Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan karst cukup luas. Dari ujung barat hingga ujung timur, luas karst di negeri ini sekitar 154 kilometer persegi. Tak perlu heran, Indonesia sangat kaya akan jaringan gua. Jumlahnya jauh lebih banyak dibandingkan sungai maupun gunung.
Menurut Ferry Saputra Usro, pengelola Buniayu Adventure, yang fokus pada pengembangan wisata petualangan susur gua, seperti dikutip republika.co.id, beberapa waktu lalu, hampir 90 persen gua yang ada di permukaan Bumi terbentuk karena faktor karst.
Karst merupakan suatu daratan yang tersusun dari batu-batu gamping. Saat air hujan merembes ke bebatuan itu, perlahan mengikisnya dan kemudian membentuk sebuah bentang alam khas kawasan karst berupa gua-gua, aliran sungai bawah tanah maupun tebing-tebing berbatu curam.
Di masa silam, manusia purba memfungsikan gua sebagai tepat tinggal dan tempat berlindung. Pada masa sekitar 3.000 tahun lalu, manusia dan binatang buas saling berebut tempat tinggal di gua [Alfarizi, 2019].
Tentu saja, kini, di masa moderen, ketika aktivitas kehidupan nyaris seluruhnya melibatkan teknologi digital, gua sudah tidak lazim lagi sebagai tempat tinggal dan berlindung manusia.
Dilihat dari bentuknya, secara garis besar, gua yang ada di dunia ini terbagi tiga kelompok.
Pertama, gua vertical, dengan mulut tegak. Untuk memasuki dan mejelajahinya, kita membutuhkan sejumlah alat bantu.
Kedua, gua horizontal, yang umumnya memiliki mulut cenderung mendatar. Dengan demikian, siapapun dengan mudah memasuki dan menjelajahinya.
Ketiga, gua bawah air yang lorong masuknya dipenuhi genangan air. Untuk memasuki dan menjelajahinya, kita harus berenang atau bahkan menyelam.
Baca: Gua-Gua Alam Gunung Bongkok, Surga Tersembunyi di Pegunungan Halimun
Wisata petualangan
Dewasa ini, selain sebagai objek penelitian untuk tujuan keilmuan, gua-gua yang ada juga menjadi wahana bagi aktivitas wisata petualangan susur gua, yang di Barat disebut sebagai speleo tourism.
Gua merupakan sumber daya alam berpotensi besar untuk mengembangkan pariwisata dan mengerek pertumbuhan ekonomi penduduk lokal, serta mendorong peningkatan kesadaran dan pendidikan lingkungan masyarakat [Rindam, 2014 & Okonkwo et al, 2017].
Berdasarkan kajian National Geography Society [2002], wisata petualangan susur gua adalah wisata yang mampu menopang atau meningkatkan karakter geografis suatu tempat dan lingkungan di sekitarnya. Selain itu, wisata ini juga membantu meningkatkan warisan, estetika, budaya, dan kesejahteraan penduduk lokal.
Sudah tentu, sisi positif wisata petualangan susur gua ini hanya bisa diraih apabila pengelolaannya dilakukan dengan baik pula.
Karena jika asal-asalan, yang terjadi adalah kerusakan masif pada lingkungan tempat wisata petualangan susur gua itu dilakukan. Pada gilirannya, berimbas pada rusaknya ekosistem kawasan keseluruhan. Seperti kita ketahui, kawasan karst masuk kategori wilayah ringkih, perubahan sekecil apa pun bakal segera menimbulkan kerusakan.
Baca: Karst dan Gua-Gua Alam: Sisi Lain Kekayaan Kepulauan Aru yang Perlu Diketahui
Gua-gua tertentu mungkin saja dalam kategori sangat rawan bagi terjadinya kerusakan. Dalam hal ini, jumlah kunjungan wisatawan sangat perlu dibatasi. Semakin banyak jumlah pengunjung, dikhawatirkan semakin besar kemungkinan terjadinya kerusakan lingkungan gua.
Kerusakan bisa berupa perubahan struktur fisik dan hidrologi gua, pergerakan udara dan iklim mikro, pemadatan atau pelembekan permukaan, penghancuran formasi dan pemusnahan fauna yang ada. Munculnya organisme asing, meningkatnya polutan, terjadinya erosi serta berubahnya struktur vegetasi gua adalah ancaman lain yang juga harus diperhatikan.
Kerusakan lingkungan gua bisa pula terjadi dengan rusaknya pintu masuk atau terhalangnya akses masuk karena tumpukan sampah, serta terjadinya penurunan kualitas air, baik di dalam maupun sekitar gua.
Baca juga: Gua ini Telah Ditinggali Manusia selama 78,000 tahun. Teori Migrasi Manusia Berubah?
