- Mansur Pasang alias Manre (55), seorang nelayan dari Pulau Kodingareng Makassar masih berada dalam tahanan kepolisian sejak ditangkap pada 14 Agustus 2020 lalu dengan tuduhan penghinaan mata uang sebagai simbol negara.
- LBH Makassar sebagai kuasa hukum Manre mengajukan praperadilan karena menilai banyaknya kejanggalan dan pelanggaran dalam proses penahanan tersebut.
- IJCR dan ELSAM menilai proses hukum dan penahanan terhadap Manre yang menolak aktivitas pertambangan pasir laut PT Royal Boskalis tidak tepat dan berlebihan. Seharusnya aktivitas penolakan tambang pasir dilindungi sesuai ketentuan Anti-SLAPP dan UU No.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup
- IJCR dan ELSAM menilai bahwa pihak kepolisian tidak peka dan hati-hati dalam menggunakan upaya paksa penahanan di masa pandemi saat ini, hal ini harus menjadi perhatian langsung dari Kepala Kepolisian RI dan Presiden Joko Widodo.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar mengajukan permohonan pemeriksaan praperadilan ke Pengadilan Negeri (PN) Makassar terkait kasus penangkapan dan penahanan Mansur Pasang alias Manre, Jumat (28/08/2020), berdasarkan nomor pendaftaran perkara 15/Pid.Pra/2020/PN Mks, dengan termohon Kepala Kepolisian Republik Indonesia Cq. Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan Cq. Direktorat Kepolisian Perairan dan Udara Polda Sulawesi Selatan,
Manre (55), nelayan dari Pulau Kodingareng, Kota Makassar, saat ini sedang ditahan di Polda Sulsel sejak 14 Agustus 2020 setelah ditangkap secara paksa di dermaga Kayu Bangkoa, Makassar, dengan tuduhan pidana sengaja merusak mata uang rupiah sesuai pasal 35 ayat (1) UU No.7/2011 tentang Mata Uang.
Manre kemudian ditetapkan tersangka dan saat ini masih ditahan, dengan tuduhan telah merobek amplop yang berisi uang. Kasus ini sendiri bermula ketika 16 Juli 2020 lalu beberapa warga Kodingareng dihebohkan dengan adanya amplop pemberian dari PT Royal Boskalis terkait tambang pasir laut.
Menurut Edy Kurniawan, aktivis LBH Makassar yang menjadi kuasa hukum Manre, warga yang saban hari semakin kesal dengan keberadaan aktivitas tambang pasir laut di wilayah tangkap mereka, menolak pemberian barang apapun yang bersumber dari perusahaan itu sebagai respons atas upaya pelemahan penolakan mereka selama ini.
Edy menilai penangkapan dan penahanan tersebut adalah bentuk kriminalisasi terhadap Manre dengan dalih telah merendahkan kehormatan rupiah sebagai simbol Negara di mana terdapat sejumlah kejanggalan di dalamnya.
“Terdapat dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam proses penyidikan, yaitu sejak pembuatan laporan Polisi, surat-surat pemanggilan, penerbitan surat perintah penyidikan, penangkapan, penetapan tersangka dan penahanan, sehingga penetapan tersangka terhadap Manre dinilai dilakukan secara tidak sah dan menyalahi peraturan yang ada,” katanya.
baca : Tolak Tambang Pasir Laut, Manre Didakwa Penghinaan Mata Uang
Edy juga menilai Laporan Polisi (LP) model A yang mendasari tindakan penyidik terhadap Manre tidak memiliki kepastian hukum karena dibuat secara sewenang-wenang. Selain itu, pemanggilan dan tindakan penangkapan terhadap Manre dilakukan secara sewenang-wenang dengan melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga penetapan tersangka terhadap Manre tidak sah karena prosesnya secara nyata dilakukan dengan sewenang-wenang.
“Ditambah lagi, penahanan terhadap Pak Manre menunjukkan ketidakpekaan Direktorat Polairud Polda Sulsel terhadap kondisi masyarakat di masa pandemi COVID-19. Terlebih, pasal yang disangkakan, sama sekali tidak melibatkan adanya kekerasan, yang seharusnya menjadi pertimbangan untuk tidak memprioritaskan penahanan. Apalagi secara usia, Pak Manre yang berusia tua sangat rentan terpapar COVID-19.”
Upaya pemeriksaan praperadilan ini, lanjut Edy, diajukan demi memastikan kepolisian dalam penegakan hukum tidak dilakukan secara semena-mena secara melawan hukum dan berhenti menggunakan kewenangan yang dimilikinya dalam melakukan kriminalisasi terhadap masyarakat kecil-nelayan yang sedang berjuang mempertahankan hak atas ruang penghidupannya.
baca juga : Tambang Pasir Laut di Makassar Rampas Ruang Hidup Nelayan
Desakan IJCR dan ELSAM
Kasus hukum yang menjerat Manre juga mendapat perhatian dari Institute for Criminal Justice Reform (IJCR) dan Lembaga Studi dan Masyarakat (ELSAM).
IJCR dan ELSAM dalam rilisnya, Senin (24/8/2020), menilai proses hukum dan penahanan terhadap Manre tidak tepat dan berlebihan, merujuk rumusan pasal 35 ayat (1) UU Mata Uang dan kasus yang berhubungan dengan lingkungan, maka harusnya polisi melakukan penyelidikan lebih dalam kasus ini.
Menurut Erasmus A. T. Napitupulu, Direktur Eksekutif ICJR, unsur kesengajaan dengan maksud adalah unsur yang utama. Pasal ini berbunyi “Setiap orang yang dengan sengaja merusak, memotong, menghancurkan, dan/atau mengubah Rupiah dengan maksud merendahkan kehormatan Rupiah sebagai simbol negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”, maka unsur kesengajaan dengan maksud “merendahkan kehormatan Rupiah sebagai simbol negara” adalah hal mutlak yang harus dibuktikan dalam kasus ini.
“Dalam berbagai pemberitaan, Pak Manre menyatakan dirinya tidak tahu bahwa dalam amplop yang diberikan oleh perusahaan penambang pasir laut yang dirinya kritik berisi uang. Hal ini adalah keterangan yang sangat penting, sebab kesengajaan merusak mata uang adalah unsur yang sangat menentukan dalam kasus ini,” ungkap Erasmus.
Lebih lanjut dikatakan bahwa bahkan bila isi dalam amplop tersebut tetap diketahui berisi uang, maka Manre belum bisa dianggap melanggar ketentuan pasal 35 ayat (1) UU Mata Uang, sebab pasal ini mengehendaki kesengajaan itu dengan tujuan “merendahkan kehormatan Rupiah sebagai simbol negara”.
“Sementara Manre menolak merobek amplop tersebut dengan tujuan sebagai simbol perlawanan terhadap penambangan pasir di daerah dirinya mencari nafkah sebagai nelayan, bukan untuk merendahkan mata uang rupiah,” tambahnya.
perlu dibaca : Aksi Penolakan Nelayan dan Sengkarut Tambang Pasir Laut di Makassar
Sedangkan Andi Muttaqien, Deputi Direktur Advokasi ELSAM, hukum Indonesia mengenal pengaturan anti-Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP) dan Perlindungan Kebebasan Berekspresi. Perbuatan yang dilakukan Manre, kata Erasmus, harus dibaca senada dengan perjuangannya melawan keberadaan penambang pasir laut yang dianggapnya merusak lingkungan tempatnya mencari nafkah sebagai nelayan.
Rujukannya pada Pasal 66 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup menyatakan “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.” Selain itu, Mahkamah Agung juga mengeluarkan SK Ketua MA No.36/KMA/5K/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup untuk memperkuat posisi Anti-SLAPP di Indonesia.
“Dalam kacamata ini, maka Pak Manre harusnya tidak boleh dituntut secara pidana. Terlebih apa yang dilakukannya adalah bagian dari ekspresi politik atau political statement, bagian dari kebebasan berekspresi yang sah. Ditambah sekali lagi beliau juga dapat dikategorikan sebagai pejuang lingkungan hidup berdasarkan isu dan ekspresi yang dilakukan,” katanya.
IJCR dan ELSAM juga menilai penahanan yang dilakukan kepada Manre berlebihan dan menunjukkan ketidakpekaan aparat penegak hukum terhadap kondisi masyarakat di masa pandemi, di mana seluruh pihak di dalam sistem peradilan pidana sedang berusaha keras mengurangi jumlah tahanan dari dalam fasilitas penahanan untuk mencegah terjadinya penularan Covid-19 di dalam fasilitas.
Meskipun pasal yang digunakan untuk menjerat Manre ancamannya lebih dari lima tahun, namun demikian Kepolisian yang memiliki kewenangan untuk melakukan penahanan harus dapat melihat urgensi dari pelaksanaan upaya paksa ini dengan lebih baik.
“Terlebih, pasal yang diancamkan kepada Pak Manre, sama sekali tidak melibatkan adanya kekerasan, yang seharusnya menjadi bahan pemikiran bagi Kepolisian untuk tidak memprioritaskan penahanan terhadapnya,” tambah Andi.
Berdasarkan poin-poin di atas, ICJR dan ELSAM menilai bahwa Manre tidak layak untuk diproses hukum karena melakukan perbuatan merusak mata uang dan karena beliau harusnya dilindungi berdasarkan ketentuan Anti-SLAPP yang diatur di Indonesia dan perlindungan kebebasan berekspresi yaitu ekspresi politiknya, sehingga seharusnya proses pidana terhadap beliau dihentikan.
“Selain itu, kami menilai bahwa pihak kepolisian tidak peka dan hati-hati dalam menggunakan upaya paksa penahanan di masa pandemi saat ini, hal ini harus menjadi atensi langsung dari Kepala Kepolisian RI dan Presiden Joko Widodo,” ujar Andi.
penting dibaca : Rugikan Nelayan, Walhi Sulsel Tuntut Penghentian Tambang Pasir dan Pembangunan Makassar New Port
Kasus Manre ini juga mendapat perhatian publik. Selain melalui aksi di car free day (CFD), dukungan juga muncul di change.org dalam bentuk petisi: “Bebaskan Pak Manre’, Hentikan Kriminalisasi Nelayan Pulau Kodingareng”. Hingga saat ini terdapat 6.284 yang turut menandatangani petisi ini.
Sedangkan Direktur Polair Polda Sumsel Kombes Pol Hery Wiyanto mengatakan tiga nelayan yang ditangkap sedang diinterogasi sebagai saksi. “Masih diinterogasi dan di-BAP sebagai saksi,” ujarnya seperti dikutip dari Tirto, Senin (24/8/2020).
Sementara terkait kasus perobekan uang, Kabid Humas Polda Sulsel Komisaris Besar Polisi Ibrahim Tompo mengatakan telah melakukan pemeriksaan terhadap sembilan saksi dan dua ahli. “Sekarang tahap melengkapi berkas,” ujarnya.
***
Keterangan foto utama : Nelayan Pulau Kodingareng mengikutsertakan keluarga dalam aksi di tengah laut. Foto: Walhi Sulsel