- Kehadiran omnibus law ini bakal menyelamatkan pelaku keterlanjuran investasi sawit di dalam kawasan hutan. Mereka bisa mengurus perizinan dalam waktu tiga tahun, baru kalau tak bisa, kena hukuman administrasi. Kalangan organisasi lingkungan menilai, aturan ini semacam pemutihan terhadap kejahatan lingkungan.
- Raynaldo G. Sembiring, Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) mengatakan, lewat pasal keterlanjuran ini, pemerintah memberikan fasilitas izin bagi mereka yang sebenarnya sudah melanggar. Kalau dalam keterlanjuran itu terjadi perubahan fungsi ekosistem hutan, siapa yang bertanggung jawab?
- Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan menilai, bukan membenahi keterlanjuran tetapi sudah pemutihan kejahatan lingkungan.
- Irfan Bakhtiar, Direktur Supporting Palm Oil Sustainability (SPOS) Yayasan Keanekaragaman Hayati (Kehati) mengatakan, dengan kemudahan pemberian izin ini, akan mengaburkan perbuatan yang melanggar dalam penerbitan izin dalam kawasan hutan. Baik, perusahaan maupun pejabat yang mengeluarkan izin.
Indonesia punya UU Cipta Kerja yang ketuk palu pada 5 Oktober lalu. Kehadiran UU yang menyederhanakan sekitar 76 aturan dan biasa disebut omnibus law ini bakal menyelamatkan pelaku keterlanjuran terutama investasi sawit di kawasan hutan. Kalangan organisasi lingkungan menilai, aturan ini semacam pemutihan terhadap kejahatan lingkungan.
Berdasarkan data Kementerian Perekonomian, terkait perkembangan dan rencana aksi pelaksanaan Inpres Nomor 8/2018 menyebutkan, total sawit dalam kawasan hutan seluas 3.177.014 hektar, terdiri dari proses permohonan pelepasan seluas 576.983 hektar dan kategori tak ada proses permohonan seluas 2, 548 jutaan hektar lebih pada Oktober 2019.
“Yang pasti [investasi] ilegal yang bisa diterapkan oleh menteri melalui UU Cipta Kerja itu ada 2,5 juta hektar sawit dalam kawasan hutan yang tak ada izin dan tak memiliki permohonan,” kata Raynaldo G. Sembiring, Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), baru-baru ini.
Siti Nurbaya Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pada konferensi pers, 7 Oktober lalu menyebutkan, UU Cipta Kerja mampu atasi masalah perizinan yang berlangsung sejak UU Pemerintah Daerah 1999 dan 2004. Kala itu, perizinan oleh kabupaten/kota.
Baca juga: RUU Cipta Kerja Ketok Palu, Lonceng Bahaya bagi Lingkungan Hidup?
Poin-poin itu dalam omnibus law tertuang dalam Pasal 110A dan Pasal 110B halaman 145 dalam draf versi 812 halaman.
Pasal-pasal itu membahas soal penyelesaian keterlanjuran kebun sawit dalam kawasan hutan yang memiliki perizinan (dispute tata ruang) dengan beberapa pilihan.
Pasal 110 A menyatakan, setiap orang yang melakukan kegiatan usaha yang terbangun dan memiliki perizinan berusaha di dalam kawasan hutan sebelum UU ini dan belum memenuhi syarat sesuai perundang-undangan berlaku, wajib menyelesaikan persyaratan paling lambat tiga tahun sejak UU ini berlaku. Jika lebih tiga tahun, akan kena sanksi administrasi berupa pembayaran denda administrasi dan atau pencabutan izin berusaha.
Pasal 110 B menyebutkan, setiap orang yang melakukan pelanggaran tanpa memiliki perizinan berusaha sebelum berlaku UU ini akan kena sanksi administrasi berupa penghentian sementara kegiatan usaha, pembayaran denda administrasi dan atau paksaan pemerintah.
