- Warga desa di Kabupaten Dairi, Sumatera Utara gusar dan khawatir karena perusahaan tambang seng dan timah hitam, PT Dairi Prima Mineral (DPM) bakal beroperasi di desa mereka.
- Warga mengkhawatirkan limbah tambang sampai gudang bahan peledak. Belum lagi ancaman kerusakan lingkungan dari daratan sampai pencemaran air.
- Manambus Pasaribu, Direktur Lembaga Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (Bakumsu), menyatakan, perlu ada ahli independen mengkaji proyek ini. Juga melihat bagaimana kondisi atau dampak negatif limbah bisa dirasakan masyarakat.
- David Pred, Direktur Eksekutif Inclusive Development International (IDI) mengatakan, ketakutan warga soal bendungan runtuh dan air tercemar patut jadi pertimbangan semua pihak. Bendungan yang runtuh di bagian lain dunia, tidak disertai risiko tinggi gempa bumi saja, menghancurkan banyak desa, membunuh ratusan orang, dan meracuni lingkungan selama bergenerasi.
Rainim Purba, warga Desa Pandiangan, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara gusar dan khawatir karena perusahaan tambang, PT Dairi Prima Mineral (DPM) masuk ke desa mereka.
Masyarakat yang tinggal di lebih 11 desa berdampingan langsung dengan perusahaan, katanya, dihuni Suku Batak Toba dan Pak-Pak.
Dari laman resmi perusahaan menyebutkan, kalau DPM menambang bijih seng sulfida, dan bijih sekunder berupa galena merupakan bentukan mineral dari timah sulfida, serta perak. Sekitar 80% proyek milik PT Bumi Resources Minerals Tbk, sisanya, PT Aneka Tambang Tbk (Antam).
“Selama ini, kami di desa dalam kondisi menyenangkan dan aman. Kami bertani dan menyekolahkan anak hingga ke perguruan tinggi. Itu sebelum datang perusahaan tambang,” katanya, beberapa waktu lalu dalam diskusi daring.
Warga desa, katanya, turun menurun hidup dari pertanian. Dia was-was saat perusahaan tambang nanti mulai beroperasi, bisa menghancurkan tempat hidup mereka.
“Itu sebabnya kami menolak pertambangan ini di Dairi, karena bisa merusak ruang kelola pertanian kami. Ekonomi kami, juga menghancurkan lingkungan hidup. Jangan hancurkan kebahagian kami demi memperkaya segelintir orang di negeri ini,” katanya.
Dia bilang, perusahaan harus memprioritaskan keselamatan masyarakat yang tinggal di sekitar proyek. Mereka tak kuasa membayangkan nanti ada bendungan limbah tambang (tailing). Tak khawatir, karena kolam tailing itu berpotensi bocor dan runtuh.
Pemukiman warga ada di dataran rendah, atau bagian bawah perusahaan. Tambang DHM berada di atas aliran sungai. Perusahaan akan bangun kolam limbah. Warga yang tinggal di bagian hilir takut hidup terancam kalau sewaktu-waktu bendungan limbah runtuh.
Usaha sektor pertanian ini sudah mereka jalankan beberapa generasi.“Ladang kami menghasilkan tanaman yang bisa mencukupi kebutuhan kami. Kami tidak ingin tanah dan perairan kami diracuni tambang,” katanya.
Perusahaan tambang, katanya, hanya beroperasi dalam beberapa tahun, tetapi kekacauan besar bergenerasi dan tak bisa tergantikan dengan uang.
“Bukan itu pembangunan yang kami inginkan untuk daerah ini.”
Hasugian, warga desa lain mengatakan, masyarakat petani bercocok tanam di lahan nan subur. Salah besar, katanya, kalau tanah subur, air sungai bersih hancur gara-gara ada pertambangan.
Saat ini, perusahaan tambang sudah mulai buka jalan, pembangunan perkantoran, dan terlihat sebagian orang ada yang bekerja.
Mereka tambah khawatir saat tambang masuk tetapi tak tidak terbuka dan mereka tidak mendapatkan informasi jelas soal proyek ini.
Warga tambah cemas mendengar perusahaan mau penambangan bawah tanah. Kabupaten Dairi, katanya, merupakan patahan gempa. “Apa yang terjadi jika gempa datang?” Belum lagi, katanya, soal Dairi merupakan daerah rawan longsor dan bencana alam seperti banjir,” katanya.
