- Sejak 1986, kala Slaman masih duduk di bangku SMP, bersama sang ayah, menanam beragam mangrove dan merawat lahan gersang hingga jadi hutan. Kini, kawasan ini sudah menjadi ekowisata.
- Awal mula Slaman dan ayahnya tergerak menanam mangrove karena khawatir melihat abrasi mengancam kampung mereka. Kala laut pasang, air kadang masuk rumah warga. Mulailah ayah dan anak ini menanam lahan-lahan pesisir dengan mangrove. Kini, hutan mangrove melindungi kampung mereka dari abrasi dan air pasang laut.
- Slaman membentuk Kelompok Sabuk Hijau, yang terdiri dari para perempuan atau ibu-ibu di Lembung. Tak hanya menanam dan merawat, mereka juga memanfaatkan mangrove dengan tak merusak. Mereka bikin beragam produk mangrove, dari kopi mangrove, krupuk, sirup dan lain-lain.
- Upaya Slaman dan Sabuk Hijau, bukan tanpa tantangan. Masih ada pihak-pihak yang tak senang dengan aksi mereka. Pernah, pos jaga mereka dibakar, dan tanaman mangrove pun dirusak. Mereka tak surut, malah makin menguatkan langkah untuk terus menanam dan merawat mangrove.
Matahari begitu terik menyengat, siang itu. Jalan setapak membelah tambak garam milik warga. Bagian lain, hutan mangrove hijau membentang sekitar 400 meter di sepanjang bibir pantai timur Desa Lembung, Kecamatan Galis, Pamekasan, Madura, Jawa Timur.
Seorang lelaki berkacamata hitam pekat, topi hitam, kaos lengan pendek hitam tampak keluar dari kerimbunan mangrove. Jaket hitam di pundak. Jalan tanpa alas kaki. Dialah Slaman, pria yang berpuluh tahun merawat hutan mangrove Lembung. Kawasan ini kini sudah menjadi ekowisata.
Bersama sang ayah, Slaman menanam dan merawat beragam jenis mangrove ini sejak 1986. Kala itu, dia masih kelas tiga SMP.
“Saya mulai merawat mangrove ini saat SMP kelas tiga. Waktu itu ‘86. Awalnya saya ikut bapak. Sepulang sekolah ikut beliau menanam bibit.,” katanya, kepada Mongabay.
Kala itu, katanya, tak banyak mangrove di sana. Dulu, mereka sering gagal menumbuhkan mangrove karena tahap belajar. Ayah, anak ini tak menyerah. Lambat laun, mereka sukses mulai pembibitan hingga perawatan.
Slaman pun tahu kapan waktu banyak bibit dan musim baik untuk menanam. Dia bilang, saat tepat buat menanam itu Agustus sampai Desember karena banyak bibit siap tanam.
Dia sempat mengalami masa sulit menanam dan menjaga mangrove kala sang ayah meninggal dunia pada 1999.
Slaman merasa berat kalau sendirian. Pada 2000, Slaman membentuk Kelompok Sabuk Hijau dengan anggota para perempuan atau ibu-ibu.
Pelan-pelan, luas hutan mangrove bertambah. Dari tandus, bertambah 19 hektar, kini hutan mangrove sudah 46 hektar.
Bersama sang ayah, Slaman sudah tanam mangrove sejak 1986. Foto: Gafur Abdullah/ Mongabay Indonesia
Hutan mangrove penghadang abrasi
Pada 1986, sebelum tanam mangrove, air laut masuk sampai ke permukiman warga sekitar pantai. Kondisi inilah yang membuat ayah dan anak ini prihatin. Mereka merasa bertanggungjawab menjaga lingkungan dari kerusakan alam. Mulailah mereka menanam mangrove.
“Miris lihat kondisi tahun ‘86. Air laut saat pasang masuk ke dapur dan rumah warga. Banyak tambak jebol.”
Mereka khawatir, kalau terus menerus begitu, lahan di Lembung bisa hilang dan warga tidak bisa bertahan. Setelah ada hutan mangrove, warga bisa merasakan bersama. Ancaman abrasi berkurang. Mereka pun bisa tetap tinggal di lahan itu hingga sekarang.
Baginya, menjaga hutan atau alam merupakan tanggung jawab bersama, buka hanya pemerintah. Kalau menunggu pemerintah untuk konservasi, katanya, sama saja membiarkan kerusakan makin memburuk.
Produk mangrove
Beragam manfaat dengan ada hutan mangrove selain menjaga kawasan dari abrasi dan ‘rumah’ bagi biota laut, pohon-pohon ini mereka jadikan beragam produk. Awal mula, mereka coba bikin kopi.
“Tahun 2012, kami membuat kopi mangrove. Dengan eksperimen memanggil lima orang tetangga untuk minum kopi itu, macam-macam efek dirasakan. Itu sesuai penuturan mereka. Ada yang gak bisa tidur semalam, ada yang pegal di bagian paha. Bahkan ada yang mengaku kejantanan makin kuat. Itu percobaan pertama.” Setelah itu, mereka coba dan coba, akhirnya, jadilah kopi mangrove dengan nama Kopi Malam Ju’mat.
