Pemerintah ingin merampingkan lembaga negara demi penghematan anggaran jadi wacana publik. Pembubaran lembaga negara yang dibentuk berdasarkan peraturan pemerintah (PP) dan peraturan presiden (Perpres) memantik diskusi menarik di tengah masyarakat.
Presiden Joko Widodo beberapa kali membubarkan juga membentuk lembaga negara. Pembubaran, antara lain, Dewan Penerbangan Antariksa Nasional; Lembaga Koordinasi, Pengendalian dan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat dan Dewan Buku Nasional dan Komisi Hukum Nasional (2014).
Baca juga: Kesiapsiagaan Masyarakat Rendah Hadapi Karhutla
Pada 2015, Badan Pengelolaan Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dari Deforestrasi, Degradasi Hutan dan Lahan Gambut, Dewan Nasional Perubahan Iklim, lebur ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Kemudian 2016, antara lain, membubarkan Badan Benih Nasional dan Dewan Kelautan Indonesia. Namun kemudian membentuk Badan Restorasi Gambut. Tahun 2017, presiden membubarkan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo.
Pembubaran lembaga pada masa Jokowi-Ma’ruf ada 18 lembaga dengan Perpres No. 82/2020.
Kemudian, muncul sorotan terhadap Badan Restorasi Gambut (BRG) yang dibentuk lewat Peraturan Presiden No. 1/2016 menarik perhatian berbagai kalangan.
Baca juga: Jatuh Bangun Selamatkan Gambut Jambi
Sorotan muncul karena melihat pemulihan gambut kurang maksimal dan masih terjadi kebakaran. Data KLHK 2019, karhutla lebih 1,6 juta hektar, di lahan gambut lebih 400 ribuan hektar, sisanya, tanah mineral.
Berbagai wacana untuk menjawab kelembagaan yang bertanggungjawab dalam pemulihan gambut jadi perhatian publik.
Ada wacana BRG lebur dalam Direktorat Pengendalian Kerusakan Gambut Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), atau di bawah koordinasi BNPB maupun badan khusus bertugas memulihkan gambut.
Kalau melihat regulasi seperti UU No. 32/2009, PP No. 71/2014 junto PP No. 57/2016, lembaga yang mendapatkan mandat jadi “pemaksa” perintah pemulihan gambut adalah “Kementerian Lingkungan Hidup.”
Politik hukum memandatkan pada KLHK. Mandat ini dapat dilihat Permen LHK No P.18/MENLHK-II/2015 soal Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK No. 18/2015). Permen ini menghapuskan Permenhut No 33/2012 dan Permen LH No 18/2012.
Untuk mengatur teknis pengaturan gambut dalam Pasal 642 Permen LHK No 18/2015, dikenal Direktur Pengendalian Kerusakan Gambut. Direktur ini di bawah Ditjen PPKL.
Melihat kebakaran masif 2015, Presiden Jokowi membentuk badan yang melaksanakan kegiatan restorasi gambut. Badan ini diharapkan dapat melakukan tugas percepatan pemulihan kawasan dan pengembalian fungsi hidrologi gambut karena kebakaran yang khusus, sistematis, terarah, terpadu dan menyeluruh.
Pertimbangan presiden membentuk badan pemulihan gambut dikenal sebagai politik hukum. Sebuah konsepsi yang melekat dalam kewenangan Jokowi sebagai presiden.
Politik hukum kemudian berwujud Badan Restorasi Gambut berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 1/2016 (Perpres No. 1/2016).
Melihat kepentingan politik hukum, jadi tidak relevan BRG di bawah Direktur Gambut Dirjen PPKL Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Kemudian wacana menghendaki BRG di bawah BNPB menimbulkan problema regulasi. Sebagaimana regulasi UU No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, definisi bencana ada dua: bencana alam dan bencana non alam.
Bencana alam disebutkan sebagai peristiwa atau serangkaian peristiwa oleh alam seperti gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan dan tanah longsor. Sedangkan bencana non alam dampak gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemik dan wabah penyakit.
Jadi, menempatkan “kebakaran” yang jadi wewenang BNPB akan mengamandemenkan UU No. 24/2007.
Menempatkan “kebakaran” sebagai bencana menimbulkan akibat hukum. UU No. 32/2009, UU No. 41/1999, UU No. 39/2014 junto UU No. 18/2004, PP No 4/2001 dan PP No. 45/2004, jelas-jelas menyatakan, kebakaran bukanlah “bencana’.
Berbagai regulasi kemudian tegas mencantumkan kalimat “setiap pemilik izin bertanggungjawab terhadap areal di dalam izinnya”.
Selain itu meletakkan “bencana” oleh negara, mempunyai konsekuensi hukum terhadap pemegang izin. Bencana adalah satu faktor sebagai force majeure.
Secara hukum, perusahaan bisa lepas tanggungjawab dari kebakaran. Di dalam tanggungjawab perdata, bencana alam salah satu yang menyebabkan perusahaan lepas dari tanggungjawab (defende).
Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUHPer menyebutkan force majeure sebagai salah satu faktor “melepaskan” kewajiban dan tanggungjawab untuk melaksanakan kewajibannya.
Dalam lapangan hukum pidana, force majeure dipadankan dengan overmach”. Overmacht jadi dasar menyatakan alasan pembenar (rechtsvaardigingsgronden) sebagai sifat untuk menghapuskan pertanggungjawaban pidana.
Dengan demikian, menempatkan kebakaran sebagai “bencana” mengakibatkan force majeure (hukum perdata) atau overmacht (hukum pidana) mempunyai akibat hukum yang justru memberikan dan “membebaskan” tanggungjawab dan kewajiban pemegang izin untuk pemulihan gambut.
Dengan demikian, menempatkan “kebakaran” dan perintah pemulihan gambut dipadankan dengan UU No. 24/2007 akan menimbulkan benturan norma hukum. Selain juga “dapat menghapuskan pertanggungjawaban pemegang izin” untuk pemulihan gambut.
Bagaimana dengan semangat politik hukum pembentukan BRG?
Secara sekilas, kebakaran di areal gambut jadi beban BRG. Apabila ditelisik lebih jauh, justru menimbulkan implementasi dari regulasi yang mengatur.
Apabila diperhatikan data-data sampai 2019, BRG telah memfasilitasi dan mengoordinasikan pembasahan gambut seluas 780.000-an hektar (88 %) dari total restorasi gambut seluas 892.248 hektar di luar konsesi.
Sedangkan supervisi terhadap perusahaan perkebunan yang diperintahkan memulihkan gambut, BRG melakukan bersama Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian mulai September 2018 hingga Juni 2020. Bahkan, terlibat dalam restorasi 109 perusahaan seluas 442.000 hektar (79,6 %) dari total perkebunan dalam target restorasi gambut. Capain ini tak boleh dinafikan.
Berdasarkan Pasal 2 dan Pasal 3 Perpres No 1/2016, wewenang diberikan kepada BRG, adalah koordinasi terhadap restorasi gambut dan pelaksanaan supervisi dalam konstruksi, operasi dan pemeliharaan infrastruktur di lahan konsesi. Makna Pasal 3 huruf h Perpres No. 1/2016 diterjemahkan dalam Pasal 10 huruf c Perpres No. 1/2016.
Secara tersirat, Pasal 3 huruf h dan Pasal 10 huruf c Perpres No. 1/2016 adalah tetap memberikan tanggungjawab kepada pemegang izin untuk pemulihan. Apabila, pemegang izin “membandel” tidak mau restorasi gambut dan terbakar, dapat “melakukan pemulihan gambut kepada pihak ketiga” dengan pembiayaan kepada pemegang izin (Pasal 31 A PP No 57/2016).
Jadi jelas, negara tidak dibenarkan untuk pemulihan di lahan konsesi. Tanggungjawab terhadap pemulihan gambut dampak kebakaran jadi tanggungjawab mutlak pemegang izin.
Terhadap kebakaran di areal konsesi yang marak terjadi tidak dapat dibebankan kepada BRG. Selain akan berdampak kepada persoalan hukum (penggunaan anggaran yang tidak pada tempatnya), wewenangnya semata-mata dilekatkan kepada menteri, gubernur, wali kota, bupati berdasarkan PP No. 57/20160
Fungsi “supervisi, koordinasi” dari BRG tidak memungkinkan mengambilalih wewenang yang diberikan kepada menteri, atau gubernur atau wali kota atau bupati. Belum lagi regulasi Perpres No.1/2016 disandingkan dengan PP No.71/2014 junto PP No. 57/2016.
Merujuk UU No 12/2011 junto UU No. 15/2019, menempatkan peraturan presiden dibawah Undang-undang. Dengan asas lex superior derogate legi, perpres tidak dapat mengambilalih wewenang yang diatur di dalam peraturan pemerintah.
Menilik wewenang BRG yang diatur dalam Perpres No 1/2016 kemudian sanding dengan PP No 71/2014 junto PP No. 57/2016 diibaratkan dengan istilah “kepala dilepaskan. Ekor masih dipegang.”
Dengan demikian, jadi tidak relevan kalau kebakaran di lahan konsesi dibebankan kepada BRG.
Lanjut
Melanjutkan semangat politik hukum Jokowi, maka badan yang bertugas khusus pemulihan gambut dapat dilanjutkan.
Melihat capaian 780.000-an hektar (88%) dari total restorasi gambut di luar konsesi dan terlibat dengan 109 perusahaan seluas 442.000 hektar (79,6%) areal perkebunan, maka perlu lembaga untuk melanjutkan tugas pemulihan gambut.
Semangat politik hukum harus lanjut. Tugas untuk pemulihan gambut (termasuk di areal konsesi) diimbangi amandemen Pasal 30 ayat 1, Pasal 31 A, Pasal 44 PP No. 57/2016.
*Penulis adalah advokat tinggal di Jambi.