- Wisata Agro Pertanian di Desa Besur, Kecamatan Sekaran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, yang menjadi salah satu wisata favorit wisatawan lokal maupun dari daerah lain kini sepi pengunjung sejak wabah COVID-19.
- Wisata Agro ini juga terkendala juga karena Sumber Daya Manusia (SDM) yang pas-pasan dalam mengelola. Saat terjadi trend naik, semangat. Begitu turun jumlah pengunjung, sudah tidak ada inovasi untuk melanjutkan.
- Di areal pertanian seluas satu hektare ini merupakan hasil kerja keras para petani setempat. Saat itu ketika panen, harga padi mengalami penurunan drastis.
- Wisata Agro Pertanian Desa Besur awalnya wisatawan bisa melihat bunga-bunga yang segar. Sehingga menarik untuk digunakan berswafoto sambil menikmati pemandangan. Selain itu, lokasi ini seringkali dijadikan media pembelajaran untuk anak sekolah.
Wisata Agro Pertanian di Desa Besur, Kecamatan Sekaran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, yang menjadi salah satu wisata favorit wisatawan lokal maupun dari daerah lain kini sepi pengunjung sejak wabah COVID-19. Sebelumnya, wisata agro pertanian yang berada di kabupaten berjuluk kota tahu campur ini menjadi salah satu tujuan karena pengunjung bisa melihat suasana alam desa dengan angin semilir, tanaman padi yang menguning, dan hijau dedaunan.
“Pas awal-awal, sebelum pandemi ini sehari pengunjung yang datang bisa sampai 11 ribu orang,” tutur Mukhlis Azhari, pengelola wisata agro pertanian Desa Besur kepada Mongabay Indonesia, Sabtu (08/08/2020).
baca : Imbas COVID-19, Wisata Pantai Cemara Tuban Sepi

Selain itu, sebut pria 40 tahun ini, trend wisata di Indonesia saat ini memang sifatnya banyak yang musiman. Ramai di awal, jika ada tempat wisata baru yang lama menjadi sepi. Yang menjadi kendala juga karena Sumber Daya Manusia (SDM)-nya yang pas-pasan dalam mengelola. Saat terjadi trend naik, semangat. Begitu turun jumlah pengunjung, sudah tidak ada inovasi untuk melanjutkan.
“Waktu itu kita coba menaikkan lagi ternyata berat, antusias pengunjung tidak seperti di awal. Kami down dengan kondisi saat itu. Bulan Agustus ini kita mencoba memulai lagi,” ujarnya.
Sebenarnya, katanya, dalam tahap new normal ini kesempatan bagi pengelola untuk memperbaiki, karena pada tahap ini masyarakat sudah banyak yang lelah diam di rumah dan ingin berwisata. Untuk itu, sementara ini tiket masuk masih digratiskan. Sebelumnya untuk tiket masuknya per orang di tarik Rp2 ribu. Sementara parkir ditarik Rp5 ribu.
baca juga : Wisata Bromo Buka Agustus, Bagaimana Persiapan bagi Masyarakat Tengger?

Konsep Pertanian Ramah Lingkungan
Di areal pertanian seluas satu hektare ini merupakan hasil kerja keras para petani setempat. Saat itu ketika panen, harga padi mengalami penurunan drastis. Kemudian, para petani membuat sekolah yang diadakan setiap hari jum’at.
Salah satu pembahasan dari sekolah petani yaitu merubah penggunaan pupuk pestisida ke pertanian yang ramah lingkungan. Awalnya, belanja pestisida per musim di desa ini bisa mencapai Rp250-300 juta. Dalam satu tahun bisa 2-3 kali tanam.
“Hal berbeda ketika ada serangan hama, malah tidak hitungan. Bisa mencapai Rp500 juta per musim,” katanya. Menurut dia, ketika petani sudah banyak yang beralih ke pupuk ramah lingkungan biaya operasional untuk bercocok tanam bisa di tekan menjadi Rp1 juta per musim.
Karena petani sudah tidak menggantungkan pupuk kimia lagi, melainkan memanfaatkan pupuk organik yang dikelola oleh petani sendiri. Selain itu, petani sudah mampu mengendalikan hama sejak dini secara biologis, dilakukan dengan menggunakan predator dan parasit alami hama tersebut. Hal ini yang pada akhirnya menjadi perhatian banyak pihak, termasuk Dinas Pertanian Provinsi Jawa Timur.
Sehingga, pada tahun 2018 menjadikan Desa Besur sebagai tuan rumah untuk kegiatan Gelar Teknologi Perlindungan Tanaman, kegiatannya yang bertema “Manajemen Tanaman Sehat untuk Mencapai Kedaulatan Pangan” ini diikuti oleh peserta dari berbagai daerah di Indonesia.
Desa Besur dipilih sebagai tuan rumah karena keberhasilan penerapan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dalam program Manajemen Tanaman Sehat (MTS). Selepas itu, pengunjung semakin banyak yang datang. Pada akhirnya di buka menjadi destinasi agro wisata pertanian.
menarik dibaca : Kawasan Konservasi dan Wisata Alam Bakal Buka Bertahap

Dampak Pandemi
Namun seiring berjalannya waktu, cerita Mukhlis, Agro wisata pertanian ini mulai ditinggalkan pengunjung. Sebab, bunga-bunga yang menjadi citra di tempat wisata ini mulai banyak yang tidak terawat. Ditambah lagi dengan adanya COVID-19 ini.
Maryam (45), salah satu penjual makanan menjelaskan, ketika masih ramai pengunjung, dalam sehari dia bisa mendapatkan Rp1 juta dalam sehari. Namun kini, penghasilannya turun menjadi Rp150-200 ribu. Namun, dia cukup beruntung karena penjual-penjual lain sudah gulung tikar, sementara dia masih tetap bertahan. “Awalnya itu parkiran sampai tidak muat, banyak sekali yang datang, imbasnya warung saya jadi ramai pembeli,” ujarnya.
Selain pengunjung lokal, pengunjung luar daerah juga banyak yang datang baik kalangan anak-anak maupun orang dewasa. Di tempat ini, awalnya wisatawan bisa melihat bunga-bunga yang segar. Sehingga menarik untuk digunakan berswafoto sambil menikmati pemandangan. Selain itu, lokasi ini seringkali dijadikan media pembelajaran untuk anak sekolah. Sehingga ditambahkan beberapa fasilitas seperti gazebo dan juga areal berswafoto.
baca juga : Era Kenormalan Baru dan Prinsip Fundamental Ekowisata

Namun, semenjak pandemi bunga-bunga mulai tidak terurus. Selain itu, beberapa fasilitas yang ada tidak terawat. Novianti (32), salah satu wisatawan mengaku heran ketika datang berkunjung. Menurutnya, tidak seperti informasi yang ada di internet.
Untuk itu dia berharap adanya pengembangan kembali. Misalnya dengan menambah pohon-pohon, kemudian juga ditambahkan tanaman buah-buahan. Dan yang penting lagi bungannya di perbaiki.
“Selain itu papan nama juga tidak ada, sehingga saya merasa kesulitan saat mencari lokasi. Saya yang orang Lamongan saja masih kesulitan, apalagi orang luar daerah,” ujarnya.
