- Indonesia merupakan rumah bagi 13 spesies rangkong. Dari jumlah tersebut, 2 jenis merupakan spesies endemik Sulawesi, yakni julang sulawesi [Rhyticeros cassidix] dan kangkareng sulawesi [Rhabdotorrhinus exarhatus].
- Rangkong merupakan satwa yang sangat bergantung pada hutan, namun juga berkontribusi pada keberlanjutan lingkungan. Mereka tinggal dalam sarang-sarang alami yang terdapat pada lubang pohon.
- Konservasi rangkong masih menghadapi sejumlah ancaman seperti diburu untuk dikonsumsi, dipelihara, diperdagangkan hingga rusaknya habitat.
- Masyarakat Minahasa telah cukup berinteraksi dengan rangkong. Mereka menyebutnya burung taong atau disebut juga burung uak, sesuai suaranya. Burung ini dianggap sakral dan menjadi simbol nilai-nilai luhur.
Indonesia merupakan rumah bagi 13 spesies rangkong, angka itu menempatkan negara kita penting dalam konservasi rangkong. Dari jumlah tersebut, 2 jenis merupakan spesies endemik Sulawesi, yakni julang sulawesi [Rhyticeros cassidix] dan kangkareng sulawesi [Rhabdotorrhinus exarhatus].
Keduanya, masuk daftar merah IUCN dengan kategori Rentan [Vulnerable). Statusnya juga dilindungi Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 106 tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.
Julang sulawesi memiliki panjang tubuh hingga 104 cm dengan berat mencapai 2,36-2,5 kilogram. Tubuh dan sayapnya berwarna hitam, ekor putih, sementara kakinya hitam. Individu jantan memiliki balung berwarna merah tua, sedangkan betina berwarna kuning yang ukurannya lebih kecil.
Sementara kangkareng sulawesi, sering juga disebut kangkareng kerdil. Ukurannya diperkirakan sebesar 53 cm. Tubuhnya berwarna hitam, sementara ekor dan punggungnya hijau. Pada individu jantan, muka dan tenggorokannya berwarna kuning sedangkan sang betina berwarna hitam.
Dalam webinar bertema “Kenapa Harus Kenal Rangkong Sulawesi?” pada Jumat [18/9/2020], diketahui bahwa rangkong memiliki wilayah jelajah antara 39,8-55,8 km2. Namun sumber lain memperkirakan, spesies ini bisa menjelajahi wilayah seluas 100.000 hektar.
Baca: Bukan Perburuan, Ancaman Kebakaran yang Menghantui Cagar Alam Tangkoko
Suer Suryadi, pelopor peneliti rangkong di Sulawesi mengatakan, burung ini tidak bisa tinggal di daerah monokultur. Dia sangat bergantung pada hutan, dengan memberi kontribusi pada keberlanjutan lingkungan.
“Rangkong sanggup mengkonsumsi 2-15 buah per menit. Sehingga, ketika temboloknya penuh, bisa sampai 300-400 gram,” terang Suer yang pernah melakukan riset julang sulawesi di Tangkoko, Sulawesi Utara.
Di hutan, rangkong menjadikan lubang-lubang alami pada pohon sebagai sarangnya. Meski demikian, diketahui pula beberapa rangkong bersarang di lubang karst, misalnya di wilayah Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung. Lubang-lubang itu merupakan tempat paling aman untuk berkembang biak serta menghindari pemangsa.
Setelah betina menentukan pasangannya, mereka akan hidup bersama dalam sarang. Uniknya, rangkong merupakan spesies monogami. Mereka hanya memiliki satu pasangan, hidup bersama hingga salah satunya mati.
“Selama bersarang, kebutuhan makan sangat bergantung pada jantan. Sehingga, ketika jantan mati atau tidak kembali, besar kemungkinan betina dan anaknya juga akan mati,” tambah Suer.
Baca: Kangkareng Sulawesi, Jenis Istimewa yang Hanya Ada di Indonesia
Ancaman terhadap rangkong
Konservasi rangkong sejauh ini masih menghadapi ancaman seperti diburu untuk dikonsumsi, dipelihara, diperdagangkan, serta rusaknya habitat.
