- Desa Balunganyar, Kecamatan Lekok, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, pernah dikenal sebagai desa terkotor karena banyaknya kotoran sapi yang bertebaran. Setiap sudut kampung akan terlihat kotoran sapi, mulai dari saluran air, jalanan, hingga halaman rumah warga.
- Itu dulu. Sekitar empat atau lima tahun lalu [2016], sebelum masyarakat mengetahui bahwa kotoran sapi bisa diubah sebagai sumber energy, biogas. Ampasnya juga bisa dimanfaatkan sebagai pupuk organik.
- Hadirnya biogas membuat masyarakat Balunganyar dapat menghemat energi. Sebagai bentuk dukungan, Pemerintahan Desa Balunganyar mengalokasikan anggaran pembuatan biogas setiap tahun melalui dana desa [DD]. Program mandiri energi [biogas] diberikan kepada warga desa yang menghendaki, syaratnya warga hanya menyediakan lahan untuk lokasi instalasi biogas.
- Balunganyar yang sebelumnya dicap sebagai desa terkotor, pada 2018 dinobatkan sebagai desa paling inovatif oleh Kementerian Desa. Ini dikarenakan keberhasilan desa tersebut memanfaatkan kotoran sapi menjadi biogas.
Melimpahnya kotoran sapi sempat menjadikan Desa Balunganyar, Kecamatan Lekok, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, sebagai desa terkotor. Kini, tak hanya bebas limbah ternak, Balunganyar juga dinobatkan sebagai desa inovatif energi.
Kumuh dan kotor. Kesan itu begitu melekat dengan Desa Balunganyar, Kecamatan Lekok, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Saking kotornya, siapapun yang datang, besar kemungkinan akan kembali. Penyebabnya, hampir semua sudut kampung dipenuhi kotoran sapi.
Di saluran air, jalanan, hingga halaman rumah, tampak tinja sapi berserakan. Itu karena, sapi-sapi dibiarkan berkeliaran, bahkan di halaman rumah warga.
“Dimana-mana penuh kotoran. Nggak penuh gimana, wong di sini lebih banyak jumlah sapi ketimbang penduduknya,” terang Kepala Desa Baluanyar, Sholeh, ditemui awal Agustus 2020 lalu.
Itu dulu. Sekitar empat atau lima tahun lalu, sebelum masyarakat mengetahui bahwa kotoran sapi ternyata bisa diubah menjadi sumber energi.
Kini, tak ada lagi kotoran sapi tersisa. Warga mengubahnya menjadi sumber energy, biogas, untuk keperluan memasak sehari-hari. Ampasnya pun, bisa dimanfaatkan sebagai pupuk organik.
“Dulu, orang lewat sepedaan saja kadang jatuh terpeleset karena kotoran sapi. Bisa dibayangkan betapa kotornya desa kami itu,” kenang Sholeh.
Persoalan serius
Konflik antar desa yang nyaris saja terjadi pada 2009, kian meyakinkan Sholeh, kotoran sapi merupakan persoalan serius yang butuh solusi segera.
Ia menceritakan, ketika itu, ia yang belum genap setahun menjabat kepala desa setempat didemo warga Desa Tambak Lekok, desa tetangga di utara Balunganyar.
Topografari Tambak Lekok, lebih rendah ketimbang Baluangnyar yang ada di sisi selatan. Karena kondisi tersebut, setiap turun hujan, kotoran sapi masuk ke sungai sebelum akhirnya terbawa arus ke perairan laut Jawa.
Desa Tambak Lekok yang memang berbatasan langsung dengan bibir pantai terkena imbasnya. Curah hujan yang tinggi membuat badan sungai tak cukup menampung air. Akibatnya, air bercampur kotoran sapi itu pun meluber ke tambak-tambak warga. Ikan-ikan yang memasuki masa panen mati.
Para petambak yang merasa dirugikan minta pertanggungjawaban. Untung saja, protes bisa diredam. “Pertengkaran gegara kotoran sapi tidak kehitung banyaknya,” ujarnya.
Peristiwa itu menjadi momentub bagi Sholeh untuk mencari solusi. Dengan jumlah sapi sebanyak 8-9 ribu ekor, kotoran yang dihasilkannya sebanyak 160-180 ton setiap harinya. Rata-rata, seekor sapi menghasilkan kotoran 20 kilogram per hari.
Beternak sapi perah memang menjadi andalan warga Balunganyar. Dari 7.400 penduduk, sebanyak 95 persennya mengandalkan pendapatan dari memerah susu. Seorang warga, bahkan memiliki hingga 200 ekor sapi.
