- Petani holtikultura di Kabupaten Sikka, NTT, dalam skala besar mendapatkan bantuan dan pinjaman modal dari pemerintah desa, Badan Usaha Milik Desa (BUMDEs) dan koperasi kredit tanpa agunan dengan bunga rendah
- Pembayaran pinjaman untuk modal bertani dilakukan setelah panen dan bisa dicicil dengan bunga yang rendah dan semua petani baik perorangan maupun kelompok bisa mengakses pinjaman
- Merebaknya pandemi Corona membuat beberapa petani beralih menanam tanaman pangan. Namun sebagian besar tetap menanam holtikultura meski keuntungan yang diperoleh menurun
- Petani juga dituntut melakukan efisiensi biaya produksi serta menerapkan pola tumpang sari dan mengintegrasikan usaha pertanian dan peternakan untuk memaksimalkan pendapatan
Tahun 2017 boleh dikata menjadi titik awal menggeliatnya pertanian holtikultura di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT). Sebelumnya, semua jenis holtikultura didatangkan dari Makasar, Sulawesi Selatan dan Bima, Nusa Tenggara Barat.
Sejak turun temurun, petani di Kabupaten Sikka terutama Kecamatan Nita sudah menjadi petani holtikultura. Hasilnya hanya sebagian kecil saja untuk memenuhi kebutuhan pasar. Pada awal 1990-an, petani beralih ke tanaman perkebunan seperti kakao, mete dan kelapa yang dianggap lebih menjanjikan.
Tulisan ini melihat bagaimana petani muda di Sikka yang sebelumnya tidak tertarik terjun di dunia pertanian bisa menguasai pasar holtikultura di Sikka bahkan produknya dijual ke kabupaten lain di Pulau Flores.
Tulisan ini merupakan bagian terakhir dari dua tulisan bagaimana anak muda di Sikka bertani holtikultura serta bertahan di tengah pandemi Corona. Tulisan pertama bisa dilihat di tautan ini.
***
Siang itu, petani di Desa Koting B, Kecamatan Koting, Kabupaten Sikka, NTT, mulai memanen tomat di 20 bedeng lahan pertanian. Setiap bedeng sepanjang 15 meter terisi 40 pohon tomat.
“Tomat ini mulai panen perdana karena ditanam akhir Januari sehingga awal Maret mulai panen. Satu kilogram tomat kalau ambil di kebun Rp.10 ribu,” sebut Kepala Desa Koting B Kecamatan Koting Kabupaten Sikka,NTT, Fransiskus Yamance Wolo saat ditemui Mongabay Indonesia, Senin (20/4/2020).
Yamance berkeinginan memberi contoh kepada warganya untuk bisa menjadi petani sukses. Apalagi katanya, sang isteri juga mengikuti Sekolah Lapang (SL) yang diadakan di desanya.
baca : Kisah Anak Muda Sikka Gelorakan Budidaya Holtikultura : Dobrak Tradisi Bertani [Bagian 1]
Modal Bertani
Dampak SL membuat Yamance membongkar tanaman singkong di kebunnya dan diganti dengan tomat sebanyak 800 pohon. Satu kilogram ada 14 buah dan satu pohon bisa menghasilkan 2 – 3 kg sekali panen.
“Setelah SL otomatis petani harus praktik. Jangan sampai dibilang kepala desa hanya menghamburkan uang saja. Pemerintah desa membantu modal untuk pemumpukan dan lainnya,” ungkapnya.
Yamance menjelaskan kini ada belasan petani holtikultura di desanya berkat SL. Dirinya pun menggunakan wadah dari botol plastik bekas untuk menyemai bibit tanaman. “Hitung-hitung bisa membantu mengurangi sampah plastik di wilayah kami. Daripada membeli wadah lagi lebih baik manfaatkan botol bekas yang mudah diperoleh dan gratis,” ungkapnya.
Selain SL, modal menjadi alasan petani. Bila Desa Koting B memotivasi petani dengan memberikan bantuan, petani di Desa Nitakloang, Kecamatan Nita, mengandalkan modal bertani dari BUMDes dan koperasi kredit.
Y.N. Sirilus Desa Gobang (50) Ketua BUMDes Bersama Bangkit Mandiri Kecamatan Nita mengatakan pihaknya membantu modal bagi petani untuk sarana dan prasarana produksi bagi petani holtikultura.
