Mongabay.co.id

Jejak Suku Lom, Perlahan Hilang Akibat Tergerus Tambang

 

 

Desa Mapur di Kecamatan Riausilip, Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, merupakan desa tua yang didiami keturunan Suku Lom, salah satu suku tertua yang mendiami Pulau Bangka.

“Lom” dimaknai sebagai kelompok masyarakat yang belum mengenal agama [agama yang diakui negara]. Namun seiring berjalannya waktu, mayoritas penduduk Desa Mapur yang berjumlah sekitar 2.511 jiwa, telah memeluk agama yang diakui negara. Mereka juga membaur dengan etnis Tionghoa.

Masyarakat adat Suku Lom meyakini gunung, hutan, sungai, bumi, langit dan hewan, yang merupakan bagian dari alam semesta, menyatu dengan roh nenek moyang mereka, sehingga harus dihargai.

Mereka juga percaya, jika setiap bagian dari alam semesta ini mempunyai roh atau kekuatan, yang mengawasi manusia dan perbuatannya. Bencana akan menimpa apabila manusia melanggar kekuatan dan keselarasan alam.

Baca: Nelayan Versus Tambang Timah, Akankah Berakhir di Bangka?

 

Suyitno, warga Desa Mapur, setiap hari melimbang timah di sekitar pinggiran Sungai Mapur. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Tetapi, kini ikatan kuat antara Suku Lom dengan alam mulai memudar. Kenapa?

“Semua dimulai saat PT. Timah mulai beroperasi, sekitar tahun 1990 hingga 2000, yang kemudian diikuti dengan tambang timah rakyat. Hutan kami mulai hilang, berganti lubang-lubang tambang,” kata Edo Martono, generasi ke-4 keturunan Suku Lom Desa Mapur, kepada Mongabay Indonesia, Sabtu [25/07/2020].

Sebelum adanya tambang, mayoritas masyarakat Desa Mapur berkebun lada, bertani padi darat, serta menanam durian, jengkol, kemiri dan binjai, yang diselingi tanaman rempah dan obat seperti kunyit, lengkuas, jahe dan serai.

“Sejak ada tambang, banyak warga beralih jadi penambang timah. Kebun sendiri ikut ditambang. Masyarakat tergiur dengan hasil tambang yang saat itu menjanjikan, buktinya bisa dilihat dari banyaknya rumah warga yang awalnya berdinding papan kini dibeton,” lanjut Edo yang menjabat Ketua BPD Desa Mapur.

Namun, masa kejayaan tambang timah rakyat tidak berlangsung lama. “Sekarang, bagi warga yang masih punya lahan, mereka kembali berkebun. Tetapi, kebanyakan mereka bekerja sebagai buruh harian di perkebunan sawit. Timah sudah tidak bisa diandalkan dan lahan telah rusak atau dijual,” lanjutnya.

Suyitno, warga Desa Mapur mengaku setiap hari melimbang timah di sekitar pinggiran Sungai Mapur. “Paling banyak dapat satu kilogram yang dijual seharga Rp50.000. Berbeda saat awal, sehari bisa dapat puluhan kilogram.”

Baca: Saat Air Kolong Jadi Andalan Masyarakat Bangka

 

Suyitno, warga Desa Mapur tetap menggantungkan hidupnya dari hasil melimbang timah di pinggiran Sungai Mapur. Dalam sehari ia mendapatkan satu kilogram timah. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Berdasarkan pantauan Mongabay Indonesia, Sabtu [25/7/2020], di Desa Mapur masih terdapat aktivitas penambangan timah di sejumlah titik, di lahan izin PT. Timah Tbk. Gundukan besar tanah kapur berwarna putih, pohon akasia, serta beberapa rumpun pohon kelapa sawit tampak mendominasi.

“Warga sudah menuntut PT. Timah untuk melakukan reklamasi. Kami hanya menuntut tanggung jawab mereka, dengan harapan lahan kembali produktif, agar bisa ditanami pinang, durian, atau pohon lain yang memiliki nilai ekonomis,” terang Edo.

