- Suku Jerieng adalah suku beretnis melayu tertua di Pulau Bangka yang berada di 13 desa di Kecamatan Simpang Teritip, Kabupaten Bangka Barat, Provinsi Bangka Belitung.
- Suku Jerieng punya ikatan kuat dengan alam. Di kebun yang tidak lebih satu hektar, mereka tanami padi, lada, durian, kunyit, lengkuas, dan umbi-umbian.
- Namun kini, ruang hidup Suku Jerieng yang berada di Desa Berang, Kecamatan Simpang Teritip, Kabupaten Bangka Barat, kian terdesak perkebunan sawit dan hutan tanaman industri.
- Tikar Kuang merupakan kerajinan turun temurun masyarakat Suku Jerieng yang saat ini tetap dipertahankan. Sementara kerajinan lainnya seperti bakul nasi, wadah padi, juga tas selempang tidak dibuat lagi karena kalah bersaing dengan produk dari plastik.
Baca sebelumnya: Jerit Suku Jerieng, Ruang Hidupnya Terdesak Perkebunan Sawit dan HTI [Bagian 1]
**
Rotini melangkahkan kaki di antara semak belukar yang mendominasi hutan rawa di Desa Berang, Kecamatan Simpang Teritip, Kabupaten Bangka Barat, Provinsi Bangka Belitung.
Sesekali, perempuan dari Suku Jerieng itu terperosok ke gambut yang dalamnya sekitar satu meter. Tidak lama kemudian, dia menemukan satu rumpun pandan, atau sering disebut kuang.
“Ini dia yang dicari, sekarang jumlahnya makin berkurang. Jadi, saat mengambil kuang, kami tidak boleh menebang batangnya, harus disisakan agar tumbuh lagi,” katanya, sembari memilah lalu memotong daun tersebut.
Perubahan bentang alam yang terjadi di lingkungan Suku Jerieng, khususnya di Desa Berang, akibat meluasnya perkebunan sawit hanya menyisakan 200 hektar lahan pertanian masyarakat.
Di hutan rawa sekitar Sungai Peratap seluas 50 hektar itu, kuang masih ditemukan. Kuang merupakan bahan baku kerajinan tikar masyarakat Jerieng sekaligus sebagai sumber ekonomi alternatif.
“Awalnya saya prihatin melihat ibu-ibu yang tidak diterima bekerja di perusahaan sawit, karena melewati usia produktif. Saya berinisiatif mengembangkan kerajinan tikar ini. Dengan harapan bisa membantu sekaligus melestarikan hutan tersisa di desa kami,” kata Rotini, ketua kelompok pengrajin tikar kuang Suku Jerieng, kepada Mongabay Indonesia, Minggu [20/9/2020].
Baca: Jejak Suku Lom, Perlahan Hilang Akibat Tergerus Tambang

Tikar Kuang merupakan kerajinan turun temurun masyarakat Suku Jerieng. Di masa kolonial, mereka sering menjualnya ke pedagang etnis Tionghoa untuk ditukarkan dengan berbagai kebutuhan rumah tangga, seperti gula dan garam.
“Para pedagang singgah ke desa kami. Mereka menyukai karena bahannya yang lembut dan tahan lama, sangat cocok digunakan di toko mereka,” kata Roini [83], generasi ketiga Suku Jerieng.
Selain tikar, produk kerajinan masyarakat Jerieng lainnya adalah bakul nasi [lajong], wadah padi [pitang dan kideng], juga tas selempang.
“Sebelum adanya plastik, hampir semua peralatan sehari-hari kami memanfaatkan kuang. Sekarang, masih digunakan tapi hanya segelintir orang,” lanjutnya.
Baca: Bukan Timah atau Sawit, tapi Lada dan Durian yang Membuat Warga Kota Kapur Kembali Bergairah

Saat ini, hanya tikar yang diperjualbelikan dengan cara mempromosikan di media sosial dan dari mulut ke mulut. Satu buah tikar dijual dengan kisaran 80 ribu hingga 200 ribu Rupiah.
“Dulu pernah saya ajukan ke pemerintah setempat untuk mempromosikan dan memberdayakan para pengrajin tikar kuang. Tetapi, hingga saat ini belum ada respon. Padahal, dengan melestarikan tikar kuang, kita turut melindungi alam sekitar serta menjaga warisan leluhur Suku Jerieng,” katanya.
Baca juga: Selain Rusak Lingkungan, Tambang Timah di Bangka Juga Makan Korban Jiwa

Tingkatkan kesadaran
Usaha Rotini mengembangkan tikar kuang, alhasil turut meningkatkan kesadaran masyarakat Suku Jerieng untuk menjaga hutan.
“Tahun 2010 lalu, para pekerja pernah menambang di sekitar Sungai Peratap, tempat tumbuhnya kuang. Kami, para ibu mengusir mereka yang hingga sekarang mereka tidak berani kembali,” ujarnya.
Hadirnya HTI pada 2020, juga ancaman serius bagi keberlanjutan kuang di sekitar Sungai Peratap. Meski sejumlah aksi telah dilakukan masyarakat Suku Jerieng hingga ke provinsi, namun hingga saat ini belum ada tanda-tanda izin konsesi seluas 66.640 hektar di Kabupaten Bangka Barat itu dicabut.
“Hadirnya HTI tentu saja akan menghilangkan kebudayaan, tradisi, serta kerajinan warisan leluhur seperti tikar kuang, yang sekarang bahannya semakin sulit didapat, karena hutan menyempit,” tegas Rotini.

Tidak diketahui
Elfiyena, Kepala Dinas Koperasi dan UKM Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, menjelaskan pihaknya belum mengetahui adanya produk kerajinan dari Suku Jerieng.
“Memang, kami belum turun ke daerah Simpang Teritip [Suku Jerieng]. Mereka bisa terlebih dahulu berkoordinasi dengan dinas kabupaten. Sejauh ini, kami baru membina dan melatih masyarakat di sekitar Desa Kota Kapur dan Kota Waringin yang mempunyai kerajinan lidi nipah,” katanya kepada Mongabay Indonesia, Selasa [06/10/2020].

Elfiyena mengaku, saat ini sudah ada ratusan UMKM di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang tercatat dan bergabung dalam Pusat Layanan UMKM Terpadu [PLUT].
“PLUT ini kami ibaratkan sebagai rumah sakit bagi UMKM. Bagi yang mengalami kesulitan, baik dalam hal pemasaran, pengemasan dan lain sebagainya, PLUT bisa menjadi rumah konsultasi. Di PLUT ini kami mempunyai orang-orang yang ahli dan paham terhadap berbagai permasalahan UMKM masa kini,” lanjutnya.
Di masa pandemi, Elfiyena juga memberi pesan kepada UMKM untuk terus berinovasi. “Sekarang sudah serba digital, jadi para pelaku UMKM harus bisa beradaptasi. Harapannya, daya saing produk lokal dapat bersaing di kancah nasional bahkan internasional,” paparnya. [Selesai]