Desa Ini Sediakan Lahan Pertanian untuk Generasi Milenial

 

  • Desa Gelebak Dalam, Kecamatan Rambutan, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, menyediakan lahan untuk dijadikan laboratorium pertanian, perikanan, peternakan, dan kehutanan. Tujuannya, selain transformasi ilmu pengetahuan, mendorong lahirnya petani muda dari generasi milenial di desa tersebut.
  • Desa Gelebak Dalam yang luasnya 17.779 hektar sudah menjadi desa mandiri pangan dan air bersih. Namun, desa ini mengalami krisis petani, dan kehilangan hutan karena sudah dijadikan perkebunan karet.
  • Tawaran atau gagasan Desa Gelebak Dalam harus didukung perguruan tinggi dan lembaga penelitian, yang ingin mengembangkan pangan dan hutan berkelanjutan sesuai karakter lokal.
  • Sejumlah perguruan tinggi di Palembang menyambut baik, sebab gagasan ini dapat meningkatkan ketahanan desa, juga terwujudnya tridharma perguruan tinggi yakni penelitian, pengabdian dan pendidikan.

 

Desa Gelebak Dalam, Kecamatan Rambutan, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, merupakan desa mandiri pangan dan air bersih. Namun, desa ini mengalami krisis petani muda dan kehilangan hutan. Apa yang akan mereka lakukan?

“Kami menyediakan lahan bagi mahasiswa atau perguruan tinggi, juga lembaga penelitian terkait pertanian, perikanan, peternakan, dan kehutanan,” kata Hendri Sani, Kepala Desa Gelebak Dalam, kepada Mongabay Indonesia, Minggu [07/6/2020].

“Harapan kami, mereka dapat mentransformasi ilmu pengetahuan sekaligus merangsang generasi muda milenial desa ini agar minat jadi petani. Terus terang, desa kami mengalami krisis petani muda. Banyak yang suka bekerja sebagai buruh atau pekerjaan lain di kota. Tak heran, banyak petani dari desa lain yang bekerja di sini,” kata Hendri Sani.

“Hutan di desa kami juga habis dijadikan kebun karet,” lanjutnya.

Baca: Gelebak Dalam, Desa Sentra Padi yang Berjuang Mandiri

 

Saat ini sulit mendapatkan anak muda yang mau menjadi petani di Desa Gelebak Dalam, Kecamatan Rambutan, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan. Foto: Ikral Sawabi/Mongabay Indonesia

 

Desa Gelebak Dalam yang luasnya 17.779 hektar dan berpenduduk sekitar 2.100 jiwa, saat ini menjadi desa mandiri pangan dan air bersih. Sebelumnya, desa ini dikenal langganan kebakaran hutan dan lahan [karhutla]. Tapi sejak 2015, desa ini melakukan upaya perbaikan pengelolaan pertanian, khususnya persawahan, dengan menggunakan Bios 44 sebagai pengganti pupuk. Juga, menggunakan teknologi pertanian yang didukung Korem 044 Garuda Dempo dan pemerintah. Titik api pun tidak lagi ditemukan di Desa Gelebak Dalam.

Sekitar 800 hektar lahan persawahan, kini menghasilkan gabah sekitar 4.800 ton setiap panen, yang dikelola 500 kepala keluarga. Dalam setahun, persawahan itu dua kali tanam.

Sementara rawa gambut seluas 200 hektar yang sebelumnya sering terbakar, sudah dikelola menjadi lahan persawahan dan perikanan.

Dua tahun terakhir, desa ini mandiri air bersih. Sebelumnya warga desa mengonsumsi air mineral yang dikirim dari Palembang.

“Setiap bulan, desa kami mengeluarkan biaya sekitar Rp42 juta untuk membeli air bersih dari Palembang. Kini, sejak adanya Filter Air Nusantara atas bantuan Korem 044, yang dikelola Bumdes [Badan Usaha Desa], biaya yang dikeluarkan warga berkurang. Uang itu kembali ke kas desa, digunakan untuk pembangunan,” jelasnya.

Baca: Tidak Lagi Terbakar, Dua Desa Ini Kembangkan Wisata Sejarah dan Ekowisata

 

Desa Gelebak Dalam, Kecamatan Rambutan, Kabupaten Banyuasin, Sumsel, sudah mandiri pangan tapi krisis petani muda dari generasi milenial. Foto: Ikral Sawabi/Mongabay Indonesia

 

Bekas kebun karet dan rawa gambut

Satu persoalan yang belum terselesaikan adalah minimnya generasi muda milenial di desa ini yang mau atau berminat menjadi petani. Selain itu para petani yang ada juga minim ilmu pengetahuan.

“Terakhir, hutan di desa kami sudah habis, karena dijadikan perkebunan karet, sehingga kami juga berencana membuat hutan desa,” kata Hendri yang tercatat sebagai mahasiswa fakultas hukum sebuah perguruan tinggi di Palembang.

Selain itu, ribuan hektar perkebunan karet milik warga tidak lagi produktif dan harga karet tetap rendah, sehingga ada sejumlah warga ingin beralih mengembangkan pertanian, khususnya pangan. Tapi mereka masih ragu karena minim ilmu pengetahuan.

Lahan yang akan dikembangkan sebagai laboratorium pertanian, perikanan, peternakan dan kehutanan itu, kata Hendri, yang dicadangkan desanya seluas 50 hektar. “Tapi, saat ini yang siap dikelola sekitar 4 hektar,” katanya.

