Indonesia memiliki puluhan pegunungan. Dari Bukit Barisan di Sumatera hingga Pegunungan Cycloop di Papua. Setiap pegunungan melahirkan belasan hingga puluhan sungai. Meski belum ada data pasti berapa jumlah sungai di Indonesia, tercatat hingga saat ini ada 330 sungai di Indonesia
Namun ironisnya, keberadaan sebagian besar sungai-sungai tersebut dalam kondisi kritis. Saat ini sungai mulai “ditinggalkan” dalam peran utamanya sebagai sumber air bersih, suplai area pertanian dan transportasi. Sebaliknya, sungai berbalik, menjadi ancaman bagi manusia, melahirkan banjir dan sumber berbagai penyakit.
Padahal dari sungailah peradaban di Nusantara mulai terbangun. Mari kita ambil contoh Sungai Citarum, Sungai Musi dan Sungai Brantas.
Sungai Citarum, yang panjangnya 297 kilometer, merupakan sungai yang membangun peradaban besar di Jawa bagian selatan. Bersama Cisadane dan Ciliwung, Sungai Citarum melahirkan dan membesarkan kerajaan Tarumanegara. Selanjutnya sungai yang berhulu di Situ Cisanti di Gunung Wayang dan bermuara ke Laut Jawa itu, melahirkan kerajaan Sunda, Galuh, Padjajaran, hingga Sumedang Larang.
Sungai Musi yang berada di Sumatera Selatan, merupakan sungai yang melahirkan dan membesarkan Kedatuan Sriwijaya, selama lima abad ia berkibar dengan kebudayaan baharinya. Sungai yang panjangnya 750 kilometer ini berhulu di Bukit Barisan dan bermuara ke Selat Bangka. Setelah era Sriwijaya, Sungai Musi pun melahirkan Kerajaan dan Kesultanan Palembang.
Sungai Brantas di Jawa Timur yang panjangnya sekitar 320 kilometer pun sungai yang membesarkan Kerajaan Majapahit. Sungai Brantas mampu menjadikan Majapahit sebagai kerajaan agraris yang kuat, sekaligus mampu berperan dalam kemaritiman.
Sebelum membesarkan Kerajaan Majapahit, sungai yang bermuara di Desa Sumber Brantas ini, turut melahirkan Kerajaan Kanjuruhan. Kerajaan sebuah kerajaan agraris yang telah mengenal pertanian sawah dengan irigasi, yang terbaca lewat Prasasti Harinjing.
Baca juga: Sungai Brantas Makin Memprihatinkan
Namun saat ini, – berabad setelah puncak kejayaannya, ketiganya menghadapi persoalan dan ancaman yang sama. Mulai hilang atau rusaknya kawasan hutan/ wilayah resapan air di DAS (Daerah Aliran Sungai), sedimentasi, limbah industri, hingga limbah rumah tangga.
Bahkan Sungai Musi, bukan hanya menghadapi hal tersebut. Sungai yang memiliki delapan anak sungai besar ini (Sungai Komering, Ogan, Lematang, Semangus, Rawas, Lakitan, Batang Hari Leko, dan Kelingi) menghadapi limbah dan sedimentasi dari aktifitas penambangan mineral, yang berlangsung di wilayah hulunya.
Dapat dikatakan, -secara kasat mata, tanpa perlu penelitian khusus, kondisi fisik dan mutu air ketiga sungai tersebut sangat buruk. Di beberapa wilayah sungai berubah menjadi bak sampah. Ia pun menjadi penampung berbagai kotoran dan sampah.
Seringkali terjadi kematian ikan dalam jumlah yang besar, memancarkan aroma amoniak dan belerang, menurun atau hilangnya sejumlah jenis ikan, dan banyak lainnya.
Sementara manusia yang hidup di sekitar sungai kerap menghadapi bencana banjir, kekeringan, krisis air bersih, terganggunya hasil pertanian dan perikanan, serta terserang sejumlah penyakit. Diperkirakan, kondisi air sungai yang buruk menyebabkan banyak anak-anak yang hidup di sekitar sungai mengalami stunting.
Di sisi lain, jutaan orang bakal terdampak dari rusaknya wajah lingkungan sungai. Sekitar 27 juta manusia di Jawa Barat dan DKI Jakarta dari Sungai Citarum, sekitar 6-7 juta manusia di Sumsel dari Sungai Musi, dan sekitar 15 juta di Jatim dari DAS Brantas.
Baca juga: Menaruh Harap pada Keberhasilan Program Citarum Harum
Citarum, Model Rintisan Pembenahan Sungai di Indonesia
Dikutip dari artikel yang ditulis Een Irawan Putra di Mongabay Indonesia pembenahan Sungai Citarum telah dilakukan Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Provinsi Jawa Barat sejak 2001. Terakhir, pada 2014 Pemerintah Provinsi Jawa Barat membuat program Citarum Bestari.
Mengapa ia penting? Ada sekitar 420 ribu hektar persawahan yang mengandalkan air dari Sungai Citarum Selain itu, sungai ini dimanfaatkan oleh tiga waduk besar, yakni Jatiluhur, Cirata dan Saguling, sebagai PLTA [Pembangkit Tenaga Listrik Air], yang menghasilkan ribuan daya [MW]. Semuanya aset vital bagi negara.
Tapi persoalan tetap muncul, seperti pembuangan limbah oleh sejumlah pabrik “nakal” yang beraktifitas di sepanjang DAS Citarum. Tercatat, sekitar 2.800 pabrik yang berada di area sempadan Sungai Citarum.