Diceritakan Soleh, sebuah harapan muncul ketika ia bertemu pengusaha asal Surabaya, yang berinisiatif membuat pupuk organik dari kotoran sapi.
Usaha rintisan itu memang cukup efektif, akan tetapi, hanya bertahan 2-4 tahun lantaran minimnya respon pasar.
“Akhirnya tidak berlanjut,” ujar lelaki yang menjabat kepala desa tiga periode ini.
Gagal di pupuk, kotoran sapi kembali menumpuk, memenuhi sudut-sudut kampung. Ia kembali mencari solusi hingga muncul gagasan memanfaatkannya menjadi biogas.
Pengalaman Sholeh menjadi karyawan koperasi susu membuatnya tahu teknologi ini. Terlebih, jauh sebelumnya, usaha serupa pernah ia lakukan, meski tak bisa lagi bisa karena minim perawatan.
Gayung bersambut
Gagasan itu disambut PT. Indonesia Power [IP], pabrikan setrum yang berada di Lekok. Melalui program community development-nya, pihak IP membantu Pemdes Balunganyar mengedukasi warga memanfaatkan kotoran sapi.
Awalnya sempat tersendat, dikarenakan sebagian masyarakat berpikir bahwa makanan yang dimasak dengan biogas tidak boleh dikonsumsi. Alasannya, bahan bakar itu berasal dari kotoran.
Dengan dukungan tokoh agama, pelan-pelan, pemerintah desa bisa meyakinkan warga. Hingga pada 2016, sebanyak 2 unit digester dibangun. Bahkan, setahun berikutnya, ada 180 digester model fixed dome dibuat, hasil bantuan sejumlah pihak. Dan, sebanyak 20 unit dibangun lagi di 2018.
Penanggung jawab CSR IP Grati Akhmad Khayubi mengatakan, sebelumnya kotoran sapi menjadi persoalan serius di Baluanganyar. Tumpukannya memenuhi saluran dan mengotori sungai.
“Kalau dari sisi ekonomi, mungkin tidak banyak. Paling penting adalah bagaimana mengurangi limbah sekligus memanfaatkannya. Dengan dukungan para pihak, kita olah jadi biogas,” terangnya.
Dua tahun berjalan, 2016-208, sudah 23 unit dibangun PT. Indonesia Power. Hingga kemudian, Balunganyar yang sebelumnya dicap sebagai desa terkotor, diganjar sebagai desa paling inovatif oleh Kementerian Desa pada 2018 silam.
Kehadiran biogas di Balunganyar mampu mengubah perilaku peternak setempat. Selain menjadikan biogas, ampas kotorannya dijadikan pupuk kandang [organik] untuk rumput gajah, pakan ternak sapi.
Prinsip kerja biogas adalah menciptakan alat yang kedap udara dengan bagian-bagian pokok terdiri atas pencerna [digester]. Lubang pemasukan bahan dan pengeluaran sisanya dinamakan slurry.
Dalam digester terdapat bakteri anaerobik yang mengolah limbah bio atau biomassa untuk menghasilkan biogas. Dengan pipa yang didesain sesuai penggunaan, gas tersebut dialirkan ke kompor.
Meningkatkan kesejahteraan masyarakat
Hadirnya biogas membuat masyarakat dapat menghemat energi. Kholifah menuturkan, semenjak ada biogas, ia bisa menghemat pengeluaran Rp 50-75 ribu. Sebelumnya, biaya sebesar itu ia keluarkan untuk membeli gas elpiji saban bulan.
“Bagi saya, uang segitu lumayan berharga. Bisa tambahan ongkos anak-anak di pondok,” ujar perempuan 39 tahun.
Mulyono [59], juga merasakan dampak positif biogas. Dulu, ia menggunakan kayu bakar untuk memasak. “Kini tidak repot lagi cari kayu. Tinggal putar kran, sudah nyala,” katanya.
Kenyataan ini disadari pihak desa. Sebagai bentuk dukungan, mereka mengalokasikan anggaran pembuatan biogas setiap tahun melalui dana desa [DD]. Jumlah unit yang dibangun, tergantung kebutuhan saat pembahasan anggaran sebelumnya.
Pada 2018 misalnya. Total 10 unit bioreaktor atau digester dibangun pemdes. Empat unit dukungan PT. IP dan enamnya dibiayai dana desa. Sementara tahun lalu, dua unit dibangun lagi melalui dana desa
“Dari sisi potensi sangat menjanjikan, sapinya banyak,” lanjut Sholeh.
