- Praktik kerja paksa dan dugaan perdagangan orang kembali mengemuka terjadi pada kapal perikanan luar negeri yang mempekerjakan awak kapal perikanan (AKP) asal Indonesia. Kapal berbendera Republik Rakyat Tiongkok (RRT) diduga kuat kembali menjadi pelaku praktik terlarang tersebut
- Adalah dua AKP Indonesia bernama Reynalfi dan Joni Juniansyah yang berani membongkar praktik kerja paksa dan dugaan perdagangan orang dengan memberikan keterangan lengkap kepada Fisher Centre Bitung di Kota Bitung, Provinsi Sulawesi Utara
- Kedua AKP Indonesia tersebut diketahui tak tahan menghadapi perlakuan tidak menyenangkan dari kru Kapal RRT Lu Qian Yua Yu 901 tersebut. Keduanya nekad melompat dari kapal dan terapung selama tujuh jam di laut
- Reynalfi dan Joni Joniansyah diketahui mengalami intimidasi, kekerasan fisik dari kapten kapal, dan juga dari sesama AKP yang berasal dari RRT. Selain itu, keduanya juga diduga mengalami kerja paksa, karena ditemukan adanya praktik tipu daya.
Laporan kerja paksa dan perdagangan orang yang dialami awak kapal perikanan (AKP) asal Indonesia yang bekerja pada kapal perikanan berbendera Republik Rakyat Tiongkok (RRT) semakin bertambah. Sejak kasus pelarungan AKP Indonesia oleh kapal RRT yang dipublikasikan media Korea Selatan menjadi viral, semakin banyak AKP Indonesia yang berani melaporkan kondisi pekerjaan masing-masing.
Terbaru, laporan datang dari dua AKP yang bekerja pada kapal RRT Lu Qian Yua Yu 901. Keduanya diketahui melompat dari kapal tersebut pada Jumat, 5 Juni 2020 saat kapal sedang melintasi perairan Selat Malaka. Laporan tersebut dirilis resmi Fisher Centre Bitung, Kota Bitung, Sulawesi Utara, pekan ini.
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan menceritakan kejadian yang menimpa kedua tenaga kerja Indonesia (TKI) tersebut, yakni Reynalfi dan Andri Juniansyah. Keduanya melompat ke air laut, karena tidak tahan dengan perlakuan saat sedang berada di atas kapal.
Kedua AKP tersebut mengeluhkan perlakuan dan kondisi kerja di atas kapal yang sering kali mendapatkan intimidasi, kekerasan fisik dari kapten kapal, dan juga dari sesama AKP yang berasal dari RRT. Selain itu, keduanya juga diduga mengalami kerja paksa, karena ditemukan adanya praktik tipu daya.
“Gaji yang tidak dibayar, kondisi kerja yang tidak layak, ancaman dan intimidasi yang dirasakan kedua AKP. Setelah mengapung selama tujuh jam, mereka akhirnya ditemukan dan mendapat pertolongan nelayan Tanjung Balai Karimun,” ungkapnya.
baca : Kasus Pelarungan Mayat: Awak Kapal Perikanan Indonesia di Pusaran Praktik Perbudakan dan Kerja Paksa
Kejadian yang menimpa Reynalfi dan Andri Juniansyah tersebut, diketahui menjadi insiden yang keenam dalam kurun waktu delapan bulan terakhir ini. Rincinya, selama periode November 2019 hingga Juni 2020 tercatat ada 30 orang AKP yang menjadi korban kekerasan saat bekerja pada kapal perikanan berbendera RRT. Dengan rincian, 7 meninggal, 3 hilang, dan 20 orang selamat.
Agar insiden serupa tidak berulang dan dialami para TKI yang bekerja sebagai AKP, DFW Indonesia meminta Pemerintah Indonesia untuk secepatnya melakukan moratorium pengiriman AKP Indonesia ke luar negeri. Terutama untuk bekerja pada kapal perikanan RRT, baik melalui pengiriman jalur resmi ataupun tidak.
Khusus untuk kasus yang menimpa Reynalfi dan Andri Juniansyah, Abdi Suhufan menerangkan bahwa keduanya diketahui tidak pernah menerima gaji selama lima bulan bekerja pada kapal RRT tersebut. Penemuan itu muncul setelah Fisher Centre Bitung melakukan screening pada kasus yang menimpa kedua AKP tersebut.
Sejak berangkat pada 24 Januari 2020 lalu, keduanya diketahui tidak pernah menerima upah dari perusahaan perekrut, dan bahkan harus menerima tindak kekerasan fisik, dan sekaligus intimidasi di atas kapal. Padahal, dalam dokumen resmi perekrutan, seharusnya keduanya mendapatkan gaji sebesar USD430 per bulan atau sekitar Rp5,9 juta.
baca juga : Pekerjaan Rumah Tata Kelola Pengiriman Awak Kapal Perikanan
Kerja Paksa
Selain mendesak segera melaksanakan moratorium pengiriman AKP, Abdi Suhufan juga mendesak agar penegak hukum Indonesia bisa melakukan upaya dan tindakan penegakan hukum kepada pihak-pihak yang terlibat secara langsung ataupun tidak dalam tindak pidana perdagangan orang dan pelanggaran ketenagakerjaan lainnya.
“Tindakan hukum yang tegas perlu dilakukan kepada mereka yang terlibat dalam praktik yang tidak berperikemanusiaan ini,” tegas dia.