“Pembayarannya dicicil setelah panen. Petani baik perorangan atau kelompok yang memiliki usaha pasti dibantu. Pengembalian pinjaman bunganya 1 sampai 1,2 persen. Kami melihat prospek pasar yang baik ke depannya,” ungkapnya.
Ketua Kopdit Pintu Air Yakobus Jano kepada Mongabay Indonesia, Sabtu (25/4/2020) mengatakan koperasinya juga memberikan kredit tanpa agunan bagi petani.
Yakobus mengatakan pihaknya menyediakan lahan seluas 4 hektare untuk digarap kelompok tani. Hasil panen holtikultura semuanya untuk petani, namun petani wajib menanam sengon di lahan tersebut dan nanti hasil panenya dibagi dengan koperasi.
“Kita berharap petani memanfaatkan tanah yang tidak terpakai dan dibiarkan begitu saja. Kami berikan kepada petani lahan kami untuk digarap agar terawat dan memberikan pendapatan bagi petani. Saat ini baru 4 Ha sebab belum ada kelompok tani yang mengajukan lagi,” ungkapnya.
baca : Kisah Sukses Eustakius Kembalikan Kejayaan Holtikultura di Sikka
Dampak Pandemi Corona
Dampak COVID-19 membuat Dinas Pertanian Kabupaten Sikka memberika bantuan benih kepada para petani untuk menjaga ketahanan pangan dan mencegah terjadinya rawan pangan.
Kepala Bidang Tanaman Pangan dan Holtikultura Dinas Pertanian Kabupaten Sikka, Kristianus Amstrong menyebutkan pihaknya menyediakan enam komoditas yang diperuntukan bagi para petani di beberapa kecamatan di Kabupaten Sikka.
Benih tersebut yaitu padi seluas 500 hektare dan jagung 110 hektare, kacang hijau 260 hektare, singkong 50 hektare, ubi talas 30 hektare dan pisang kepok 100 Ha. Bantuan ini diberikan kepada kelompok tani di wilayah yang masih tersedia airnya dan daerah ketinggian yang ada embun.
Albertus Marianus Moa Desa (34) Sekretaris kelompok tani Sinar Bahagia Kecamatan Nita mengaku meski sudah menyediakan bedeng, menyemai benih serta benih memasang plastic mulsa, namun dirinya menyerah karena adanya wabah COVID-19.
Dia mengatakan lebih baik rugi Rp.2 juta – Rp.3 juta daripada menanggung kerugian yang lebih banyak. “Saya merasa nyaman jadi petani holtikultura apalagi sudah terbentuk kelompok. Saya sudah mempersiapkan diri setelah wabah COVID-19 berakhir mulai menanam lagi,” tegasnya.
Setelah petani menanam sayuran dalam jumlah besar kata Albertus, produk sayuran dari luar kabupaten Sikka tetap masuk pasar tetapi volumenya berkurang drastis untuk komoditas tertentu.
“Bedeng yang gagal tanam holtikultura saya tanami singkong semua. Kami juga dapat bantuan benih singkog dari pemerintah untuk puluhan hektar lahan,” ujarnya.
Ketua kelompok tani Sinar Bahagia desa Nitakloang, Eustakius Bogar dan adiknya Verentinus Wenger mengatakan tetap menanam meski pandemi. Eus bahkan sedang memanen lombok dan menyiapkan lahan. Veres bahkan siap tanam lebih banyak lagi dibanding biasanya.
“Mengatasi kelesuan pasar, selain menurunkan harga jual, produk kami pasarkan dari rumah ke rumah menggunakan mobil pick up dan secara online melalui media sosial,” kata Veres.
baca juga : Sius, Petani Difabel Pelopor Pertanian Organik yang Diundang Makan Malam Jokowi
Perlu Teknologi Pasca Panen
Kepala Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Nusa Nipa (Unipa) Maumere Yoseph Yacob Da Rato, kepada Mongabay Indonesia, Rabu (20/5/2020) menyebutkan, produksi hortikultura di Kabupaten Sikka umumnya terkonsentrasi di daerah-daerah tertentu.