Kondisi desa yang berada di bawah proyek tambang, sangat mengancam apalagi kalau sampai ada gempa. Belum lagi, kalau terjadi kebocoran limbah.
”Ini akan sangat mengancam masyarakat di bawah, yaitu, kami.”
Pada 2012, perusahaan mulai eksplorasi. Limbah eksplorasi jebol dan mencemari perairan dan pertanian mereka. Kala itu, katanya, skala kecil. “Bagaimana kalau dalam skala besar?” Ruang hidup masyarakat, katanya, akan terancam dan bencana rawan datang.
Selain lahan pertanian, katanya, masyarakat, juga tak ingin sungai tercemar. “Kami menolak pembangunan proyek ini.”
Manambus Pasaribu, Direktur Lembaga Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (Bakumsu), menyatakan, perlu ada ahli independen mengkaji proyek ini. Juga melihat bagaimana kondisi atau dampak negatif limbah bisa dirasakan masyarakat.
Soal kehadiran DPM ini, mereka bersama Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) dan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), lakukan analisis hukum.
Ada dugaan perusahaan tak mematuhi berbagai peraturan perundangan di Indonesia, seperti UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, berkaitan dengan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Di dalam amdal DPM 2005, mereka mengatakan telah dialog dengan empat desa. Nyatanya, hanya segelintir orang alias libatkan sekitar 26 orang dari empat desa.
Dia bilang, partisipasi masyarakat sangat minim. Padahal, berdasarkan data yang mereka temukan, ada 11 desa bisa terdampak kehadiran tambang ini.
“Di peraturan Indonesia mengharuskan agar dalam proses ini, tiap perusahaan dialog lebih intensif.”
Dia bilang, perusahaan mendapatkan kontrak karya pada 1998, berlaku 30 tahun untuk pertambangan dan eksplorasi.
Pada 2018, kontrak karya diperpanjang 30 tahun. Dalam UU Nomor 4/2009 tentang Mineral dan Batubara yang sudah diperbarui saat ini, menyebutkan, periode izin penambangan khusus (IUPK) untuk operasi produksi mineral dan batubara, maksimum selama 20 tahun. Kemudian bisa diperpanjang dua kali dengan setiap periode selama 10 tahun.
Dalam proses perpanjangan itu, katanya, pemerintah tampaknya mengeluarkan pembaharuan kontrak karya yang bertentangan dengan perundang-undangan.
Manambus mengatakan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memberitahukan kepada DBM, bahwa mereka harus memperbarui persetujuan izin lingkungan hidup dari pemerintah.
Surat itu tertanggal 30 Juli 2019. Berarti, sejak Januari 2019, tak pegang izin lingkungan berlaku. Perusahaan membangun konstruksi tambang, dan gudang bahan peledak tanpa mengantongi izin lingkungan hidup dari pemerintah, sebagaimana dalam ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 27/2019.
Merah Johansyah, Koordinator Jatam menyoroti kepemilikan perusahaan ini. Sebelumnya DPM, mayoritas saham dimiliki Bumi Resources atau terhubung dengan keluarga Bakrie. Sekarang, 51% saham sudah dimiliki atau dikuasai China Nonferous Metal Mining Industry di Tiongkok.
Keduanya memiliki persoalan alias rekam jejak buruk. Perusahaan-perusahaan keluarga Bakrie punya masalah belum selesai, seperti masyarakat terusir dari wilayah hidup di Kalimantan Timur dan kasus Lapindo di Jawa Timur.
Merah mencontohkan, di Zambia, pada 2005 2006 terjadi ledakan tambang menyebabkan 46 orang tewas. Padahal, tambang itu mengklaim mengikuti aturan dan protokol yang telah ditentukan, yang terjadi justru sebaliknya.
Kala perusahaan dengan rekam jejak buruk datang ke Dairi, katanya, bisa jadi ancaman bagi kehidupan masyarakat dan lingkungan hidup.
Ketika masyarakat Dairi perlu air lebih bersih, udara bersih dan sehat, hidup tenang dan ekonomi baik, tanpa ada kerusakan, justru pertambangan masuk.