Program mandiri energi [biogas] diberikan kepada warga desa yang menghendaki. “Syaratnya cuma satu. Warga atau pemilik rumah hanya menyediakan lahan untuk lokasi instalasinya. Semua biaya, desa yang menanggung,” terangnya.
Pihak IP mendukung kegiatan tersebut. “Ini sekaligus desa percontohan pemanfaatan kotoran sapi menjadi energi alternatif. Program ini juga bisa meningkatkan ekonomi masyarakat dengan pemanfaatan biogas sebagai pengganti LPG, untuk kebutuhan memasak sehari-hari,” jelas Khayubi.
Biogas juga dapat dikembangkan menjadi alat penerangan [biolistrik], dengan menjadikannya sebagai bahan bakar dari genset. “Masih ada lagi multiplier effect. Turut menyelamatkan ozon akibat pemanasan global dan mendorong petani memiliki ternak sebagai sumber pupuk dan suplai daging adalah contoh positifnya,” tegasnya.
Sebanyak 1.857 bioreaktor terpasang
Penggunaan biogas di Kabupaten Pasuruan, sejatinya bukan hal baru. Diperkenalkan sejak akhir 2009, teknologi ini mulai diterapkan di Kecamatan Tutur yang merupakan sentra penghasil sapi perah. Proyek itu disponsori SNV, sebuah NGO asal Belanda melalui program Indonesia Domestic Biogas Program [IDBP].
Dengan difasilitasi Koperasi Peternakan Sapi Perah Setia Kawan, proyek yang dikerjakan HIVOS ini diwujudkan dengan membangun digester/bioreaktor di sejumlah titik. “Waktu itu hanya ada beberapa, karena sebagai percontohan,” jelas Kepala Dinas Peternakan Kabupaten Pasuruan, Irianto.
Hingga saat ini, berdasarkan data Dinas Peternakan, ada 18 desa yang sebagian masyarakatnya menggunakan biogas. “Pada 2016, sudah 1.350 digester dibangun. Sekarang, ada 1.857 unit,” jelasnya.
Irianto mengatakan, salah satu tujuan penggunaan biogas adalah mengembangkan dan mendorong kemandirian energi. Termasuk, untuk industri rumahan.
“Banyak keuntungan penggunaan biogas ini,” tuturnya.
Pertama, meningkatnya kesejahteraan di kalangan peternak. Sebagai gambaran, bila sebelum menggunakan biogas para peternak harus mengeluarkan biaya tambahan untuk konsumsi bahan bakar seperti gas elpiji atau yang lain, kini tidak lagi.
Kedua, petani bisa mendapatkan nilai tambah dari pupuk organik yang dihasilkan dari ampas biogas. Ketiga, ikut menjaga kebersihan lingkungan dengan tidak membuang kotoran sapi semabrangan. Keempat, berkontribusi terhadap pengurangan efek gas rumah kaca. Sebab, tanpa diolah, kotoran sapi yang dikeluarkan akan menghasilkan gas metan yang pada akhirnya terlepas ke atmosfer.
Berdasarkan data Indeks Statistik Lingkungan Hidup [ISLH] terbitan Badan Pusat Statisik [BPS] 2019, sektor pertanian dan peternakan memberi kontribusi cukup besar terhadap emisi gas rumah kaca. Bahkan, menempati nomor tiga setelah energi dan industri.
Kontribusi pertanian berasal dari penerapan pertanian tak ramah lingkungan. Misal, penggunaan pestisida berlebihan. Sementara sektor peternakan, salah satunya berasal dari gas tbuangan kotoran ternak. Pada 2017 lalu, kontribusi keduanya terhadap emisi gas rumah kaca mencapai 121, 6 juta ton. Meningkat dari tahun sebelumnya, sebesar 116, 6 juta ton.
Secara nasional, merujuk sumber data yang sama, jumlah populasi ternak sapi mencapai 17 juta ekor untuk jenis sapi potong. Sementara sapi perah, sebanyak 550 ribu ekor. Dari angka tersebut, Jawa Timur tercatat sebagai daerah denganjumlah terbanyak. Masing-masing mencapai 4,5 juta ekor sapi potong dan 283 ribu sapi perah.
Di Kabupaten Pasuruan, jumlah sapi perah, sesuai data Dinas Peternakan setempat mencapai 90 ribu ekor. Terbanyak di antara daerah-daerah yang ada di provinsi paling timur Pulau Jawa ini. Karena itu, peluang mengembangkan energi biogas terbuka lebar, sejalan dengan semangat pemerintah provinsi mewujudkan 2.000 kampung mandiri energi.
Kepala Seksi Sumberdaya Kawasan Peternakan, Dewi Ambarukmi mengatakan, beberapa tahun terakhir, jumlah bioreaktor terbangun terus mengalami perkembangan. Hasil pendataan 2018 menunjukkan, sebanyak 1.857 unit biorektor itu tersebar di 18 desa dan 12 kecamatan. Paling banyak, di Kecamatan Tutur dengan jumlah 1.330 unit. Di desa ini, kehadiran biogas tidak hanya dipakai keperluan memasak, tetapi, juga dimanfaatkan sebagai penerangan melalui lampu petromak.
Dijelaskan Dewi, pada awalnya, pembangunan biogas banyak dilakukan sebagai proyek percontohan. Tetapi, pada perkembangannya, sejumlah komunitas atau kelompok masyarakat berinisiatif membangun secara swadaya. Di Desa Panditan, Kecamatan Lumbang misalnya, dari 5 unit digester yang ada, seluruhnya dibangun mandiri.
Dewi melanjutkan, praktik biogas sejatinya sempat dilakukan dalam beberapa model dan bahan baku. Mulai dari urine hingga kotoran kambing. Dari serangkaian uji coba itu, kotoran sapi yang paling berhasil. “Kambing dan urin pernah kami coba juga, gas yang dihasilkan tidak maksimal,” jelasnya.
Kesadaran masyarakat meningkat
Ary Bachtiar, pengamat energi terbarukan dari Pusat Penelitian Energi Berkelanjutan [PPEB] Institut Teknologi Sepuluh Nopember [ITS] Surabaya mengatakan, perkembangan penggunaan biogas di Pasuruan menunjukkan kesadaran masyarakat akan energi ramah lingkungan baik. “Dan itu luar biasa,” terangnya.
Dikatakanna Ary, kemandirian energi melalui konversi energi menjadi topik utama pemerintah belakangan ini. Ancaman krisis energi seiring terbatasnya cadangan bahan bakar fosil, membuat pemerintah melakukan percepatan penggunaan alternatif sumber energi baru dan terbarukan. Salah satunya, biomassa.
Dalam konteks energi kerakyatan, penggunaan biogas paling realistis. Hanya, yang perlu dilakukan adalah bagaimana menjaga bioreaktor yang telah dibangun tetap terawatt. Bisa dipakai terus. “Paling penting adalah impact-nya terhadap lingkungan.”
Ary menjelakan, biogas dihasilkan dari sebuah proses fermentasi kedap udara [anaerobic] atas kotoran sapi oleh mikroba dalam ruang bioreaktor. Proses pembentukan gas dilakukan oleh bakteri. Komponen utama biogas adalah metana [CH2]. Gas inilah yang jika tidak ditangkap akan berkontribusi terhadap efek gas rumah kaca.
Menurut Ary, dari jumlah ternak yang ada di Pasuruan, total volume kotoran yang dapat dikumpulkan [rata rata berat sapi 400 kg menghasilkan kotoran sekitar 30 kg per hari], akan didapatkan 2.700 ton kotoran setiap harinya.
Jika dihitung potensi biogas, yang sehari bisa mencapai 61.500 meter kubik, maka daya total yang dikandung biogas adalah sebesar 14,8 MW. “Sehingga, apabila biogas tersebut dimanfaatkan untuk menggerakkan genset- gas engine dengan efisiensi 25% akan menghasilkan listrik sebesar 3,7 MW,” jelasnya. Selain itu, total emisi gas CO2 yang dihasilkan sekitar 50,7 ton per harinya.
Ary menuturkan, banyaknya kotoran menjadikan pengolahan sebagai hal penting. Sebab, jika tidak, keberadaannya akan berpotensi mengakibatkan pencemaran udara dan sumber air tanah.
Parameter penurunan kualitas air, umumnya berdasarkan kandungan fecal coli, total coliform, BOD [Biological Oxygen Demand], COD [Chemical Oxygen Demand] dan H2S. Air sungai yang tercemar sampah organik biasanya berbau tidak sedap. Hal itu disebabkan naiknya kadar BOD.
“Jika kadar BOD tinggi atau melebihi ambang batas, dampaknya adalah tumbuhan atau hewan yang ada di air sulit hidup. Bahkan mati, karena kekurangan oksigen,” tegasnya.
*Asad Asnawi, penulis adalah jurnalis Wartabromo. Artikel ini didukung Mongabay Indonesia.