Kondisi demikian sebut Yoyo sapaannya, merupakan suatu proses historis yang secara umum melibatkan aspek agroklimat dan kondisi sosial ekonomi daerah bersangkutan.
Sifat hortikultura yang berorientasi pasar, katanya, menyebabkan petani hortikultura, terutama sayuran harus lebih kreatif dibandingkan petani tanaman pangan lainnya.
“Petani sayuran harus lebih mandiri dalam mengadopsi dan mengembangkan teknologi usaha tani yang dibutuhkan agar bisa meminimalisir kendala yang dihadapi antara lain skala usaha tani yang tergolong kecil, dengan lokasi wilayah produksi terpencar-pencar,” sebutnya.
Yoyo tambahkan, tidak ada standarisasi mutu, baik untuk konsumsi segar maupun olahan serta belum ada penerapan teknologi pasca panen yang benar, dimulai dari tahap panen, distribusi dan pemasaran.
Ini terjadi kata dia, karena tidak ada pelatihan yang khusus untuk tenaga kerja buruh yang menangani komoditas hortikultura sejak panen sampai di tangan konsumen.
“Usaha-usaha penanganan pasca panen masih relatif rendah, baik yang dilakukan oleh petani ataupun dari pihak pemasar sendiri, dengan alasan belum terjaminnya stabilitas harga di daerah produksi,” terangnya.
Beberapa permasalahan pokok yang masih dijumpai di daerah basis produksi papar Yoyo antara lain masih kuatnya peran dan pengaruh tengkulak (para spekulan) sehingga sering memaksa produsen harus menjual hasilnya kepada pihak-pihak tertentu.
menarik dibaca : Sukses Kembangkan Sorgum di NTT, Maria Akui Jatuh Cinta pada Rasa Pertama
Direktur Wahana Tani Mandiri (WTM) Carolus Winfridus Keupung kepada Mongabay Indonesia, Rabu (20/5/2020) mengatakan ada dua misi yang harus diemban petani holtikultura.
Misi pertama sebut Wim sapaannya yakni ketahanan pangan dan misi kedua penyehatan masyarakat. Para petani juga ditantang untuk mengembangkan pertanian yang sehat dan itu hanya bisa didapat dengan mengembangkan pertanian berbasis organik.
“Untuk pertanian holtikultura, potensinya sangat besar dimana banyak masyarakat yang mengkonsumsi sayur yang juga didatangkan dari luar Kabupaten Sikka. Peluang pasar ini sangat terbuka karena dari sisi distribusi produk tidak terlalu rumit,” sebutnya.
Saat pandemi Corona tambah Wim, petani dituntut untuk lebih kreatif karena pasar desa banyak ditutup dan tidak ada penjual yang menyebarkan hasil mereka sehingga mereka harus menjual hasil panen mereka kepada konsumen.
Di satu sisi, masyarakat juga mulai mengandalkan sayuran yang juga ditanam di lokasi tempat tinggal seperti pepaya, singkong dan kelor tetapi masyarakat juga menginginkan sayuran yang lainnya
“Perlu memilih produk holtikultura lain yang bisa dikembangkan dan tidak terganggu pangsa pasarnya seperti bawang, jahe dan lainnya dengan melihat peluang pasar. Lakukan diversifikasi usaha bukan hanya sayuran tetapi tanaman lainnya,” harapnya.
Sedangkan Yoyo menyarankan mengefisiensikan biaya produksi dengan menggunakan benih unggul dan pestisida maupun pupuk organik dan hayati dari buatan sendiri dari bahan yang ada di sekitar.
Petani agar melakukan budidaya sayuran dengan sistem tumpang sari agar tidak bergantung pada satu komoditas saja. Selain itu, mengembangkan teknologi usaha tani yang sesuai dengan kondisi setempat seperti konservasi air dan pemanfaatan bahan organik.
“Akan semakin berarti apabila diintegrasikan dengan usaha tani ternak, karena dalam implementasinya konservasi lahan dan air akan terjamin keberlanjutannya jika diintegrasikan dengan ternak,” sarannya.
Dengan merekayasa model pengelolaan usaha tani lahan kering sesuai dengan kearifan lokal masyarakat kata Yoyo, diharapkan dapat menjadi model pengembangan lahan kering berkelanjutan yang berwawasan agribisnis.