Yoyok Hadiprakarsa, pendiri dan peneliti dari Rangkong Indonesia memaparkan, interaksi antara manusia dengan rangkong diketahui terjadi sejak lama. Penilaian itu dibuktikan dengan adanya relief di Candi Prambanan sejak 850 Masehi. Kemudian, pada abad 14 di masa pemerintahan Dinasti Ming, paruh rangkong gading sudah dijadikan target perburuan.
Selain itu, masyarakat di beberapa tempat di Indonesia menjadikan rangkong sebagai rujukan simbol dan nilai luhur. Cara pengambilan beserta orang yang mengambil pun tidak sembarangan. Namun belakangan, dia menilai, nilai luhur itu mulai pudar yang digantikan komersialisasi. “Kalau nilai budayanya itu bagus. Saya mengajak masyarkat untuk melindungi rangkong,” katanya.
Tahun 2013, Yokyok melanjutkan, pihaknya mencatat terdapat 6 ribu paruh rangkong yang dijual di pasar global. Sementara, pada 2012 hingga 2019, diperkirakan sebanyak 3.480 paruh rangkong disita Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Tiongkok, dalam upaya penyelundupan.
“Rangkong sudah dilindungi sejak zaman Belanda. Meski demikian ancamannya masih tinggi,” ujarnya. “Baru-baru ini, ditangkap rangkong gading hidup di Vietnam, sumbernya masih ditelusuri. Ini praktik lama. Tahun kemarin disita di Uni Emirat Arab, sebagai binatang peliharaan.”
Yoyok menilai, hingga saat ini masih ada anggapan keliru dari sebagian masyarakat. Misalnya, fenomena memelihara rangkong yang didasari oleh niat melestarikan spesies tersebut. Padahal, bagaimanapun juga, menurut dia, tempat hidup terbaik bagi rangkong adalah hutan.
“Ada anggapan, memelihara rangkong adalah melestarikan ketimbang mati. Ini salah. Lebih baik di alam,” jelasnya.
Baca: Kampanye Tangkoko dalam Karya Fotografer Lokal
Billy Gustafianto, Manager Pusat Penyelamatan Satwa Tasikoki [PPST] menambahkan, terdapat beberapa peristiwa penyelamatan rangkong di wilayah Sulawesi Utara. Pada 2009, PPST merehabilitasi rangkong betina yang kemudian dilepasliarkan tahun 2013 di hutan Tangkoko. Saat ini, terdapat tiga julang papua yang direhabilitasi di PPST.
“Tahun 2018, ada satu sitaan dari Gakkum Manado dari pedagang burung. Kemudian ada juga sitaan dari Filipina dikembalikan ke Indonesia, lewat PPST. Kami mengupayakan burung-burung ini dikembalikan ke habitat asalnya,” ujar Billy.
Baca juga: 100 Tahun Tangkoko, Apakah Ekowisata Berorientasi Lingkungan dan Masyarakat Setempat?
Burung sakral
Masyarakat Minahasa juga diketahui memiliki interaksi cukup lama dengan rangkong. Mereka menyebutnya burung taong atau uak, sesuai suaranya. Ivan Kaunang, akademisi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sam Ratulangi mengatakan, burung ini mendapat tempat khusus atau tertinggi dalam ekspresi kebudayaan manusia.
Uak, dalam kebudayaan Minahasa dikategorikan sebagai burung sakral. Karena, di antara berbagai jenis burung, paruh burung uak merupakan yang paling besar. Ini melambangkan dunia atas serta sifat-sifat langit.
Dalam ritual Mawuaya, Waraney [ksatria] yang berjasa akan mendapat penghargaan berupa ikat kepala terbuat dari rotan, di bagian depannya terdapat paruh uak. Dalam ritual ini terdapat pula pemanggilan burung melalui syair-syair doa. Jika Sang Kuasa merestui, burung itu akan datang.
“Itu yang kemudian diambil, dan paruhnya diletakkan pada kepala Waraney. Jadi, bukan orang sembarangan yang menggunakan simbol ini,” masih menurut Ivan Kaunang.
“Dulu, pengambilan sesuatu dari hutan ada berbagai macam ritual, dan hanya untuk kebutuhan tertentu. Begitu juga ketika berburu,” pungkasnya.