- Peneliti LIPI menjelaskan di masa lampau, peradaban bangsa Nusantara yang merupakan bagian dari bangsa Austronesia ternyata terkait erat dengan keberadaan mangrove. Wilayah Austronesia membentang dari Afrika sampai Samudera Pasifik dan dari Jepang sampai Selandia Baru.
- Bangsa Austronesia diketahui memanfaatkan bakau sebagai bagian dari kehidupan keseharian mereka, seperti untuk makanan, bahan bangunan, pembuatan kapal, pewarna alami dan obat.
- Hal itu terbukti dari sejarah Kerajaan Sriwijaya (abad ke-7) dan Kerajaan Majapahit (abad ke-13) dalam hal perluasan wilayah kekuasaan, penjelajahan maritim dan perdagangan antar bangsa dengan ciri khas perahu cadik ternyata mengikuti persebaran jenis mangrove di wilayah Austronesia
- Buku “Herbarium Amboinense” yang ditulis bangsa Eropa pada 1743 menyebutkan di Ambon Maluku melindungi keberadaan mangrove dengan hukum adat. Semua fakta itu menegaskan bahwa keberadaan bakau sudah menjadi hal yang penting untuk eksistensi peradaban Nusantara bagian dari bangsa Austronesia pada masa lampau
Tanaman bakau (mangrove) adalah salah satu jenis keanekaragaman hayati di wilayah pesisir laut yang memiliki banyak khasiat. Selain sebagai pelindung dari bencana abrasi, bakau bisa juga menjadi penyerap karbondioksida (CO2) dan menjadi bagian dari karbon biru (blue carbon) yang sedang menggema di seluruh dunia.
Manfaat itu menjadi satu dari sekian banyak kelebihan tanaman yang biasanya tumbuh berkelompok itu. Di masa lalu, bakau bahkan menjadi bagian tak terpisahkan dari peradaban manusia yang hidup dari zaman sebelum masehi (SM).
Etnobiolog dari Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ary Prihardyanto Keim menjelaskan bakau memiliki pusat keragaman jenis di Indonesia yang dikenal sebagai negara tropis. Keberadaan bakau juga memberi pengaruh besar untuk bangsa Nusantara.
Peneliti yang fokus pada etno botani dan etno biologi itu mengungkapkan, bangsa Nusantara di masa lalu terdiri dari dari bangsa Austronesia yang memiliki cakupan wilayah sangat luas. Cakupan wilayah Austronesia membentang dari Pulau Madagaskar, Afrika di bagian barat, dan Pulau Paskah di tengah Samudera Pasifik di bagian timur .
“(Dan) dengan selatan Jepang di bagian utara, sampai Selandia Baru di selatan,” tuturnya saat mengisi diskusi virtual bertajuk “Berdaya dengan Mangrove: Aksi Cerdas Konservasi Keanekaragaman Hayati” yang diselenggarakan Diskusi ini diselenggarakan oleh Yayasan Kehati, Kemenko Maritim dan Investasi, LIPI, Indonesia Mangrove Society (IMS) dan Mongabay Indonesia, pada Selasa (21/7/2020).
baca : Lewat Mangrove, Indonesia Bisa Bantu Selamatkan Iklim Dunia
Di masa lalu, Austronesia dikenal sebagai bangsa yang menguasai keahlian untuk bertahan hidup, baik di darat ataupun di laut. Keahlian tersebut sudah dimiliki sejak Austronesia masih menjadi bagian dari wilayah Sunda (Sundaland) dan kemudian berpisah saat zaman es ketiga pada 11.000-10.000 sebelum masehi (SM).
“Saat zaman es ketiga berakhir, sebagian besar anak benua tenggelam dan bangsa Austronesia mulai berlayar luas dan melakukan penjelajahan ke Samudera Hindia dan Pasifik, juga membawa peradaban mereka,” jelas Ary Keim.
Bangsa Austronesia diketahui sebagai bangsa yang memanfaatkan bakau sebagai bagian dari kehidupan mereka. Utamanya, untuk kebutuhan keseharian seperti makanan, bahan bangunan, pembuatan kapal, dan juga sebagai pewarna alami dan obat.
