- Yus Rusila Noor sudah dikenal luas dalam dunia pengamatan burung di Indonesia.
- Namanya juga tertera di halaman muka buku “Panduan Studi Burung Pantai” terbitan Wetlands International-Indonesia Programme, 2003.
- Sejak 1990-an hingga sekarang, Yus setia menjadi Koordinator Nasional Sensus Burung Air Asia atau Asian Waterbird Census.
- Bagi pengamat burung, Yus berpesan agar selalu menjaga etika saat pemantauan. Jangan memaksa burung untuk bertingkah di luar perilaku liarnya. Pantang mengusik burung bersarang, begitu pula mengganggu burung demi mendapatkan foto yang menarik.
Yus Rusila Noor adalah panutan bagi pengamat burung di Indonesia. Namanya tertera di halaman depan buku “Panduan Studi Burung Pantai” terbitan Wetlands International-Indonesia Programme, 2003.
31 tahun bekerja untuk Yayasan Lahan Basah [YLBA], sebelumnya bernama Wetlands International-Indonesia, tidak membuat Yus bosan. Banyak hal menarik yang ia rasakan setiap tahunnya.
Sejak 1989 hingga 2000-an, Yus kenyang menangani keanekaragaman hayati lahan basah, khususnya burung air. Selama itu, ia menjelajah Indonesia untuk mencari lokasi penting habitat burung air, baik migran maupun penetap. Di mancanegara, ia terlibat dalam inisiasi awal kemitraan perlindungan burung migran di jalur terbang Asia Timur – Australasia.
Tahun 2000 hingga 2010, Yus menjalankan program perlindungan gambut yang berkaitan dengan perubahan iklim dan peran penting masyarakat di Sumatra dan Kalimantan. Kini, Yus menjadi Head of Programme di lembaganya, guna memastikan lahan basah bermanfaat secara berkelanjutan di Indonesia.
Menariknya, sejak 1990-an hingga sekarang, Yus setia menjadi Koordinator Nasional Sensus Burung Air Asia atau Asian Waterbird Census. Pada 2017, ia mendapat award dari National Geographic Society Explorer untuk kegiatan citizen science terkait sensus burung air di Indonesia.
Berikut wawancara Mongabay Indonesia bersama Yus Rusila Noor, di Bogor, Jawa Barat, baru-baru ini.
Mongabay: Bagaimana Anda tertarik burung air?
Yus: Saya mulai menyukai dunia burung dan mengamatinya dengan teropong beserta panduan pada 1985, ketika kuliah di Jurusan Biologi Universitas Padjadjaran [Unpad]. Awalnya, saya diajak dosen mengamati burung air di Pantura, Jawa Barat bersama pengamat burung asal Belanda.
Pengalaman itu yang akhirnya memantapkan saya bersama teman-teman mendirikan Kelompok Minat Ornithologi di Himpunan Mahasiswa Biologi [HIMBIO] Unpad.
Tempaan intelektual, saya peroleh ketika bekerja di NIOZ Royal Netherlands Institute for Sea Research, dengan tim antar-negara melakukan penelitian burung migran.
Sampai tahun 2000, hidup saya, profesional maupun keseharian, hanya berkutat di lingkup burung, khususnya burung air. Tahun 1999, saya mendapat penghargaan sebagai peneliti muda dari badan dunia PBB untuk Pendidikan dan Kebudayaan [UNESCO] dan LIPI.
Mongabay: Apakah Anda memiliki mentor?
Yus: Dunia perburungan bagi saya, dibuka pertama kali oleh Prof. Johan Iskandar -saat ini pengajar di Jurusan Anthropologi dan Jurusan Biologi Unpad, tempat saya belajar dulu.
Beliau mengajari saya tidak hanya identifikasi burung, tetapi juga etika. Beliau juga yang membimbing skripsi saya tentang burung air.
Dalam hal laporan burung air, saya belajar dari Pak Marcel Silvius, di Asian Wetlands Bureau. Dalam penelitian sains dan jurnal ilmiah, saya berguru kepada Prof. Theunis Piersma, ketika saya berada di di NIOZ Royal Netherlands Institute for Sea Research dan Universitas Groningen, selama 4 tahun.