Perlu diperhatikan
Prosedur keselamatan dibutuhkan untuk menjamin keselamatan para wisatawan yang melakukan aktivitas wisata petualangan susur gua. Terkait hal ini, Himpunan Kegiatan Spelelogi Indonesia [Hikespi] telah menyusun beberapa panduan dasar, yang perlu diperhatikan oleh mereka yang akan melakukan susur gua.
Pertama, selalu beritahu teman atau keluarga kapan pergi, ke mana kita pergi, dan kapan akan kembali.
Kedua, empat orang adalah jumlah minimal dalam aktivitas susur gua. Jika satu celaka, satu orang harus menemani dan dua orang segera meminta pertolongan.
Ketiga, alat-alat yang digunakan untuk melakukan susur gua harus memadai dan paham penggunaannya.
Keempat, minimal membawa tiga sumber cahaya berikut cadangan peralatannya. Tiga sumber cahaya itu, misalnya, lampu karbit, senter, serta lilin.
Kelima, ajak orang yang sudah berpengalaman dalam teknik susur gua ketika hendak melakukan wisata ini.
Keenam, jika mengalami nafas sesak dan tersengal, itu tanda bahwa gua penuh karbondioksida dan harus cepat ditinggalkan.
Ketujuh, akal sehat, keterampilan, persiapan yang matang dan pengalaman merupakan pegangan utama aktivitas ini.
Kedelapan, naluri keselamatan yang ada dalam kegiatan susur gua harus terus dikembangkan, karena sering diandalkan sebagai faktor pengamanan yang ampuh.
Tetap lestari
Prosedur perilaku standar dalam aktivitas wisata susur gua diperlukan agar gua dan lingkungan sekitarnya tetap terjaga kelestariannya. Secara umum, prosedur ini mencangkup hal-hal sebagai berikut.
Pertama, jangan merusak dan melepas formasi gua yang sudah dalam keadaan rusak. Kedua, jangan mengecat, menggambar, menandai atau mencoret-coret gua dengan alat apa pun. Ketiga, jangan mengganggu atau menyakiti hewan atau makhluk apa pun yang ada di dalam gua — terutama kelelawar.
Keempat, jangan merokok di dalam gua karena dapat membahayakan hewan yang ada. Terakhir, jangan pernah buang air kecil atau besar di dalam gua dan juga jangan meninggalkan sampah.
Prosedur keselamatan dan prosedur perilaku standar tersebut harus selalu menjadi pedoman bagi siapa pun yang akan melakukan aktivitas wisata susur gua di mana pun. Dengan begitu, keselamatan wisatawan dan kelestarian lingkungan gua tetap terjaga.
*Djoko Subinarto, kolumnis dan bloger, tinggal di Bandung, Jawa Barat. Tulisan ini opini penulis.
Rujukan:
Admin Akasaka. 2019. Mengenal Jenis dan Bentuk Gua. www.akasakaoutdoor.co.id. https://akasakaoutdoor.co.id/blogs/aks-journal/mengenal-jenis-dan-bentuk-gua
Agung Sasongko. 2019. Indonesia Memiliki Banyak Kawasan Karst. www.republika.co.id. https://nasional.republika.co.id/berita/nasional/daerah/ptnol4313/indonesia-miliki-banyak-kawasan-karst
Emeka E Okonkwo, Ezekaka Afoma & Igwemadu Martha. 2017. Cave Tourism and its Implications to Tourism Development in Nigeria: A Case Study of Agu-Owuru Cave in Ezeagu. International Journal of Research in Tourism and Hospitality, ARC Publication, Ongole, India.
Gitapala. 2014. Standar Operasional Prosedur Divisi Penelusuran Gua. www.gitapala.tp.ugm.ac.id.
Marengo Cave US National Natural Landmark. Tanpa Tahun. Caving Safety. www.marengocave.com. https://www.marengocave.com/individuals/cave-exploring/caving-safety#
Moh Khory Alfarizi. 2019. Manusia Purba Berebut Gua dengan Binatang Buas untuk Tinggal. www.tempo.co. https://tekno.tempo.co/read/1252942/manusia-purba-berebut-gua-dengan-binatang-buas-untuk-tinggal
M. Rindam. 2014. Cave Tourism: The Potentials of Ascar Cave as a Natural Tourism Asset at Lenggong Valley, Perak. SHS of Conferences Centre for Distance Education, University Sains Malaysia, Penang, Malaysia.
National Geographic. Tanpa tahun. Karst. www.nationalgeographic.org. https://www.nationalgeographic.org/encyclopedia/karst/
Speleological Union of Ireland. 2019. Code of Practice and Cave Entrances. www.caving.ie. https://caving.ie/wp-content/uploads/Speleological-Union-without-crops.pdf