Besaran denda ditentukan berdasarkan luasan kawasan hutan yang dikuasai sejak jangka waktu dihitung mulai panen dan persentase dari keuntungan yang diperoleh setiap tahun.
Baca juga: Banjir Kritik Pengesahan UU Cipta Kerja, Pemerintah Kejar Target Bikin Aturan Turunan
Ada pengecualian baru muncul di draf versi 1.035 dan 812 halaman, menyebutkan, bagi perseorangan yang bertempat tinggal di dalam atau sekitar kawasan hutan minimal lima tahun terus menerus dengan luasan paling banyak lima hektar, dikecualikan dari sanksi administrasi dan diselesaikan melalui penataan kawasan hutan.
Raynaldo mengatakan, seharusnya hukum jatuh baik sanksi administrasi maupun pidana dan dampak maupun kombinasi keduanya. “Pasal 110 A dan B itu menetapkan sanksi administrasi sebagai punitive (hukuman), padahal ada juga yang reparatory atau memperbaiki.”
Baca juga: Horor RUU Cipta Kerja: dari Izin Lingkungan Hilang sampai Lemahkan Sanksi Hukum
Lewat pasal keterlanjuran ini, pemerintah memberikan fasilitas izin bagi mereka yang sebenarnya sudah melanggar. “Apakah ketika terjadi keterlanjuran, ada perubahan fungsi ekosistem hutan? Kalau ada, siapa yang tanggung jawab?”
“Menurut saya tetap pelaku usaha. Meski tidak ada pidana, minimal ada sanksi administrasi yang reparatory untuk memulihkan kerusakan yang sudah dibuat. Setelah itu baru difasilitasi mendapatkan izin. Jika tidak dilakukan, baru kena sanksi pidana.”
Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan menilai, luasan ini seharusnya jadi target dalam sanksi yang tertulis dalam omnibus law.
Melengkapi perizinan selama tiga tahun, kata Teguh, memperlihatkan upaya memberi kelonggaran bagi investor yang jelas melanggar dan mendapatkan keuntungan.
“Ini masuknya bukan benahi keterlanjuran tapi sudah pemutihan kejahatan lingkungan, itu baik untuk yang ada izin maupun tidak ada izin.”
Teguh menilai, karut marut perizinan ekstraksi sumber daya alam di Indonesia tak akan selesai lewat UU Cipta Kerja ini. Data Madani, seluas 75,6 % setara 143 juta hektar dataran Indonesia merupakan area silang sengkarut izin termasuk di kawasan hutan.
Dia pun mempertanyakan, kemudahan investasi seperti apa yang bisa terjawab lewat omnibus law kala sebagian besar daratan Indonesia ada masalah perizinan.
Seharusnya, kata Teguh, masalah perizinan selesai terlebih dahulu dengan harmonisasi Undang-undang yang berkaitan pengelolaan sumber daya alam, seperti keterlanjuran investasi perizinan perkebunan sawit di kawasan hutan.
Irfan Bakhtiar, Direktur Supporting Palm Oil Sustainability (SPOS) Yayasan Keanekaragaman Hayati (Kehati) mengatakan, kecenderungan penyelesaian keterlanjuran ini dengan semangat melepas semua tanpa melihat ketegori.
“Bagaimana fungsi lingkungan, bagaimana jika berada di hutan produksi terbatas. Bisa saja ada opsi mereka bisa memanen satu daur kemudian pemulihan untuk mengembalikan fungsinya,” katanya.
Sayangnya, kategori dan opsi itu tidak diatur dalam UU itu, bahkan, sanksi hanya bagi perusahaan yang dalam tiga tahun tak mengurus pengajuan izin.
Dalam penyelesaian perkebunan sawit dalam kawasan hutan menyatakan, fasilitasi izin perlu ada penelusuran kawasan. Kalau penetapan hutan itu muncul setelah ada izin terbit dan sesuai RTRW pemerintah daerah bisa masuk pengecualian karena kesalahan negara.