Baca: Kesetiaan Johan Iskandar pada Burung-burung Citarum
Mongabay: Apa yang paling membanggakan dari pekerjaan Anda?
Yus: Dapat membuktikan kepada orangtua bahwa pilihan bekerja di dunia perburungan tidak keliru. Dari sisi profesional, saya bangga karena bekerja pada persoalan yang waktu itu belum banyak digeluti, serta mengunjungi lokasi yang tidak banyak didatangi orang.
Hasil survei yang saya lakukan juga bisa dijadikan rujukan untuk penunjukan kawasan lindung baru atau pengelolaan kawasan lindung yang telah ada. Paling menyenangkan adalah pekerjaan kami bersama masyarakat membantu pengembangan mata pencaharian mereka.
Mongabay: Apa burung favorit Anda?
Yus: Setiap jenis burung memiliki keunikan sendiri yang tidak bisa dibandingkan. Saya suka Wilwo atau Milky Stork alias Mycteria cinerea. Burung ini jenis bangau-bangauan berukuran besar, warna putih, dan sayap hitam.
Cara terbangnya elegan, menurut saya, apalagi ketiga melayang tanpa mengepakkan sayap. Populasinya tidak lebih dari 1.500 individu, sehingga statusnya Endangered yang sebagian besar hidup di Indonesia.
Populasi terbesar yang pernah saya amati ada di pantai timur Sumatera, khususnya di Taman Nasional Sembilang. Saya beruntung pernah memberikan cincin pada anakannya, tetapi tidak dilanjutkan karena respon negatif dari induknya.
Baca: Burung Air, Kenapa Harus Disensus?
Mongabay: Lokasi yang Anda rekomendasikan untuk pengamatan?
Yus: Untuk burung air, bisa di pesisir atau lahan basah. Dalam banyak hal, mengamati burung air butuh usaha lebih, lokasinya jauh dari tempat tinggal kita.
Pantai timur Sumatera, Pantai utara Jawa, sekitar Benoa Bali, pantai di Teluk Kupang dan Pulau Sumba pernah saya amati. Sulawesi bagian Selatan dan Gorontalo juga ada jenis-jenis burung residen. Di Papua, Taman Nasional Wasur bisa untuk pengamatan. Untuk pengamatan di kawasan lindung, kita harus ikut aturan, berkomunikasi dengan petugas setempat.
Pertukaran informasi di grup komunitas akan sangat membantu. Sekarang juga ada publikasi yang bisa mengarahkan tempat pengamatan burung air.
Mongabay: Anda juga berkutat dengan burung migran. Bisa diceritakan?
Yus: Burung bermigrasi untuk kelangsungan hidupnya, dengan pindah dari lokasi asal ke tujuan, kemudian kembali lagi ke asal. Tentunya pada waktu tertentu, yang biasanya teratur. Lokasi asal adalah tempat berbiak sementara lokasi tujuan tempat mencari makan.
Untuk jenis burung air, secara umum lokasi berbiaknya di padang tundra, Siberia. Ketika musim dingin tiba dan tempat berbiaknya diliputi salju, kendali internal tubuhnya memerintahkan untuk migrasi ke wilayah-wilayah yang lebih hangat di selatan.
Lahan basah di Indonesia salah satu pilihan untuk singgah dan mengisi energi, sebelum melanjutkan perjalanan. Kenapa? Karena kawasan ini jaraknya memadai, juga menyediakan kebutuhan pakan.
Lahan basah menyediakan berbagai jenis [mikro] organisme sebagai makanan serta habitat untuk istirahat. Mereka singgah teratur waktunya di suatu lokasi, dapat dikenali dari studi penandaan [cincin, bendera] yang dilakukan di berbagai negara. Pengamatan terbaru menggunakan satelit bahkan dapat memetakan lebih tepat bagaimana jalur migrasi dan dimana mereka berhenti.
Kerja sama negara-negara sangat menentukan keberlangsungan hidup burung bermigrasi.
Baca: Andai Burung Air Hilang, Apa yang Terjadi pada Lingkungan?
Mongabay: Apa manfaat migrasi burung untuk alam dan manusia?