Sebagai bangsa yang besar, Austronesia sudah terbiasa memanfaatkan bakau sejak wilayahnya masih menjadi bagian dari Sundaland sekitar 25.000 sampai 10.000 tahun SM. Dalam melakukan penjelajahan, bangsa Austronesia biasa menggunakan perahu bercadik (outrigger boats).
Menurut Ary, perahu bercadik menjadi ciri khas dari bangsa Nusantara di masa lalu dan memiliki kemampuan yang sangat baik saat digunakan untuk berlayar ke berbagai tujuan. Saat akan mencapai tujuan yang dimaksud, bangsa Nusantara biasa menggunakan bakau sebagai salah satu bagian pendaratan.
“Pelayaran besar bangsa Austronesia mengikuti persebaran bakau, khususnya Rhizophora spp, terutama R. apiculata, R. mucronata dan R. stylosa,” ungkapnya menyebut sejumlah jenis bakau yang hidup sampai saat ini.
baca juga : Terbentuk Indonesian Mangrove Society, Apa Misinya?
Kekuasaan dan Penjelajahan Maritim Terkait Mangrove
Koloni tanaman bakau yang di masa lalu mudah ditemukan dengan mudah di wilayah pesisir, menjadi area andalan bagi bangsa Austronesia sebagai tempat berlindung saat sedang berlayar. Biasanya, kawasan hutan bakau akan dituju jika akan atau sedang terjadi badai.
Selain itu, kawasan bakau juga menjadi area yang nyaman, karena di sana akan tersedia kebutuhan logistik untuk bangsa Austronesia ataupun kapal yang sedang mereka gunakan. Salah satu kebutuhan utama itu, tidak lain adalah air tawar yang digunakan sebagai air minum.
Ikatan kuat yang sudah lama terjalin dengan bakau, membuat bangsa Austronesia dikenal juga dengan sebutan bangsa Bakau, atau bangsa Rhizophora. Sebutan tersebut bertahan hingga kini, meski bangsa Austronesia hanya tinggal nama saja.
Seiring berkembangnya zaman, pengaruh bangsa Austronesia masuk ke Indonesia dan melekat pada kerajaan-kerajaan besar yang pernah berkuasa di Nusantara. Sebut saja, Kerajaan Sriwijaya di Sumatera bagian selatan pada abad ke-7 Masehi, dan Majapahit di Jawa bagian tengah dari abad ke-13 Masehi.
Kedua kerajaan besar tersebut diketahui membangun peradaban dengan menyusuri wilayah laut melalui pelayaran samudera. Dalam melakukan penjelajahan tersebut, kedua kerajaan juga senantiasa menyusuri laut melalui kawasan bakau yang tersebar di wilayah pesisir Nusantara.
“Itu kenapa, Sriwijaya dan Majapahit juga bisa disebut ikut membangun peradaban bakau di Nusantara,” jelas Ary.
baca juga : Benda Sejarah Sriwijaya di Rawa Gambut Dijarah, Kejadian Berulang!
Sebagai bagian dari sejarah peradaban Nusantara, kerajaan Sriwijaya disebut sebagai kerajaan pertama yang menjadikan bakau sebagai bagian dari pembentukan peradaban dan itu memengaruhi bentukan wilayah kekuasaan kerajaan yang sebarannya menyerupai sebaran bakau jenis Rhizophora apiculata.
Sementara, kerajaan Majapahit yang terpisah pulau dengan Sriwijaya diketahui sebagai kerajaan kedua yang menjadikan bakau sebagai bagian dari pembentukan peradaban. Pengaruh bakau bisa dilihat dari sebaran wilayah kekuasaan yang bentuknya menyerupai persebaran bakau jenis Rhizophora stylosa.
