- Merujuk penelitian di Amerika, setiap mahasiswa rata-rata menghasilkan 640 pound atau 290,56 kg sampah padat tiap tahun, termasuk 500 botol minuman bekas, 320 pound atau 145,28 kg sampah kertas. Belum diperoleh data berapa besaran sampah, terutama plastik, dari kampus di Indonesia, kemungkinan cukup besar. Menurut peneliti Jenna Jambeck dari Universitas Georgia, Amerika Serikat, Indonesia penghasil sampah plastik ke laut kedua terbesar dunia. Tiongkok berada di urutan pertama dan Filipina ketiga.
- Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek dan Dikti) Mohamad Nasir pada 25 Juni tahun lalu menandatangani instruksi Menristekdikti Nomor 1/M/INS/2019 berisi larangan penggunaan air minum berbahan plastik sekali pakai atau kantong plastik di lingkungan Kemenristek dan Dikti. Instruksi ini juga berlaku untuk lingkungan perguruan tinggi.
- Syaharani, Koordinator Sosial Politik BEM Fakultas Hukum Universitas Indonesia 2020, sekaligus penyusun kajian sampah plastik mengatakan, perlu peta jalan (roadmap) untuk mencapai bebas plastik di kampus tertakar dan terencana. Beberapa fase atau tahapan itu bisa mulai dengan pengurangan sedotan plastik lebih dulu. Berikutnya, pelarangan kemasan dan gelas plastik. Lalu, sama sekali tak gunakan plastik, baik dalam kegiatan resmi akademis maupun kemahasiswaan.
- Beberapa organisasi mahasiswa juga menginisiasi gerakan mengurangi penggunaan plastik sekali pakai. Di Universitas Airlangga, Surabaya, BEM Fakultas Ekonomi dan Bisnis memperkenalkan program kerja Ijo Royo-royo. Aksi mereka antara lain menyediakan “Galon Rakyat.” galon berisi air minum isi ulang. Mahasiswa yang perlu air minum cukup mengisikan ke tumbler. Dengan begitu, menekan penggunaan plastik sekali pakai dari kemasan air mineral.
Kampus jadi salah satu penyumbang sampah plastik. Merujuk penelitian di Amerika beberapa waktu lalu, setiap mahasiswa rata-rata menghasilkan 640 pound atau 290,56 kg sampah padat tiap tahun, termasuk 500 botol minuman bekas, 320 pound atau 145,28 kg sampah kertas.
Dalam kegiatan bertajuk kompetisi RecycleMania 2020, ada 300 kampus di Amerika dan Kanada mengikuti perlombaan mendaur ulang, mendonasikan, dan mengolah sampah. Hasilnya, ada 48,6 juta pound atau 22.064.400 kg sampah mereka olah kembali, dan berhasil mengurangi penggunaan lebih 380 juta botol plastik. Hanya dalam lima minggu, dari 2 Februari-7 Maret.
Belum diperoleh data berapa besaran sampah, terutama plastik, dari kampus di Indonesia, kemungkinan cukup besar. Indonesia, menurut peneliti Jenna Jambeck dari Universitas Georgia, Amerika Serikat, penghasil sampah plastik ke laut kedua terbesar dunia. Tiongkok berada di urutan pertama dan Filipina ketiga.
Jumlah besar sampah plastik dari kampus yang mengancam lingkungan mengundang keprihatinan beberapa mahasiswa untuk memulai gerakan bebas plastik di kampus. Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum (FH) Universitas Indonesia (UI), beberapa waktu lalu merilis kajian menyambut Hari Tanpa Kantong Plastik Sedunia (International Plastic Bag Free Day) pada 3 Juli.
Dalam kajian itu dipaparkan soal hak atas lingkungan hidup, kerangka regulasi sampah plastik, permasalahan sampah, alternatif pendekatan pengelolaan sampah. Juga rekomendasi kebijakan mengurangi plastik di tingkat nasional dan Universitas Indonesia.
