Tulisan ini merupakan refleksi kondisi sungai di Indonesia yang kita peringati setiap 27 Juli [Hari Sungai Nasional]. Sungai Musi dan seluruh sungai di negeri ini menghadapi ancaman, terutama pencemaran yang berasal dari limbah pabrik, tongkang batubara, pertokoan, dan sampah rumah tangga. Sungai yang seharusnya menjadi sumber air bersih di kehidupan kita dan tempat hidupnya berbagai jenis ikan, justru kita kotori. [Redaksi]
**
Pendemi COVID-19 ini membuat saya berdiam beberapa bulan di rumah. Ternyata rumah tidak ikut “diam” seperti yang saya bayangkan sebelumnya. Rumah tetap berhubungan dengan dunia luar. Khususnya dengan sungai.
Hubungan rumah dengan sungai terwujud lewat aliran air bersih yang disalurkan PDAM [Perusahaan Daerah Air Minum] Tirta Musi, yang mengambil airnya dari Sungai Musi. Hubungan ini berlangsung sepanjang hari. Dapat dibayangkan, jika air Sungai Musi tidak mengalir ke rumah. Saya dan keluarga tidak mandi, mencuci, dan memasak.
Hubungan lainnya rumah dan sungai yakni kehadiran sejumlah jenis ikan, yang hampir setiap hari saya dan keluarga konsumsi. Misalnya ikan gabus, ikan sepat siam, ikan betok, dan ikan patin. Ikan-ikan ini hidup dan berkembang di puluhan sungai kecil dan besar di Sumatera Selatan.
Lalu, pada setiap sudut rumah, saya tidak akan bebas dari bangunan yang menggunakan pasir. Setelah ditelusuri, pasir yang digunakan berasal dari dasar Sungai Musi.
Dan, mungkin masih banyak hal lain yang menghubungkan rumah dengan sungai, sehingga rumah tidak akan mampu meninggalkan sungai.
Dapat dibayangkan, apa yang akan terjadi pada rumah tempat saya menetap, dan jutaan rumah lainnya, jika Sungai Musi dan sungai-sungai lainnya di Sumatera Selatan, rusak dan menghilang.
Populasi manusia di Sumatera Selatan mungkin tidak musnah, tapi sebuah penderitaan akan mendera jutaan manusia.
Fakta masih berlangsungnya hubungan rumah dengan sungai, membuktikan hingga saat ini saya masih orang bahari. Saya seperti orang-orang terdahulu di Palembang atau Sumatera Selatan, yang mandi, mencuci, minum, dan mengonsumsi ikan dari Sungai Musi.
***
Selama saya di rumah, keberadaan Sungai Musi dan sungai-sungai lainnya di Sumatera Selatan terus mengalami “tekanan”. Berbagai aktivitas yang menyebabkan Sungai Musi mengalami abrasi, sedimentasi dan pencemaran, terus berlangsung.
Perkebunan skala besar yang menggunakan beragam pupuk kimia terus membuang limbahnya. Perkebunan juga mendorong banyak hutan menjadi terbuka, sehingga Sungai Musi sulit mengendalikan air.
Pertambangan batubara dan PLTU [Pembangkit Listrik Tenaga Uap] terus bekerja dan membuang limbahnya ke sungai, yang ujungnya bermuara ke Sungai Musi. Lalu, dengan “gagahnya” tongkang-tongkang besar membawa batubara tersebut melalui Sungai Musi.
Pertambangan emas juga terus berlangsung selama pendemi COVID-19 ini. Limbah dan lumpur terus dialirkan ke sungai, dan menumpuk ke Sungai Musi.
Tidak berhenti di situ. Berbagai pabrik, mulai dari pengolahan getah karet, pupuk, bubur kertas, CVO, dan lainnya, secara kompak membuang limbah ke Sungai Musi.
Kota-kota yang hidup konsumtif juga turut menyumbangkan limbah ke Sungai Musi. Mulai dari rumah sakit, hotel, mall, pertokoan, hingga rumah-rumah yang tidak berhenti mencuci, mandi dan makan.