Eksprimen Slaman bersama Sabuk Hijau tak sia-sia. Kopi Malam Jum’at dari olahan buah mangrove pun menerima penghargaan dari pemerintah kabupaten bahkan tingkat nasional.
Pada 2013, Slaman mewakili kelompoknya mengikuti lomba tema pemberdayaan sumber daya alam gelaran Kementerian Kelautan dan Perikanan di Jakarta. Mereka mendapatkan juara pertama tingkat nasional kategori Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Kepercayaan juga mereka dapatkan dari Perhutani KPH Madura.
Ekowisata Mangrove Lembung, besutan Slaman. Foto: Gafur Abdullah/ Mongabay Indonesia
Para perempuan atau ibu-ibu dalam kelompok di Desa Lembung ini begitu berperan besar dalam kesuksesan produk mangrove ini.
Awalnya, para ibu ini terlibat dalam peduli pesisir dengan menanam mangrove., kemudian membuat produk dari tanaman ini. Tim penilai dari KPH Madura, bahkan datang langsung ke hutan mangrove Lembung.
Tak hanya kopi mangrove, mereka juga uji coba sirup, eskrim, jajanan sekolahan berupa kerupuk dari mangrove. Bahkan, akar mangrove pun jadi pewarna alami pada batik. Mangrove-mangrove ini tetap dimanfaatkan tanpa mengganggu kehidupannya.
Ada beberapa jenis mangrove ditanam di hutan mangrove ini, antara lain, Rhizhopora apiculata, Avicennia lanata, Sonneratia alba. Berbagai jenis mangrove itu, katanya, memiliki fungsi dan buah pun berbeda kegunaan.
“Sekarang pesanan kopi dari berbagai daerah.”
Upaya mereka menjaga dan merawat mangrove bukan tanpa rintangan. Ada yang merasa terganggu dengan aksi Slaman dan kelompoknya sampai terjadi pembakaran pos istirahat kelompok dan pepohonan mangrove.
Slaman bilang, ada orang-orang yang merusak mangrove antara lain, buat parkir perahu atau tebas akar untuk cari kerang. Kelompok Sabuk Hijau pun menegur mereka.
Bukan hanya posko dibakar, peralatan seperti linggis dibuang dan tali dibakar. Pepohonan mangrove pun dirusak.
“Tanaman dirusak itu sudah biasa terjadi. Dirusak, kami tanami lagi.”
Guna memperketat pengawasan, mereka membentuk kelompok pengawas (pokwas) untuk ronda keliling mengawasi penambangan pasir liar. Kelompok pengawas ini bertugas mengontrol penambang pasir liar dan tidak bertanggung jawab. Juga mengawasi agar pagan–bambu rakit berbentuk gubuk ukuran 6 x 7- 7×10 meter– agar perahu parkir di sekitar mangrove.
Pada 2019, hutan mangrove ini mulai jadi Ekowisata Lembung. Mereka juga bentuk Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis). Ide itu, katanya, sebagai langkah untuk mengajak pemuda dan dewasa untuk konservasi berbasis wisata.
Mereka mengajukan obyek wisata itu ke Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud). Ekowisata itu juga di bawah pembinaan Dinas Perhutani.
Slaman berharap, langkah mereka mendapat dukungan dari berbagai pihak, baik masyarakat, pemerintah maupun media dan pihak lain. “Menjaga alam ini perlu. Kalau alam rusak, berimbas pada kehidupan kita.”
Data Dinas Kehutanan dan Perkebunan Pamekasan, luas hutan mangrove 1.174 hektar, dengan rincian 714.53 hektar kondisi baik, 42 hektar 418 hektar rusak.
Endang Tri Wahyurini, dosen Fakultas Pertanian Prodi Agrobisnis Perikanan Universitas Islam Madura, pernah penelitian tentang mangrove di Lembung untuk disertasi.
“Kondisi hutan mangrove di Madura memperihatinkan. Di Lembung, hutan mangrove yang dirawat Pak Slaman itu perlu didukung. Bahkan, saya tulis tentang mangrove di Madura ini, ya termasuk di Lembung dalam desertasi saya,” katanya.
Menurut dia, aksi Slaman merupakan upaya penyelamatan alam pesisir dari kerusakan. Ia mesti jadi contoh buat penyelamatan mangrove di berbagai daerah.
Endang juga membentuk Kelompok Peduli Mangrove Madura sebagai upaya untuk bersama mengembalikan kelestarian mangrove. “Kerjasama itu akan dijalin dengan lembaga-lembaga terkait baik pemerintahan daerah maupun desa.”
Hutan mangrove nan rimbun di Lembung, jadi ekowisata. Foto: Gafur Abdullah/ Mongabay Indonesia
Pintu masuk Ekowisata Mangrove Lembung. Foto: Gafur Abdullah/ Mongabay Indonesia