Dengan wilayah kekuasaan yang luasnya menyusuri sebaran bakau Rhizophora stylosa, kerajaan Majapahit pada masa kejayaannya mampu menjangkau wilayah bagian utara dari benua Australia. Jangkauan tersebut mengikuti sebaran bakau yang juga sampai ke benua Kanguru tersebut.
Selain karena bakau, wilayah kekuasaan Majapahit bisa sampai ke bagian utara benua Australia, juga karena pada masa tersebut banyak nelayan kerajaaan Majapahit yang terbiasa mencari teripang (Holothuroidea) ke benua tersebut.
Biota laut tersebut menjadi buruan, karena saat itu nelayan Majapahit sudah terbiasa menjadikan teripang sebagai komoditas ekspor yang dikirim ke Tiongkok. Selain itu, nelayan Majapahit juga diketahui menjual langsung hasil tangkapan teripang di Australia.
“Sebaran kekuasaan ke Australia itu didukung oleh temuan koin-koin (uang) dan meriam cetbang,” papar Ary menyebutkan jenis senjata yang hanya diproduksi dan digunakan sendiri oleh Majapahit.
Ary menambahkan, saat nelayan-nelayan Majapahit mencari tangkapan ikan, biasanya mereka akan menyusuri wilayah pesisir laut jika di sekitarnya ditemukan kawasan bakau. Kebiasaan tersebut juga dilakukan oleh pelaut-pelaut Majapahit yang terbiasa menjelajah menggunakan perahu layar.
Bakau Jatidiri Nusantara
Bukti lain betapa kuatnya pengaruh bakau terhadap peradaban bangsa Nusantara, bisa dilihat dalam tulisan ilmiah yang disusun bangsa Eropa dan menceritakan tentang rempah Nusantara. Tulisan itu terhimpun dalam buku berjudul “Herbarium Amboinense” yang diterbitkan pada 1743.
Dalam buku tersebut, G.E Rumphius yang berperan sebagai penulis menyebutkan bahwa di Ambon (sekarang masuk wilayah Maluku) ada 5 jenis bakau yang bisa ditemukan di kawasan pesisir pantai. Akan tetapi, dalam tulisan tersebut identifikasi bakau disebutkan hanya satu jenis marga saja, Mangium.
“Sebutan bakau oleh orang Ambon adalah Mangi-mangi. Dia menulis bahwa bakau sangat penting untuk makanan, bahan bangun, obat, dan pewarna. Dalam tulisan tersebut, bakau menjadi tanaman penting, karena sebagai tempat berlindung ikan dan tempat hidup kepiting,” papar dia.
Mengingat pentingnya bakau untuk kehidupan masyarakat Ambon dan sekitarnya, Rumphius menyebutkan bahwa bakau dilindungi hukum adat dan dinamakan Sasi Mangi-mangi. Kemudian, bakau juga diangkat sebagai hukum adat dan berlaku untuk semua warga.
Dengan segala fakta yang sudah dibeberkan di atas, Ary Keim menegaskan bahwa keberadaan bakau sudah menjadi hal yang penting untuk eksistensi bangsa Austronesia di masa lalu. Dengan kata lain, kawasan hutan bakau di pesisir tidak lain adalah bagian dari bangsa Nusantara yang tidak bisa dipisahkan.
Selain itu, agar bakau bisa terus mendapat perhatian dari masyarakat Nusantara, pemahaman tentang ilmu etnobiologi bakau juga harus terus dikembangkan. Hal itu menjadi penting, karena Indonesia adalah pusatnya peradaban Austronesia dan Melanesia, dua bangsa besar yang menjadikan bakau sebagai bagian dari peradaban kehidupan.
Diketahui, Indonesia saat ini menjadi pemilik hutan bakau terluas di dunia. Berdasarkan data yang dirilis Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), luasan hutan bakau menciut dari 4,20 juta hektare pada 1982 menjadi 3,48 juta hektare pada 2017.
Sementara, dari data yang dirilis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), luasan hutan bakau yang kondisinya masih baik saat ini hanya tersisa 1.671.140 hektare, dan hutan bakau yang rusak meluas hingga mencapai 1.818.000 hektare.