- Setelah selesai kuliah, Muhammad Fatihul Umam kembali ke desa, Desa Kalipoh, Kecamatan Ayah, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Dia membangun ekonomi desa lewat lebah klanceng.
- Meski bukan lulusan pertenakan, dia mampu mengajak puluhan keluarga untuk memanfaatkan potensi ekonomi.
- Belajar dari kegagalan, Umam berhasil menyelamatkan hutan dari perambahan akibat faktor ekonomi. Mereka pun menanami tanaman pakan untuk lebah klenceng.
- Kini, madu klanceng menjadi ekonomi yang menjanjikan di Desa Kalipoh. Petani kelompok lebah sekarang menyelaraskan antara ekonomi dan upaya konservasi. Bahkan sudah ada Perdes tentang Pelestarian Lingkungan Hidup.
Muhammad Fatihul Umam pulang kampung. Dengan ketekunan dan pengamatannya tentang potensi alam, dia mampu membuat orang-orang di sekitarnya lebur dalam kesibukan ekonomi rutin dari pemanfaatan madu dari lebah klanceng.
Umam sedari awal sudah realistis. Tinggal di desa dalam kawasan hutan jati milik negara dengan kontur perbukitan karang, pastinya akan banyak tantangan ekonomi.
“Tak banyak yang dapat dikembangkan di desa ini selain gula,” katanya bercerita di rumahnya di Desa Kalipoh, Kecamatan Ayah, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu.
Apalagi, mayoritas penduduk di sana bermata pencaharian sebagai penderes air nira kelapa untuk dijadikan gula merah dan gula semut. Biasanya, satu kepala keluarga sudah memiliki 20-40 pohon kelapa. Mereka bisa mengumpulkan 24 liter air nira setiap hari.
“Jadi hitungnnya dua liter nira kelapa untuk satu kilogram gula,” ujar Umam.
Gula kelapa dihargai Rp 13.000 per kilogram. Artinya, dalam sehari proyeksi penghasilan warga dari gula kelapa berkisar Rp 65.000 – Rp 156.000, Umam bilang, “Mereka baru akan menjual gula tiap satu minggu sekali.”
Desa Kalipoh didiami 1.080 keluarga dengan jumlah jiwa sebanyak 3.515 orang. Desa yang berjarak 52 kilometer arah barat daya dari pusat pemerintahan Kebumen ini sejak lama memang terkenal sebagai produsen gula kelapa.
Kendati begitu, keperluan kayu bakar menjadi persoalan di sana. Orang membutuhkan kayu bakar sama pentingnya seperti mencari nasi. Bisa jadi nanti, lama-lama orang akan merambah hutan untuk kayu bakar, katanya.
“Itu sempat terpikirkan karena pohon pekarangan desa itu terbatas,” ucap pria kelahiran 1990 ini. Dia mengaku gusar dengan persoalan lingkungan di desanya.
Umam kemudian menemukan potensi lain yakni ternak lebah trigona (Trigona sp) atau klanceng di desanya. Selepas lulus dari Fakultas Ilmu Keguruan Program Studi Pendidikan Ekonomi, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, pada 2014. Umam bulat belajar seluk-beluk budidaya perlebahan.
Barulah tahun 2016, bersama dengan temannya, Umam mulai membudidayakan lebah yang tak menyengat ini. Lebah ini di Jawa Tengah, dikenal dengan nama klanceng, di Jawa Barat dikenal dengan teweul, sementara di Bali disebut kela-kela. Lebah ini dianggap mengganggu karena sering beterbangan di pawon rumah.
Praktis, Umam bergerilya. Ke sana-sini mencari sarang lebah berukuran mini ini. Hasilnya, ia mengumpulkan 50 koloni lebah klanceng.
Pelan-pelan dibudidayakan di pekarangan rumah. Lama-lama lebah itu menghasilan madu rata-rata 1-1,5 liter. Lambat laun, manisnya madu sampai ke tetangga. Hingga mereka kepincut membudidayakan lebah klanceng di kebun-kebun mereka.
“Saya melihat ini potensi alam yang luar biasa,” tuturnya.
Sejak itu, Umam merasa perlu membentuk kelembagaan. Supaya terarah, katanya. Melalui Kelompok Tani Hutan Klanceng Barokah, dia jadikan gerbang bagi banyak orang untuk membudidayaan lebih banyak koloni lebah.
Umam kian percaya diri. Apalagi setelah dapat memproduksi madu secara rutin sampai pemasaran sudah keluar desa bahkan luar kota seperti Semarang, Solo, Batam, Palembang, Denpasar, dan Banjarmasin.
Sekarang Umam sudah mampu mengembangkan 1.000 stup atau setara 1.000 koloni. Koloni lebah klanceng terdiri dari ratu, betina, pejantan, dan pekerja mampu menghasilkan 18-20 liter madu per bulan. Meski dibandrol harga Rp 400.000 per liter, madu klanceng laris manis dipesan pelanggan.
Dengan adanya peluang pasar, dia dan kelompoknya pun memutuskan untuk menambah jumlah koloni lebah.
Pada 2018, anggota Kelompok Tani Hutan Klanceng Barokah melejit hingga berjumlah 89 orang. Total 12.000 koloni lebah dengan produksi minimal 100 liter madu klanceng per bulan. Jika diuangkan, madu sebanyak itu nilainya mencapai Rp 40 juta.