“Kita mendorong pengurangan penggunaan plastik tidak hanya di lingkungan domestik, atau di ritel-ritel. Juga institusi pendidikan, sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Untuk mulai menerapkan kebijakan pengurangan penggunaan plastik sekali pakai,” kata Syaharani, dalam Bincang Alam, yang diadakan Mongabay. 12 Juli lalu.
Syaharani adalah Koordinator Bidang Sosial Politik BEM Fakultas Hukum Universitas Indonesia 2020, sekaligus penyusun kajian berjudul Malapetaka Lingkungan Hidup: Menilik Permasalahan Plastik Sekali Pakai.
Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek dan Dikti) Mohamad Nasir pada 25 Juni tahun lalu menandatangani instruksi Menristekdikti Nomor 1/M/INS/2019 berisi larangan penggunaan air minum berbahan plastik sekali pakai atau kantong plastik di lingkungan Kemenristek dan Dikti. Instruksi ini juga berlaku untuk lingkungan perguruan tinggi.
Dari penelusuran, beberapa kampus di Indonesia tercatat sudah mengadobsi larangan penggunaan plastik sekali pakai, baik dari pihak rektorat atau dekanat. Misal, Universitas Lampung lewat instruksi rektor bernomor 5007/UN26/RT/2019, meminta jajaran membatasi penggunaan plastik sekali pakai. Universitas Brawijaya lewat instruksi rektor Nomor 1088/2020.
Beberapa organisasi mahasiswa juga menginisiasi gerakan mengurangi penggunaan plastik sekali pakai. Di Universitas Airlangga, Surabaya, BEM Fakultas Ekonomi dan Bisnis memperkenalkan program kerja Ijo Royo-royo. Aksi mereka antara lain menyediakan “Galon Rakyat.” galon berisi air minum isi ulang. Mahasiswa yang perlu air minum cukup mengisikan ke tumbler. Dengan begitu, menekan penggunaan plastik sekali pakai dari kemasan air mineral.
Untuk memanfaatkan limbah plastik, mahasiswa UGM menciptakan alat yang mampu mengubah sampah plastik jadi bahan bakar. Yanditya Affan dan Refandy Dwi Darmawan, mengembangkan alat pirolisis, memanaskan plastik tanpa oksigen dalam suhu tertentu. Hasilnya, tetesan-tetesan minyak buat buat bahan bakar.
Pada 2010, Universitas Indonesia mendirikan UI GreenMetric, sebuah upaya pemeringkatan atas komitmen dan tindakan universitas terhadap penghijauan dan lingkungan berkelanjutan. Pada 2018, ada 719 universitas ikut serta, dari 81 negara. Sedikitnya, ada 30 indikator menilai seberapa hijau sebuah kampus.
Dalam pemeringkatan 2019 yang dirilis Desember lalu, lima besar kampus hijau di Indonesia, Universitas Indonesia menempati urutan pertama, disusul Institut Pertanian Bogor, Universitas Gajah Mada, Universitas Diponegoro, dan Institut Teknologi Sepuluh November.
Untuk dunia, urutan pertama adalah Wageningen University and Research (Belanda), disusul University of Oxford (Inggris), University California Davis (Amerika Serikat), University of Nottingham (Inggris), dan Nottingham Trent Univeristy (Inggris).
Sumber malapetaka
Syaharani mengatakan, alasan mengapa harus meninggalkan plastik sekali pakai, tak hanya susah terurai juga bahan pencemar.
“Plastik mempunyai rangkaian karbon sangat panjang hingga sangat sulit terurai. Kalau kita nyampah plastik hari ini, walau sudah ganti generasi, sudah punya anak dan cucu, sampah itu bisa saja tetap dalam bentuk sama. Masih jadi sampah yang sama seperti ketika buang hari ini,” katanya.
Mulai dari proses pembuatan sampai usai dipakai, dalam setiap proses plastik selalu menyebabkan pencemaran atau polusi lingkungan. Apalagi plastik dibuat dari bahan bakar fosil.
“Makin sering menggunakan plastik, kita juga berkontribusi terhadap perubahan iklim.”
