu mulai terkikis oleh temuan-temuan arkeologi yang mencengangkan. Di depan Leang Bulu Bettue, ada Goa Timpuseng yang menghebohkan pada 2014 dengan penanggalan lukisan cap tangan minumum 39.900 tahun lalu. Akhir tahun lalu, di Goa Bulu Sipong 4, lukisan perburuan anoa mendapatkan penanggalan 44.000 tahun lalu.
Temuan-temuan ini, membuka sedikit demi sedikit tabir pengetahuan. “Ini bukti, leluhur kita, manusia pendukung ini, di belahan bumi mana pun baik di Eropa dan Asia memiliki kemampuan sama. Tak ada lagi, penekanan bahwa Homo Sapiens di Indonesia masih terbelakang,” kata Basran.
Hal sama dikatakan Budianto Hakim, arkeolog Balai Arkeologi Makassar. “Temuan fragmen dengan ukiran figuratif ini, bagi saya bukti manusia yang hidup masa itu sudah memiliki perangkat sosial yang mulai kompleks,” katanya.
Dia bilang, membuat karya seni yang dapat dibawa kemana-mana, kemungkinan menunjukkan nilai dan peruntukan lain. “Di Bulu Bettue, ada banyak banyak temuan. Ini temuan pertama yang memberikan pandangan baru mengenai benda seni yang kecil,” katanya.
Temuan dua fragmen di Bulu Bettue, bukan tidak mungkin ada di tempat lain. “Selama ini kita masih fokus menggali di Bettue. Artinya, situs lain di karst Maros dan Pangkep bukan berarti tidak ada. Kita belum menemukannya saja,” kata Basran.
Lukisan figur babirusa di Leang Pettae, Maros. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia
Mengapa buat seni ukir?
Apa yang mendorong mereka membuat seni ukir itu? Tak ada penjelasan pasti. Namun penggambaran anoa memungkinkan mereka melihat binatang itu. Mereka memburu dan memakannya. Anoa adalah hewan endemik Sulawesi yang kadang dikenal dengan kerbau kerdil.
Anoa yang memberi sumber protein dari daging, hingga sekarang masih diburu di beberapa tempat. Saya sendiri masih menyaksikan tanduk Anoa jadi pegangan peralatan besi berkelas. Di karst Maros dan Pangkep, hewan ini hampir tak pernah terlihat lagi. Kini, anoa makin langka dan sebagai satwa dilindungi pemerintah.
Ukiran figuratif dari fragmen dan lukisan goa yang menampilkan anoa ini, juga membuktikan kisah spesies di ambang kepunahan. Di goa lain menemukan gambar seperti babi rusa, juga fauna endemik Sulawesi langka dan dilindungi.
Dalam Jurnal Nature berjudul Portable art from Pleistocene Sulawesi, para peneliti menjelaskan, kalau karya seni kecil dan dapat dibawa kemana-mana pada awalnya dianggap sebagai fitur unik dan jadi ciri khas Eropa Paleolitik Atas sebagai bagian dari budaya manusia modern di Levant, Prancis, pada 23.000-16.000 tahun lalu. Temuan lain seni ini pada masa Afrika Pleistosen berasal dari 27.500 tahun lalu.
Kalau melihat konteks sama, Sulawesi, Indonesia, sebanding dengan temuan di Levant dan Afrika. Paling penting, temuan fragmen figuratif di Goa Bulu Bettue adalah yang pertama dari zaman pleistosen di seluruh Asia Tenggara dan Australia.
Rentang masa plestosen membentang dari 2,5 juta hingga 11.000 tahun lalu. Masa ini dibagi dalam tiga babakan. Lalu temuan fragmen ini, berada dalam periode late pleistosene antara 129.000-11.000 tahun lalu.
Temuan-temuan di Pulau Sulawesi ini, memberi gambaran bagaimana pulau ini jadi jembatan migrasi manusia masa lalu. Di endapan tanah ini pula, beberapa binatang purba ditemukan. Temuan tulang gajah di Leang Burung 2–berdekatan dengan Goa Bulu Bettue-ditemukan pada lapisan kebudayaan dengan perkiraan usia 50.000 tahun lalu. Kini, pulau ini sedang “memuntahkan” beberapa misteri. Menunggu para pencari ilmu pengetahuan menemukannya. Pulau ini sejak awal dalam dunia biologi, jadi primadona karena sejarah kompleks evolusi fauna dengan tingkat edemisitas paling tinggi, terutama mamalia.
Dua temuan batu kecil ini adalah seni berukuran saku pertama, mungkin bukan yang terakhir.
Keterangan foto utama: Fragmen fguratif mirip matahari. Foto: dokumentasi Universitas Griffith, Australia
Monitoring lukisan goa prasejarah oleh Tim Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan, pada Maret 2020 di Leang Pettae, Maros. Foto: EKo Rusdianto/ Mongabay Indonesia