Belum selesai dengan masalah tambang, perkebunan sawit masuk ke Desa Mapur sekitar 2006. “Luas Mapur 7.364 hektar, sekitar 4.000 hektar telah dikuasai perusahaan sawit. Sekitar 1.117 hektar merupakan kebun masyarakat. Sementara, luasan tambang timah belum terdata,” lanjutnya.

Baca: Bukan Timah atau Sawit, tapi Lada dan Durian yang Membuat Warga Kota Kapur Kembali Bergairah

 

Lubang sisa penambangan timah di Desa Mapur, yang menurut warga mempunyai kedalaman sekitar 30 meter. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Akhir Juni 2020, masyarakat demo ke perusahaan sawit PT. GPL [Gunung Pelawan Lestari]. “Masyarakat meminta TJSL [Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan] perusahaan seperti CSR dan penyerapan tenaga kerja,” kata Gilang Viginawan, Ketua Tarang Taruna Desa Mapur.

Gilang yang juga aktif di Bara Instititute, sebuah lembaga kajian, penelitian dan advokasi, menyatakan, khusus tambang timah di sekitar Desa Mapur, belum ada tuntutan warga. “Hal ini dikarenakan minimnya data serta pengetahuan masyarakat.”

Terkait permintaan masyarakat terhadap perusahaan sawit, dikutip dari wowbabel.com, Manager PT. GPL, Arif Budiono, menjelaskan apa yang diharapkan masyarakat Desa Mapur, khususnya petani sawit sudah dilaksanakan perusahaan. “Kami akan segera tindaklanjuti masalah ini dengan melakukan pertemuan.”

Baca juga: Sungai di Bangka Rusak Akibat Tambang Timah dan Sedimentasi

 

Dua unit alat berat tengah beroperasi di tengah lahan tambang timah di Desa Mapur. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Reklamasi pascatambang

Berdasarkan dokumen IKPLHD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2019, luas lahan pertambangan menurut bahan galian dan izin usaha pertambangan telah mengusasi 1.007.372,66 hektar dari 1.642.400 hektar total luas Bangka dan Belitung. Terdapat 25 jenis bahan galian, yang dikelola ratusan perusahaan.

Dokumen yang sama juga menjelaskan, kerusakan hutan cukup besar terjadi pada 2017, seluas 41.769,55 hektar, yang salah satunya disebabkan penambangan. Dalam dokumen ini juga dituliskan, 20.428 hektar merupakan lahan kritis, 260 hektar berkondisi sangat kritis, dan seluas 392.437 hektar berkondisi agak kritis. Sekitar 503 hektar lahan, tanpa data.

Dalam catatan Walhi Bangka Belitung [Babel], reklamasi pascatambang yang dilakukan selama ini gagal mencapai target. Sebagai contoh, reklamasi PT. Timah pada 2007, dari target 19.207,15 hektar yang terealisasi hanya 8.662,20 hektar [45,10 persen]. Sementara tahun 2010, dari lahan seluas 1.597,82 hektar, yang direklamasi hanya 201,04 hektar [12,8 persen].

“Belum termasuk reklamasi IUP swasta terkait kewajiban lingkungan. Fakta lapangan menunjukkan hal demikian di Bangka Belitung,” tutur Jessix Amundian, Direktur Walhi Babel kepada Mongabay Indonesia, Selasa [28/7/2020] lalu.

Walhi meminta Pemprov Bangka Belitung mengedepankan keberlanjutan fungsi ekologis lingkungan, demi keamanan dan keselamatan masyarakat. “Harus dilakukan penindakan terhadap korporasi tambang atau pemilik IUP yang abai menjalankan kewajiban terhadap lingkungan.”