Jadi, sebenarnya ada yang mengerikan selama pendemi. Ribuan hingga jutaan manusia berdiam di rumah, ternyata tidak menghentikan “tekanan” terhadap Sungai Musi. Dan, saya percaya tekanan yang sama juga dirasakan puluhan hingga ratusan sungai lainnya di Indonesia. Baik di Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, hingga Papua.
Pada saat bersamaan, rumah yang tidak mampu meninggalkan sungai, terus menerima apa pun yang dibawa air sungai. Saya dan jutaan manusia lainnya pun tidak pernah mengecek berapa banyak racun yang menumpuk di bak, drum, maupun toren. Kami hanya percaya perusahaan air berhasil membebaskan kami dari jutaan racun [B3-Bahan Berbahaya dan Beracun] dari perkebunan, pertambangan, pabrik, rumah sakit, mall, dan lainnya.
***
Bagaimana menjamin atau menyelamatkan Sungai Musi dan sungai lainnya dari berbagai persoalan tersebut?
Saya pikir menjawabnya bukan mengadakan lomba perahu bidar, perahu naga, atau lomba olahraga air lain, yang katanya membangun kesadaran masyarakat. Sebab persoalan ini bukan dari masyarakat. Semuanya bermula dari berbagai perusahaan, yang tidak peduli kerusakan lingkungan maupun menyebarnya banyak racun.
Menjadikan sungai sebagai objek pariwisata juga bukan jawaban. Sebab banyak objek wisata justru menjadi penyumbang limbah. Jika pun berhasil, mungkin hanya limbah yang terlihat [sampah] yang tidak ada di sungai, tapi limbah cair tidak akan terbebas dari sungai.
Bukan pula hanya mengandalkan gerakan menanam pohon di DAS [Daerah Aliran Sungai], yang hasilnya harus menunggu puluhan hingga ratusan tahun, sementara perusahaan ekstraktif hanya dalam hitungan jam menghabiskan pohon yang ditanam.
Dan, persoalan ini pun tidak mungkin dijawab dengan gerakan membersihkan parit dan sungai kecil. Sebab penuhnya limbah di parit dan sungai kecil karena adanya sampah berbagai produk yang dihasilkan pabrik-pabrik skala besar, bukan dihasilkan orang miskin yang terpaksa hidup di tepi parit atau sungai yang tercemar tersebut.
***
Bagi saya, jawaban dari persoalan ini, hanya satu. Negara segera menghentikan berbagai aktivitas ekonomi ekstraktif dan kotor. Sebab, selama kegiatan tersebut tidak dihentikan maka sungai-sungai tinggal menunggu waktu kehancurannya. Atau, sungai-sungai berubah menjadi habitat berbagai penyakit mematikan.
Jika itu terjadi, kita harus melupakan peradaban besar bangsa ini, dilahirkan dari kebudayaan bahari, yang dibangun sejumlah kerajaan dan kesultanan di masa lalu.
Di Sumatera, kita harus melupakan Sungai Musi yang melahirkan Kedatuan Sriwijaya, Kerajaan Palembang dan Kesultanan Palembang. Melupakan Sungai Batanghari yang melahirkan Kerajaan Melayu dan Kerajaan Darmasraya. Begitu juga melupakan sejumlah sungai di Sumatera Barat yang membangun Kerajaan Minangkabau, serta menutup sejarah Sungai Kampar, Sungai Deli, yang melahirkan sejumlah kesultanan.
Di Jawa, kita harus melupakan Sungai Citarum bersama Sungai Cisadane dan Sungai Ciliwung, yang membesarkan kerajaan Tarumanegara, kerajaan Sunda, Galuh, Padjajaran, Sumedang Larang, Cirebon hingga Kerajaan Banten.
Terus, kita harus melupakan Sungai Brantas yang membesarkan Kerajaan Majapahit, atau kerajaan sebelumnya Kanjuruhan.
Puncaknya kita meninggalkan nilai-nilai kebhinekaan, egaliter dan gotong royong, seperti halnya beragam jenis ikan yang hidup berkelompok di sungai.
Pada akhirnya, saya dan Anda memaksa rumah meninggalkan sungai.
* Taufik Wijaya, jurnalis, penyair dan pekerja seni di komunitas Teater Potlot. Menetap di Palembang, Sumatera Selatan. Tulisan ini opini penulis.