Akan tetapi, tidak semua usahanya berjalan mulus. Belum setahun berjalan, dia merugi dan berujung berhutang ke bank. Seluruh koloni lebah mati dihajar kemarau panjang. Belum lagi serangan hama seperti semut, tupai, kepik dan walet membuat sarang-sarang ditinggalkan lebah pekerja dan menyisakan sang ratu serta bayi lebah yang kelaparan dan akhirnya mati.
Menebar Kebaikan
Momen itu menjadi pukulan telak bagi Umam. Dia pun sadar yang dia lupakan dalam proses budidaya lebaih tersebut.
“Kami melupakan daya dukung lingkungan yang begitu penting dalam usaha budidaya lebah,” katanya mengakui.
Umam menolak patah dan menyerah. Memetik pelajaran jika budidaya lebah klanceng nyatanya tak hanya mengejar aspek ekonomi semata, namun juga perlu aspek konservasi, daya dukung lingkungan.
Lebah butuh resin atau getah sebagai pertahanan di sarang untuk mencegah predator yang datang. Lebah juga butuh nektar dan serbuk sari bunga atau pollen sebagai cadangan makanan. Itu juga yang jadi bahan baku penentu kualitas madu.
Lebah berperan paling vital. Data FAO menyebutkan, lebih dari 75 persen tanaman pertanian di seluruh dunia penyerbukannya tergantung pada lebah. Sebab, lebah berfungsi juga sebagai barometer kualitas lingkungan.
Lebah diketahui mempengaruhi evolusi tanaman berbunga. Serangga ini merupakan kunci regenerasi beragam jenis tanaman dengan menyebarkan serbuk sari, dan secara alami kerapkali membantu terjadinya kawin. Jadi, lebah tidak hanya membantu bunga bermekaran, namun juga elemen penting bagi keberagaman tanaman.
Melalui pertemuan, perjumpaan, dan pelatihan dengan warga, Umam pun mulai menanamkan kesadaran peduli lingkungan. Dari situ, warga menjadi lebih selektif dalam menebang pohon untuk kayu bakar.
Aktivitas kelompok bergerak melakukan penanaman pohon buah dan bunga demi menambah jumlah pakan. Karena lebah senang hidup di ekosistem yang lembap dan tak terlalu banyak cahaya matahari, sebab bunga-bunga tumbuh dalam lingkungan seperti itu.
Berkah Konservasi
Umam sendiri memproklamirkan madu dengan konservasi. Ia bahkan mendorong kepala desa menerbitkan Peraturan Desa Nomor 6 Tahun 2017 tentang Pelestarian Lingkungan Hidup Desa Kalipoh.
“Itu dibuat untuk menjaga lingkungan,” katanya.
Selain berhasil melindungi hutan desa, Perdes itu mampu juga mempertahankan fungsi hutan lindung milik Perhutani. Tak hanya itu, konservasi air bersih juga terjamin bagi kebutuhan mereka sekalipun di kawasan karst.
Kolaborasi itu berbuah manis. Berkat usaha gigih Umam dan kelompoknya, saat ini puluhan keluarga menikmati manisnya madu klanceng. Rezeki madu klanceng menambal penghasilan warga terutama pada masa paceklik.
Seperti yang dirasakan, Mukhiah (56) yang tersenyum ketika suaminya Mukhalani (68) pulang membawa ember berisi air nira kelapa. Mereka hidup dari 20 pohon kelapa dengan penghasilan Rp 624.000 per bulan.
Namun, berkah 20 stup lebah klanceng membikin mereka lebih sejahtera. Setidaknya, madu memberi mereka pundi uang Rp 1 juta per bulan. Mukhalani tak lagi menebang kayu, kini dia telah mampu membeli kayu bakar satu mobil seharga Rp 800.000 dari Cilacap.
Apa yang ditanam Umam, kini menuai banyak kebaikan. Budidaya lebah yang dikolaborasikan dengan konservasi panen apresiasi.
Pada 2018, misalnya, Kelompok Umam meraih Juara Terbaik III kategori Usaha Mikro pada Kebumen Business Forum. Di tahun yang sama, kelompok ini juga mendapat penghargaan sebagai juara Lomba Wana Lestari Tingkat Provinsi Jawa Tengah hingga nasional.
Pemerintah Kebumen bahkan memberikan bantuan 5.000 bibit tanaman buah, seperti belimbing, kelengkeng, rambutan, manggis, dan mangga yang bunganya menjadi sumber makanan lebah. Dan Desa Kalipoh tengah disiapkan sebagai kampung percontohan ekonomi berkelanjutan.
Agaknya, Umam menyelami kembali kepulangan dirinya ke kampung. Dia merasa bahagia. Sebab masa depan ada di hutan-hutan itu, di kebun, dan bukit-bukit karang. Orientasinya bukan tentang orang desa rejeki kota lagi, tapi tentang kebaikan yang menjanjikan. Toh, kebahagian adalah ketika bisa memberi.
“Barangkali kita perlu belajar dari lebah klanceng. Ia akan produktif ketika lingkungannya sehat,” pungkas Umam.
***
Lebah trigona (Trigona sp) atau lebah klanceng beterbangan di sarang. Foto: Donny Iqbal