Dia duga kasus RTRW, luasan lebih kecil dan lebih banyak ada IUP atau izin lokasi terbit di kawasan hutan. “Padahal, IUP itu terbit jika sudah ada hak tanah terlebih dahulu. Sekalipun IUP sudah terbit, harus ada HGU minimal dua tahun setelah terbit. Izin HGU ini syaratnya ada izin pelepasan.”
Irfan bilang, dengan kemudahan pemberian izin ini, akan mengaburkan perbuatan yang melanggar dalam penerbitan izin dalam kawasan hutan. Baik, perusahaan maupun pejabat yang mengeluarkan izin.
Maria SW Sumardjono, Guru Besar Bidang Hukum Agraria Universitas Gadjah Mada (UGM) mengatakan, banyak hal kontroversial dalam UU Cipta Kerja. Dia nila, tak ada urgensi membuat omnibus law.
Bahkan, katanya, pembentukan UU ini dinilai banyak melanggar ketentuan atau syarat formal hingga materiil dan dibuat tergesa-gesa.
“Ini kan omnibus law dan istimewa, tapi bukan berarti boleh melanggar aturan.”
Fakultas Hukum UGM, katanya, secara langsung sudah menyampaikan masukan kepada pemerintah awal Maret 2020 tetapi tidak diindahkan.
“Banyak sekali pasal kontroversial, namun dipaksakan untuk diketuk palu dan dituangkan dalam PP (peraturan pemerintah). Pertanyaannya, jika UU saja tidak jelas, PP yang dihasilkan akan seperti apa? Aturan turunan makin ke bawah pasti akan makin kacau.”
Dia menilai, UU ini tidak memiliki landasan filosofi jelas dan menyatukan 76 UU yang tidak memenuhi asas keterbukaan. Selain itu, kata Maria UU ini tidak memenuhi asas kedayagunaan dan kehasilgunaan karena hanya menguntungkan investor, namun merugikan lingkungan dan HAM.
***
Setelah ketuk palu 5 Oktober dan muncul berbagai versi draf dari 905, 1.052 dan 1.035 halaman, pada 14 Oktober 2020, DPR mengirimkan draf UU kepada Presiden Joko Widodo selaku kepala pemerintahan sebelum diundangkan oleh Kementerian Hukum dan HAM.
Azis Syamsuddin, Wakil Ketua DPR mengatakan, telah menyerahkan UU Cipta Kerja kepada pemerintah merujuk pada mekanisme tata tertib DPR Pasal 164. Aturan itu menyebut, DPR memiliki waktu tujuh hari setelah keputusan tingkat dua untuk menyerahkan draf final kepada presiden.
Naskah akhir UU Cipta Kerja ke presiden, katanya, berjumlah 812 halaman, terdiri dari 488 halaman merupakan UU Cipta Kerja, sisanya, penjelasan. Belakangan, setelah di pemerintah, draf baru muncul lagi, 1.187 halaman!
Donny Gahral Adian, Tenaga Ahli Utama mengatakan, setelah menerima draf itu, pemerintah akan langsung membahas peraturan turunan sesuai arahan presiden. Dia pun memastikan, penyusunan peraturan pemerintah akan melibatkan partisipasi publik.
“Tim penyusun pasti akan mengundang akademisi, tokoh masyarakat, organisasi masyarakat, semua yang bisa memberi masukan terhadap aturan turunan ini.”
Keterangan foto utama: Hutan di Aceh yang dibersihkan untuk kebun sawit. Setelah ada UU Cipta Kerja atau omnibus law nanti, investasi terlanjur di kawasan hutan tak apa, bisa urus izin dengan batas waktu tiga tahun. Kalau tak bisa urus izin, baru kena sanksi administrasi. Kado yang indah bukan bagi pelaku usaha ekstraktif tetapi mimpi buruk bagi bumi. Foto: Junaidi Hanafiah/ Mongabay Indonesia