Kalaupun terurai, plastik akan jadi lebih kecil atau mikroplastik. Di lautan, mikroplastik bisa dimakan ikan atau burung. Mikroplastik berpotensi jadi racun, dan bisa tertinggal di manusia karena ada di rantai makanan tertinggi.
“Daur ulang juga bisa melalui insinerasi, tapi itu sebenarnya merusak karena menghasilkan polusi. Juga menghasilkan abu yang merupakan bahan B3. Beracun dan berbahaya kalau dihirup manusia.” Pembakaran sampah, katanya, juga merilis karbon, dan ikut menghasilkan emisi yang mempercepat perubahan iklim.
Plastik di kampus, katanya, biasa untuk berbagai keperluan, mulai dari bahan pembuatan banner kegiatan, botol atau kemasan minuman berikut sedotan, juga tempat snack. Saat mahasiswa membeli sesuatu di kantin masih sering wadah kantong plastik.
Normatif
Universitas Indonesia, katanya, sudah memberlakukan aturan pengurangan plastik sekali pakai dan kertas lewat surat keputusan rektor UI Nomor 1308 pada 2011 soal kebijakan mengurangi penggunaan kertas dan plastik di lampus.
“Cuma kenyataan masih di dalam tataran normatif. Belum ada implementasi bagaimana UI akan mengurangi penggunaan plastik di kampus. SK ini sendiri belum banyak diterapkan di fakultas dan sekolah vokasi. Masih sedikit banget.”
Pengamatan dia, baru dua fakultas yaitu FEB dan Farmasi yang mengimplementasikan aturan itu. Meski ada larangan penggunaan plastik di FEB UI, namun dalam pengamatan Syaharani, pengunaan plastik masih ada di kampus.
“Mereka memang melarang penggunaan plastik. Dalam praktiknya masih ada seperti sedotan plastik, karena masih disediakan pedagang. Mahasiswa juga masih belum ada awareness mengurangi penggunaan plastik sekali pakai.”
Bersama Tim Kajian BEM FH UI, Syaharani pun menawarkan sejumlah rekomendasi baik kepada pemangku kepentingan maupun mahasiswa.
Rekomendasi itu antara lain, perlu kejelasan mekanisme dan pengawasan terkait pelarangan plastik sekali pakai, termasuk kepada vendor dan ventura.
Peta jalan
Mengenai implementasi minim pengurangan plastik sekali pakai, Syaharani dan tim menilai, perlu ada unit pengawas. Tim juga mendorong universitas memberikan insentif bagi vendor dan ventura yang bekerja sama dengan universitas untuk tak gunakan plastik sekali pakai.
“Insentif ini bisa diberikan universitas. Tujuannya, mengubah perilaku. Baik mahasiswa, vendor, atau masyarakat di dalam universitas.”
Membangun sistem itu, menurut Syaharani, bisa memperbaiki sistem pemilahan dan pengelolaan sampah. Ini terkait pula edukasi bagaimana menyikapi sampah plastik sekali pakai ini.
“Di UI sebenarnya hampir di semua fakultas sudah ada tempat sampahnya. Cuma sistem pengelolaan sampah di fakultas maupun universitas masih jauh dari kata baik.”
Untuk itu, katanya, perlu peta jalan (roadmap) untuk mencapai bebas plastik di kampus tertakar dan terencana. Beberapa fase atau tahapan itu bisa mulai dengan pengurangan sedotan plastik lebih dulu. Berikutnya, pelarangan kemasan dan gelas plastik. Lalu, sama sekali tak gunakan plastik, baik dalam kegiatan resmi akademis maupun kemahasiswaan.
Perbaikan sistem dalam manajemen sampah, dinilai akan mendorong kebiasaan untuk tak gunakan plastik dalam kegiatan kampus. Termasuk perbaikan pengelolaan sampah, pemilahan, pengumpulan, dan edukasi daur ulang sampah.
“Daur ulang plastik nggak akan efektif kalau suplai atau penggunaan plastik masih terus meningkat. Setelah punya sistem daur ulang efektif, jumlah plastik yang ditangani sebisa mungkin tetap.”
Keterangan foto utama: Indonesia. salah satu negara penyumbang sampah plastik ke laut. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia