- Keberadaan tenaga kerja Indonesia yang bekerja di atas kapal perikanan asing selama ini banyak yang mengalami manfaat secara ekonomi. Tetapi, selama ini juga tidak sedikit yang mendapat kesialan karena perlakuan tidak menyenangkan saat sedang bekerja
- Perlakuan tidak menyenangkan kepada awak kapal perikanan (AKP) menjadi persoalan serius karena bisa berujung pada kematian. Para AKP di antaranya banyak yang mendapatkan praktik kerja paksa, dan tindak pidana perdagangan orang (TPPO)
- Salah satu upaya agar bentuk pencegahan dan penghapusan praktik bisa dilakukan, maka Pemerintah Indonesia wajib untuk melakukan harmonisasi peraturan yang saat ini ada dan berlaku. Dengan cara tersebut, diharapkan tidak ada lagi AKP yang mengalami kesusahan di atas kapal
- Langkah yang bisa dilakukan oleh Pemerintah, adalah dengan berkoordinasi bersama pemangku kepentingan terkait, utamanya dengan agen penyalur tenaga kerja untuk melakukan pendataan keberadaan AKP yang bekerja pada kapal perikanan, baik legal atau ilegal
Pemerintah Indonesia harus segera melakukan harmonisasi peraturan yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap tenaga kerja Indonesia yang berprofesi sebagai awak kapal perikanan (AKP). Harmonisasi harus dilakukan dengan mengacu pada peraturan internasional yang saat ini berlaku.
Perlunya melakukan harmonisasi peraturan, karena sampai saat ini perlindungan kepada AKP masih dinilai sangat rendah dan hampir tidak ada. Padahal, resiko pekerjaan sebagai AKP saat berada di atas kapal penangkap ikan di dalam ataupun luar negeri sangatlah tinggi.
Demikian diungkapkan Asisten Deputi Bidang Keamanan dan Ketahanan Maritim Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Basilio Araujo, Senin (14/9/2020) di Tegal, Jawa Tengah. Menurut dia, sampai saat ini AKP asal Indonesia masih sering mendapatkan praktik eksploitasi saat sedang bekerja.
“Seperti praktik kerja paksa dan perdagangan orang dalam industri perikanan tangkap (yang) masih kerap terjadi,” jelas dia.
Dengan adanya peraturan yang jelas dan tegas, maka kepastian hukum untuk seluruh AKP yang akan dan sedang bekerja di atas kapal perikanan di dalam ataupun luar negeri akan segera terwujud. Jika itu terjadi, maka para AKP bisa bekerja dengan tenang tanpa ada rasa ketakutan ataupun kekhawatiran.
baca : Menanti Ratifikasi Norma Perlindungan bagi Awak Kapal Perikanan
Direktur SAFE Sea Project Nono Sumarsono pada kesempatan yang sama menjelaskan, untuk menciptkan perlindungan AKP maka diperlukan penguatan edukasi, komunikasi, dan koordinasi antar pemerintah, sektor swasta, LSM dan juga masyarakat.
“Upaya tersebut bisa memperkuat mekanisme pengaduan dan sistem rujukan AKP yang efektif, transparan dan akuntabel,” tutur dia.
Agar proses penguatan bisa terjadi, penataan ulang peraturan dan perizinan untuk melindungi AKP di industri perikanan tangkap penting untuk segera dilakukan. Pendekatan tersebut penting untuk diwujudkan, karena akan ada banyak regulasi yang bisa memberikan perlindungan lebih baik kepada AKP.
Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Antonius PS Wibowo mengungkapkan, mekanisme pengaduan dan sistem rujukan bisa disusun dengan mengacu pada dua pendekatan, yakni multiple entry service dan one stop service.
Untuk multiple entry service, itu mengandalkan jejaring kerja kementerian dan lembaga. Sedangkan one stop service, itu adalah memberi perlindungan kepada AKP yang menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
“Di antaranya berupa bantuan medis, psikologis, perlindungan hukum, dan restitusi,” jelas dia.
baca juga : Pekerjaan Rumah Pemerintah untuk Melindungi Awak Kapal Perikanan
Hukum
Pada kesempatan yang sama, Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Benny Riyanto mengatakan, AKP yang sedang terlibat masalah hukum berkaitan dengan pekerjaannya berhak untuk mendapatkan bantuan hukum dari lembaga hukum ataupun negara.
Bantuan tersebut diberikan terutama kepada AKP yang tergolong masuk dalam kelompok ekonomi kurang mampu. Kepada AKP yang masuk golongan tersebut, maka bantuan hukum yang akan diberikan akan bersifat cum-cuma alias tidak dipungut biaya sama sekali.
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan pada kesempatan sebelumnya menyatakan bahwa perlindungan hukum terhadap AKP yang bekerja di atas kapal perikanan milik investor negara lain memang masih sangat lemah.
Salah satu buktinya, sepanjang peridoe 22 November 2019 sampai 19 Juli 2020 atau selama periode tujuh bulan, sedikitnya ada 13 orang AKP yang sudah menjadi korban selama bekerja di atas kapal ikan berbendera Republik Rakyat Tiongkok (RRT).
Dari 13 orang AKP tersebut, 11 orang diketahui meninggal dunia dan dua orang lainnya dinyatakan hilang. Setelah itu, kemudian ada seorang ABK asal Kota Bitung, Provinsi Sulawesi Utara bernama Fredrick Bidori yang meninggal dunia di sebuah rumah sakit di Peru pada 19 Juli 2020.
“Dia meninggal dunia setelah mengalami kecelakaan kerja di kapal ikan berbendera Tiongkok, Lu Yan Tuan Yu 016,” jelas dia.
perlu dibaca : Moratorium Pengiriman Awak Kapal Perikanan Harus Diwujudkan
Dalam kasus yang menimpah AKP Indonesia yang bekerja pada kapal ikan berbendera RRT, Abdi Suhufan menerangkan bahwa ada indikasi AKP Indonesia terkena praktik kerja paksa, perdagangan, dan penyelundupan orang.
AKP yang sudah meninggal dunia, rerata karena mendapatkan praktik kerja paksa seperti kekerasan fisik intimidasi dan ancaman, kondisi kerja dan kehidupan yang kejam di atas kapal. Selain itu, ada juga modus penyelundupan orang yang dialami AKP bernama Eko Suyanto.
Kasus Eko mengemuka karena dia diketahui ditransfer dari kapal ikan RRT bernama FV Jin Shung pada Mei 2020 lalu ke sebuah kapal milik nelayan di Pakistan. Pada saat ditransfer, kondisi Eko diketahui sedang dalam kondisi sakit.
“Eko kemudian terlantar dan meninggal di pelabuhan Karachi, Pakistan pada Mei 2020 lalu. Setelah wafat, masalah yang dihadapi juga belum selesai, sebab para korban masih mengalami pemotongan upah dan gaji yang tidak dibayarkan,” tutur dia.
Menurut Abdi Suhufan, selain Eko dan 13 orang AKP yang mengalami nasib nahas di atas kapal ikan, masih ada puluhan orang AKP lain asal Indonesia yang mengalami nasib serupa dan bekerja pada kapal ikan RRT. Mereka semua, saat ini masih bekerja untuk menangkap ikan di laut internasional.
Dengan kondisi yang tidak nyaman, para AKP merasa terjebak karena harus bekerja di tengah kondisi yang tidak adil dan mendapatkan perlakuan berupa penindasan dari kru kapal yang lain. Bahkan, akibat perlakuan tidak baik itu, tidak sedikit AKP yang akhirnya minta dipulangkan ke Indonesia.
baca juga : Negara Harus Jeli Telusuri Jejak Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal Perikanan
Pencegahan
Agar tidak lagi ada AKP yang mendapat perlakuan praktik tidak menyenangkan di atas kapal perikanan, Abdi Suhufan mendesak Pemerintah Indonesia untuk melaksanakan langkah-langkah pencegahan dan penghentian terhadap praktik kekerasan.
Adapun, langkah-langkah yang harus dilakukan Pemerintah adalah, melakukan koordinasi dengan Pemerintah Daerah dan asosiasi agen penyalur (manning agent) untuk pendataan keberadaan AKP yang bekerja pada kapal perikanan RRT, baik yang legal ataupun ilegal.
“Pemerintah harus bisa memastikan satus dan keberadaan mereka saat ini untuk mengambil langkah antisipasi, seperti repatriasi untuk AKP yang bekerja di kapal ikan bermasalah, di mana mereka mengalami kekerasan dan penyiksaan,” sebut dia.
Langkah kedua, Pemerintah perlu menjamin dan memastikan hak-hak para korban AKP bisa diterima oleh ahli waris masing-masing korban. Untuk itu, keluarga korban perlu mendapat pendampingan dan perlindungan supaya tidak dipermainkan oleh calo kasus.
Ketiga, aparat penegak hukum Indonesia perlu melakukan penyelidikan terhadap sejumlah agen penyalur (manning agent) pengirim AKP yang meninggal, karena ikut bertanggungjawab atas kematian yang dialami.
“Mereka membawa WNI ke luar negeri dengan maksud untuk dieksploitasi,” kata dia.
Koordinator Program SAFE Seas Project DFW Indonesia Muhamad Arifuddin mengatakan, agar tidak semakin banya korban AKP, perlu ada strategi pencegahan melalui pemberian edukasi kepada manning agent dan calon AKP migran Indonesia yang akan bekerja di kapal ikan asing.
“Sebelum berangkat, mereka perlu diberikan edukasi tentang resiko, indikator kerja paksa dan perdagangan orang agar tidak terjebak dalam pekerjaan yang beresiko dan praktik perbudakan di kapal ikan asing,” tegas dia.
Berdasarkan data pengaduan yang dirilis Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (B2PMI), sepanjang 2018 hingga pertengahan 2020 ada lima jenis pengaduan yang mendominasi dari total 389 aduan yang masuk.
Kelima jenis aduan itu, adalah kasus gaji yang tidak dibayar, meninggal dunia di negara tujuan, kecelakaan, kasus dipulangkan, dan penahanan paspor atau dokumen lainnya oleh perusahaan penempatan pekerja migran.
Kemudian, dari data LPSK, jumlah permohonan perlindungan AKP dari TPPO juga naik secara signifikan dari 6 pemohon pada 2018 menjadi 64 pemohon pada 2020.