Yus: Dapat digunakan sebagai indikator kesehatan wilayah lahan basah. Adanya proses dalam jejaring makanan yang melibatkan burung migran mengindikasikan terjaganya piramida makanan di lokasi yang disinggahi.
Burung air migran, terutama dari ordo Charadriiformes, memakan organisme yang hidup di lahan basah, khususnya hamparan lumpur pesisir. Dengan demikian terjadi daur makanan yang membantu proses ekologis di lokasi tersebut.
Mongabay: Di Indonesia, masih ada orang yang memburu burung migran. Pendapat Anda?
Yus: Ini adalah fenomena lama yang terjadi tidak hanya di Indonesia.
Banyak publikasi yang menjelaskan, salah satunya hasil studi yang dimuat di The Guardian edisi 22 Mei 2020 judulnya “Endangered shorebirds unsustainably hunted during migrations, records show.”
Dalam tulisan itu dijelaskan, belasan ribu ekor burung migran diburu hanya di tiga negara Asia, padahal banyak di tempat lain. Sekitar 61 spesies burung terancam perburuan. Namun, tidak semua ilegal, karena ada perburuan berizin, seperti di Alaska.
Di Indonesia, perburuan umumnya untuk keperluan sendiri atau dijual sebagai daging goreng. Di beberapa daerah, perburuan dilakukan melalui struktur pemburu-pengumpul-pemilik modal yang berlangsung lama.
Bagaimana menguranginya? Penyuluhan penting, tapi akan lebih efektif jika dibarengi penyedian mata pencaharian alternatif. Sifatnya untuk jangka panjang sehingga berkelanjutan. Jika tidak, berburu burung akan lebih diminati karena bisa dilakukan dengan modal tidak terlalu besar.
Penegakan hukum adalah hal lain yang perlu dilakukan, karena ada juga jenis burung migran dilindungi di Indonesia.
Baca juga: Opini: Lahan Basah untuk Masa Depan Kita
Mongabay: Bagaimana citizen science mendukung perlindungan burung bermigrasi?
Yus: Tulisan “Endangered shorebirds unsustainably hunted during migrations, records show” dalam The Guardian edisi 22 Mei 2020 menyebutkan, salah satu tantangan yang dihadapi adalah ketidakterhubungan dan ketidaksinambungan kegiatan pemantauan. Kelompok tertentu melakukan pemantauan tanpa adanya keterhubungan dengan kelompok lain yang melakukan hal serupa.
Padahal salah satu perangkat penting untuk melakukan pengelolaan satwa liar adalah data memadai untuk pengelolaan populasi, termasuk burung air.
Hal ini mulai dilakukan di Indonesia dalam Sensus Burung Air Asia [Asian Waterbird Census] yang serentak pada minggu ke-2 Januari. Relawan diajak mengamati burung, mencatat dalam formulir, kemudian mengumpulkannya melalui koordinator Sensus Burung Air Asia.
Kegiatan yang dikelola KLHK bersama LSM yang tergabung dalam Kemitraan Nasional Burung Bermigrasi dan Habitatnya [KNBBH] mampu menggalang lebih 300 pengamat burung. Dengan demikian, sains dan pengelolaan dapat diakses semua kalangan.
Mongabay: Pesan Anda untuk mereka yang tertarik mengamati burung?
Yus: Jaga etika saat mengamati burung. Jangan memaksa burung untuk bertingkah di luar perilaku liarnya. Pantang mengusik burung bersarang, begitu pula mengganggu burung demi mendapatkan foto yang menarik.
Catat pengamatan dengan rinci dan lengkap, lalu buat laporan. Bagikan hasil pengamatan itu dengan pengamat lain dalam media yang mudah diakses, tujuannya saling menginformasikan.
Tidak ada yang instan, semua harus dijalani sungguh-sungguh. Saat ini fasilitas pengamatan dan penulisan semakin memudahkan, tetapi juga menuntut kesungguhan kita untuk menghasilkan karya.
Kalau boleh mengutip kata-kata Iwan Abdurrahman, sesepuh Wanadri yang banyak menciptakan lagu-lagu Bimbo, begini seharusnya kita, “Dalam kondisi sekarang menghasilkan sesuatu yang biasa-biasa saja adalah pengkhianatan terhadap amanah”.