Abdi Suhufan menambahkan, Kepolisian RI juga harus segera melaksanakan penyelidikan terkait dugaan perdagangan orang sesuai Undang-Undang No.21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Penyelidikan perlu segera dilakukan karena kapal RRT Lu Qian Yuan Yu 901 saat ini diketahui sedang berada di perairan Singapura dan di atas kapal masih ada 10 orang AKP asal Indonesia. Mereka semua diduga kuat juga menjadi bagian dari korban kerja paksa dan perdagangan orang seperti yang dialami Reynalfi dan Joni Juniansyah.
Menurut Abdi, dalam pasal 59 UU No.21/2007 ada kewenangan dan kewajiban yang diberikan kepada Pemerintah Indonesia untuk melakukan kerja sama internasional yang bersifat bilateral maupun multilateral guna melakukan penindakan dan pemberantasan TPPO.
“Jika kapasitas penegak hukum Indonesia masih lemah, maka instrumen dan perangkat UU ini perlu digunakan secara optimal untuk menyelamatkan warga negara Indonesia yang kini sedang terancam diatas kapal Lu Qian Yuan Yu 901,” ucap dia.
perlu dibaca : Negara Harus Jeli Telusuri Jejak Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal Perikanan
Abdi Suhufan mengungkapkan, terbongkarnya kasus praktik kerja paksa di atas kapal perikanan asing harus menjadi momentum untuk melakukan evaluasi terhadap aturan dan mekanisme rekrutmen, serta pengiriman AKP ke luar negeri.
Selama ini, proses rekrutmen dan pengiriman masih dilakukan dengan melibatkan banyak pihak secara terpisah, sehingga tidak memberikan perlindungan yang maksimal dan membuat pengawasan menjadi sulit untuk dilakukan.
“Walaupun ada banyak pintu untuk bekerja di kapal ikan luar negeri, mayoritas AKP berangkat lewat jalur ilegal,” ujarnya.
Menurut Abdi, fakta di atas menjadi permasalahan besar karena Pemerintah Indonesia akhirnya tidak memiliki data pasti tentang jumlah AKP yang bekerja pada kapal perikanan di negara tujuan. Akhirnya, keberadaan mereka yang ilegal akan terungkap jika ada kasus seperti kejadian di perairan Korea Selatan.
Abdi Suhufan kemudian menjelaskan, mekanisme pengiriman AKP ke luar negeri saat ini dilakukan melalui lima jalur dan aturan, yaitu Kementerian Perhubungan, Kementerian Ketenagakerjaan, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), Pemerintah Daerah, dan jalur mandiri melalui kerja sama bisnis.
“KBRI akhirnya sulit mendeteksi keberadaan mereka untuk melakukan monitoring dan pengawasan, karena aturan tiap-tiap instansi pengirim berbeda,” pungkas dia.
baca juga : Belajar kepada Bitung untuk Melindungi Tenaga Kerja Perikanan
Uang Sponsor
Staf pengelola Fisher Centre Bitung yang juga Field Manager Safeguarding Against and Addressing Fisheries Exploitation at Sea (SAFE Seas) Project DFW-Indonesia Laode Hardiani menjelaskan bahwa Andri dan Reynalfi sebelumnya direkrut oleh PT Duta Putra Group melalui agen/sponsor berinisial SYF. Andri dijanjikan akan bekerja pada salah satu perusahaan di Korea Selatan dengan gaji Rp25 juta/bulan.
Sebelum bisa bekerja, keduanya diketahui harus membayar sejumlah uang secara tunai kepada agen berinisial SFY. Untuk itu, sebelum berangkat bekerja Andri membayar Rp40 juta dan Reynalfi sebesar Rp45 juta kepada SFY.
Ketua Dewan Pimpinan Daerah Pergerakan Pelaut Indonesia Sulawesi Utara Anwar Dalewa mengatakan bahwa Andry Juniansyah dan Reynalfi merupakan korban sindikasi perdagangan orang yang melibatkan manning agent ilegal di dalam negeri dan jejaring internasional.
“Mereka telah ditipu sejak awal perekrutan, diangkut dan dipindahkan dari kapal Lu Qiang Yu 213 ke kapal Lu Qian Yuan Yu 901 yang melakukan operasi penangkapan ikan di Samudera Hindia,” kata dia.
Sebelumnya, dalam sebuah diskusi virtual yang digelar SAFE Seas, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan M Zulficar Mochtar mengatakan bahwa saat ini diperlukan adanya perubahan paradigma dalam pengelolaan perikanan yang harus lebih memperhatikan aspek perlindungan AKP.
“Kita harus perhatikan sisi human centre dalam tata kelola perikanan, tidak hanya bagaimana cara penangkapan dan kualitas ikannya,” ucap dia.
Menurut dia, terobosan perlindungan awak kapal ikan dalam negeri akan dilakukan melalui sejumlah kebijakan dan program. Dengan memberikan perlindungan, maka kebutuhan paling mendesak, yakni pembenahan sistem perekrutan, reformulasi sistem penggajian, inspeksi bersama, dan protokol kesehatan bisa diterapkan secara bersamaan.
Berkaitan dengan inspeksi bersama, Zulficar mengatakan akan mendorong kolaborasi Kemnaker, Kemenhub untuk memastikan kondisi kerja, keselamatan dan kesehatan kerja (K3), Perjanjian Kerja Laut, dan akomodasi di atas kapal.
“Kita akan dorong percontohan inspeksi bersama pada pelabuhan perikanan di DKI Jakarta, Bitung dan Jawa Tengah,” pungkas dia.