Buruknya pengelolaan dan minimnya kontrol, membuat sekitar 280 ribu ton cemaran limbah cair setiap hari masuk ke aliran sungai. Kondisi ini diperparah hadirnya sampah domestik rumah tangga sekitar 1.500 ton per hari.
Letjen TNI Doni Monardo, – saat menjabat Pangdam III Siliwangi, pada akhir 2017 menginisiasi program Citarum Harum, yang tujuannya ingin mengembalikan fungsi sungai dan menyelesaikan masalah Sungai Citarum dari hulu sampai hilir.
Presiden Joko Widodo mendukung upaya tersebut dengan menerbitkan Perpres Nomor 15/2018 tentang Percepatan Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan DAS Citarum.
Doni menggerakan setiap Dansektor melakukan pemetaan permasalahan, melakukan aksi dan melaporkan perkembangan yang dilakukan. Semua perwira tinggi dan prajurit digerakkan. Target utamanya, membangun budaya di masyarakat untuk menjaga dan melestarikan DAS Citarum.
“Penyelamatan DAS Citarum merupakan upaya yang harus terus dilakukan atau berkelanjutan. Tidak boleh berhenti. Mulai dari masyarakat, akademisi, penggiat dan pecinta lingkungan, budayawan, media, mahasiswa, tokoh agama, pelaku usaha, penyelenggara pemerintah, termasuk TNI,” demikian penjelasan Brigjen TNI Kunto Arief Wibowo, Kepala Staf Komando Daerah Militer III Siliwangi kepada saya, beberapa waktu lalu.
Kunto melihat ada empat strategi guna menyelamatkan DAS Citarum. Pertama, memperbaiki dan membangun ekosistem. Kedua, meningkatkan perekonomian rakyat dan pemberdayaan lahan tidak produktif [rusak]. Ketiga, membangun komunikasi produktif melalui komunikasi sosial lingkungan, serta, keempat penggunaan teknologi terapan terkait penataan sampah, limbah, air, energi dan pangan.
Bentuknya seperti yang telah mulai dilakukan saat ini, yaitu melakukan peremajaan permukaan tanah yang rusak, mendorong pengolahan sampah, serta solusi pengelolaan limbah terpadu.
Selain itu mengembalikan fungsi tangkapan yaitu reboisasi hutan di daerah hulu dan mengembalikan habitat bagi beragam satwa, seperti beragam jenis burung.
“Yang sangat penting juga hilangkan ego sektoral setiap pihak yang bekerja menyelamatkan DAS Citarum. Penyelamatan DAS Citarum sekitar 721,945 hektar tentunya membutuhkan kerjasama banyak pihak,” lanjutnya.
Dukungan dana terhadap penyelamatan DAS Citarum memang cukup besar. Bank Dunia menggelontorkan dana pinjaman sebesar Rp1,4 triliun kepada Pemerintah Jawa Barat. Pada 2021 Kementerian PUPR berencana menganggarkan dana sebesar Rp618,6 miliar untuk membangun infrastruktur pengendali pencemaran dan mengurangi kerusakan DAS Citarum.
Mungkin dapat dikatakan kucuran dana tersebut merupakan respon dari program Citarum Harum dan berbagai upaya yang dilakukan Pemerintah Jawa Barat.
Baca juga: Mandi di Sungai Musi, Sehatkah?
Mengembalikan Fungsi Sungai, Membangun Peradaban Indonesia
Keinginan mengembalikan sungai menjadi lestari, tentu bukan hanya untuk Sungai Citarum. Pemerintah, masyarakat, perorangan, kelompok peduli lingkungan dan budaya di Sumatera Selatan, Jawa Timur dan berbagai daerah lain, pasti ingin agar wajah sungainya bersih seperti sediakala.
Tetapi, yang membedakannya dengan Program di Citarum, menurut penulis, karena belum adanya aktor yang benar-benar fokus pada target, dan lebih lanjut mampu merangkul berbagai pihak dengan baik.
“Jika ingin menyelamatkan Sungai Musi wajib mencontoh upaya perbaikan di Sungai Citarum,” jelas Yenrizal Tarmizi, pakar komunikasi lingkungan UIN Raden Fatah Palembang, kepada saya.
“Jangan hanya menunggu ada anggaran, baru bekerja. Ini hanya mimpi belaka dan bencana lingkungan bakal terus dialami masyarakat Sumsel.” Saya setuju dengan pernyataan Yenrizal.
Tidak cukup kita hanya memprotes terhadap industri yang membuang limbah. Tapi butuh kebijakan, kerjasama berbagai pihak, dan tindakan aktif di lapangan.
Perlu ada kepemimpinan yang kuat yang melahirkan peraturan, membangun komitmen bersama, pelaksanaan tata kelola sampah dan limbah, perbaikan sosial dan ekonomi masyarakat, hingga penegakan hukum.
Jika masalahnya ada pada anggaran, maka kita perlu gunakan kekuatan yang ada dulu. Pada akhirnya banyak pihak yang bakal mendukung atau membantu. Perlu suatu upaya yang kuat, visi yang berani untuk membenahi tata kelola dan pada akhirnya mengubah pola dan perilaku masyarakat yang ada.
Sungai adalah identitas bangsa ini. Identitas yang tidak terjebak pada masa lalu dan kemurnian. Tapi sebagai pemersatu berbagai identitas, seperti layaknya sungai yang merupakan habitat berbagai ikan, yang terus bergerak.
* Taufik Wijaya, penulis adalah penyair, budayawan, penulis. Salah satu pendiri Sanggar Seni Potlot. Tinggal di Palembang
***
Foto utama: Anak-anak bermain air di bantaran Sungai Musi. Foto: Ikral Sawabi