 

Bentang alam Desa Mapur sekarang yang dulunya berupa hutan dan kebun masyarakat. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Desa Mapur belum direklamasi

Apa yang telah dilakukan PT. Timah Tbk terkait reklamasi pascatambang di Bangka Belitung? Berikut keterangan yang disampaikan Anggi Siahaan, Kabid Humas PT. Timah Tbk, kepada Mongabay Indonesia, Selasa [04/8/2020].

Dalam melaksanakan reklamasi, PT. Timah Tbk, mengelola lahan lahan bekas tambang tidak hanya dengan revegetasi atau penanaman, juga melakukan reklamasi dalam bentuk lain yang dapat memberikan nilai tambah. Revegatasi dengan menanam kayu fast growing seperti sengon, cemara laut, akasia, serta tanaman lokal seperti nyato, mahoni, seru dan tanaman buah seperti jeruk, jambu mete, dan lainnya.

“Kawasan Desa Mapur belum dilakukan reklamasi karena belum selesai pertambangan. Perusahaan tentu segera mereklamasi apabila sudah tidak ada lagi kegiatan, tentunya lahan konsesi yang akan direklamasi sudah dievaluasi, dinyatakan clean dan clear dari divisi perencanaan. Untuk kegiatan ini, PT. Timah melibatkan masyarakat dalam hal usulan pola reklamasi yang diinginkan,” jelasnya.

 

Rumah asli warga Desa Mapur di pesisir, ditandai dengan dinding kayu. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Dia menambahkan, terkait degradasi lingkungan pada konsesi PT. Timah, tentunya harus dilihat juga maraknya penambangan ilegal. Kendala yang dihadapi adalah daerah-daerah yang telah direklamasi kembali ditambang secara liar, dan juga aspek pemilik lahan yang terkadang resisten terhadap reklamasi.

Perusahaan berupaya menerapkan good minning practice, sesuai regulasi juga menyerap aspirasi masyarakat sekitar tambang, untuk reklamasi maupun memaksimalkan program pemberdayaan masyarakat yang berorientasi SDGs [Sustainability Development Goals].

Berdasarkan Kepmen ESDM RI No. 1827 K/30/MEM/2018 tahun 2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Reklamasi dan Pascatambang serta pascaoperasi kegiatan usaha, perusahaan tambang dapat melakukan reklamasi dalam bentuk lain dengan mengusulkan rencana terlebih dahulu ke Kementerian ESDM untuk mendapat persetujuan.

 

Luasan lahan reklamasi darat PT Timah Tbk dalam 2 tahun terakhir di Bangka Belitung

No. KABUPATEN

LUAS REKLAMASI [Ha]

2018

2019

Real [Kenyataan]

Plan [Rencana]

Real [Kenyataan]

Plan [Rencana]

1 BANGKA 47,11 53,5 55,21 58,2
2 BANGKA BARAT 40,16 38 49,32 38,7
3 BANGKA TENGAH 30,86 31 31,03 30
4 BANGKA SELATAN 21,09 23 24,46 22,5
5 BELITUNG 26,12 24 24,37 18,5
6 BELITUNG TIMUR 61,9 60 60,07 58,4
7 LINTAS KABUPATEN 85,34 86 86,7 88,2
JUMLAH 312,58 315,5 331,16 314,5

Sumber: Humas PT. Timah Tbk

 

Reklamasi bentuk lain, terang Anggi adalah, membentuk kawasan reklamasi terpadu seperti Kampoeng Reklamasi Air Jangkang, Kampoeng Reklamasi Selinsing, dan Kebun Percontohan Air Nyatoh [Sirkuit Grasstrack] di Kabupaten Bangka.

“Selain itu, lahan bekas tambang juga dimanfaatkan untuk menanam tanaman pangan, bekerja sama dengan masyarakat, bumdes, dan stake holder terkait.”

Ke depan, menurut dia, PT. Timah berkomitmen berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk melakukan reklamasi bentuk lain. Utamanya, dimanfaatkan untuk kegiatan yang berdaya guna bagi masyarakat.

 

 

Exit mobile version