Lahan seluas 50 hektar tersebut terdiri rawa gambut yang sudah diolah menjadi persawahan dan kolam ikan. Ada juga eks perkebunan karet yang tidak lagi produktif, dialihkan untuk tanaman pangan dan hutan.

Diharapkan, dalam praktiknya nanti, perguruan tinggi atau lembaga penelitian, wajib melibatkan warga desa.

“Saat ini kami menerima apa pun yang ditawarkan, terkait pertanian, perikanan, peternakan, yang tentunya cocok di desa kami. Paling penting, kami mengharapkan adanya hutan desa berisi sejumlah pohon seperti meranti, unglen, ramin, petanang, ara, jelutung, sungkai, tembesu, dan pohon buahan hutan seperti durian, yang dulu banyak ditemukan di desa ini,” jelasnya.

Baca: Tidak Andalkan Perkebunan, Desa Sekitar Gambut di Sumsel Terjaga Pangannya

 

Lokasi pengembangan pertanian, perikanan, peternakan, kehutanan di Desa Gelebak Dalam, yang sebagian infrastrukturnya telah dibangun. Foto: Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

Ditindaklanjuti

Penyedian lahan Desa Gelebak Dalam sebagai laboratorium pertanian, perikanan, peternakan dan kehutanan, harus segera ditindaklanjuti. “Perlu ditanggapi berbagai pihak terkait, dikerjasamakan berbagai perguruan tinggi dan lembaga penelitian,” kata Yusuf Bahtimi, peneliti dari CIFOR, Senin [08/6/2020].

Handoyo, peneliti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Kebijakan dan Perubahan Iklim, Badan Litbang dan Inovasi KLHK mengatakan, kegiatan ini bagus untuk etalase praktik pemanfaatan lahan.

“Lebih baik lagi jika yang diujicobakan adalah usaha tani lokal atau tempatan yang sudah terbukti bisa menjadi sumber penghidupan dan ramah secara ekologis,” katanya, Selasa [09/6/2020].

Terkait gambut, memang harus tetap difungsikan sebagai lahan basah, seperti perikanan dan pesawahan. “Jangan dikelola menjadi kebun,” tambahnya.

Dr. Sarno, peneliti lahan basah dan mangrove dari Universitas Sriwijaya mengatakan, penyediaan lahan oleh Desa Gelebak Dalam sangat menarik, juga bagus. Apalagi ada lahan basahnya. Kalau bisa, rawa gambutnya sebagian juga dijadikan hutan dengan tanaman khas gambut. Jangan diolah semuanya menjadi sawah dan perikanan.

“Lokasi itu bisa menjadi pusat studi yang dikelola perguruan tinggi atau lembaga penelitian. Sehingga manfaatnya menjadi luas,” ujarnya.

Baca juga: Cetak Sawah Baru: Jangan Lagi Gambut Hancur Seperti Proyek Satu Juta Hektar

 

Puluhan sapi dibesarkan di lokasi pengembangan lahan yang akan dijadikan laboratorium pertanian dan kehutanan di Desa Gelebak Dalam. Foto: Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

Didukung Perguruan Tinggi

Dr. Yenrizal Tarmizi dari UIN Raden Fatah Palembang menjelaskan, pihaknya siap mendukung. “Kami akan mengirim mahasiswa untuk praktik kerja dan juga KKN di sana. Kami ada mata kuliah komunikasi lingkungan, yang akan kami kirim ke sana untuk praktik,” katanya, Rabu [09/6/2020].

Tawaran Desa Gelebak Dalam tersebut, kata Yenrizal, merupakan upaya baik yang perlu didukung. Sebab, dapat menjadi praktik para mahasiswa untuk belajar tentang alam yang sebenarnya.

“Bisa dipakai untuk kuliah lapangan mahasiswa jangka panjang. Sekaligus berinteraksi dengan masyakat dan merasakan bagaimana bersama warga mengolah alam yang ada,” katanya.

Dr. Tarech Rasyid, kandidat Rektor Universitas IBA [Ida Bajumi] Palembang, menyatakan, ini gagasan luar biasa. Jarang sebuah desa memiliki komitmen dalam pengembangan dunia pendidikan, terutama bidang pertanian, kehutanan, perikanan dan peternakan. Jadi, pantas didukung.

“Kami dalam waktu dekat berencana membangun kerja sama dengan desa tersebut, terkait tawarannya,” ujarnya.

Dijelaskan Tarech, pengembangan ilmu pengetahuan memang sangat erat dengan laboratorium atau pusat-pusat penelitian di perguruan tinggi. Interaksi desa dengan perguruan tinggi kelak akan berdampak bagi kemajuan  pembangunan pertanian, perikanan, peternakan dan kehutanan di desa.

“Sebab, bila perguruan tinggi membuat laboratorium atau pusat penelitian untuk mahasiswa di desa, diharapkan bermanfaat bagi kemajuan desa tersebut,” katanya.

Di lain sisi, kehadiran perguruan tinggi dapat dimaknai selain sebagai wujud tridharma perguruan tinggi yakni penelitian, pengabdian dan pendidikan, juga dapat dikembangkan menjadi desa ecoedoturism.

“Menuju desa ecoedotourism tentunya tentunya mahasiswa dapat terlibat dalam pembangunan desa. Terutama dalam hal pemilihan jenis tanaman di bidang pertanian dan kehutanan. Di lain sisi, dapat juga dikembangkan perikanan dan peternakan ramah lingkungan,” tandasnya.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,