Merah bilang, perusahaan masuk tak melibatkan masyarakat termasuk saat pengajuan addendum amdal diam-diam.
“Pemerintah harus memperhatikan hak-hak masyarakat, dan sebelum terjadi sesuatu yang lebih parah lagi, masyarakat bisa protes dan bersikap.”
***
Pada Oktober 2019, warga di dua desa yang tinggal dekat tambang melaporkan mereka DPM ke pengawas independen International Finance Corporation. Laporan soal tambang seng di Sumatera Utara, yang berpotensi menciptakan jutaan meter kubik tailing beracun ini telah diterima secara formal.
Masyarakat mendesak IFC dan Postal Savings Bank—lembaga pendana– mengunakan posisi mereka untuk menghentikan tambang, yang saat ini masih tahap awal pembangunan.
Kajian IDI memperlihatkan, IFC telah investasi ekuitas/saham $300 juta di Postal Savings Bank pada 2015. Bank ini memberikan serangkaian kredit kepada China Nonferrous Metal Industry’s Foreign Engineering and Construction Co. Ltd (NFC), dan perusahaan induknya, China Nonferrous Metals Mining Group.
IFC juga menyalurkan nilai hingga jutaan dolar ke bank-bank komersial di seluruh dunia, dan membiayai hingga hampir 150 proyek membahayakan secara sosial dan lingkungan.
David Pred, Direktur Eksekutif Inclusive Development International (IDI) mengatakan, masyarakat menunjukkan keberanian besar dengan mengadu ini sebagai upaya melindungi lingkungan hidup dan tradisi mereka.
Dengan Compliance Advisor Ombudsman menerima pengaduan mereka ini, katanya, merupakan langkah penting agar kekhawatiran warga tidak terjadi.
“Yang diajukan adalah pembuatan fasilitas penyimpanan tailing di area dengan risiko tinggi dan tidak stabil. Masyarakat di bawah lokasi tambang selamanya akan hidup dalam ketakutan,” katanya.
Ketakutan bendungan runtuh dan air tercemar patut jadi pertimbangan semua pihak.
“Bendungan yang runtuh di bagian lain dunia, tidak disertai risiko tinggi gempa bumi saja, menghancurkan banyak desa, membunuh ratusan orang, dan meracuni lingkungan selama bergenerasi.”
Apa kata perusahaan? Achmad Zulkarnain, Manager External Relation PT. Bumi Resources Mineral, induk perusahaan DPM mengatakan, pertambangan belum mengolah apa-apa, belum ada produksi. Targetnya, pada 2022 atau 2023 baru proses produksi.
“Tergantung situasi Corona, jika belum ada tanda-tanda membaik, akan ada perpanjangan plus dua tahun,” katanya kepada Mongabay, Oktober lalu.
Untuk proses produksi pabrik juga belum dibangun, hingga tidak ada limbah hasil dari tambang, karena produksi tambang belum proses atau belum operasi. “Artinya, limbah baru ada pada 2023.”
Saat ini, perusahaan baru membangun infrastruktur tambang, seperti jalan, tambang, pabrik gudang bahan peledak dan lain-lain.
Pembangunan infrastruktur sendiri berada di dalam kawasan hutan lindung. Izin pinjam pakai, katanya, telah terbit dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Pengajuan pada 2012, diperpanhang lagi pada 1 Oktober 2020 ditandatangani Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) atas nama Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Untuk analisa mengenai dampak lingkungan amdal, katanya, sudah bikin sejak 2005 dan sedang perubahan sejak 2017. Hingga kini, perubahan amdal belum terbit lagi karena alasan masih kajian mendalam.
Ada addendum, katanya, karena ingin mengubah tempat pembuangan tailing atau penampungan limbah, awalnya di hutan lindung ke kawasan alokasi penggunaan lain (APL), termasuk perubahan mengenai pembangunan mulut portal tambang.
Untuk produk, katanya, perusahaan juga mengajukan perubahan. Awalnya, tambang emas, setelah survei ternyata tidak ada emas maka ubah jadi tambang seng dan timah hitam.
“Hutan lindung yang dipakai untuk proyek ini seluas 53,11 hektar. Addendum perubahan amdal diajukan ulang mempertimbangkan masalah lingkungan, atau meminimalisir kerusakan lingkungan,” kata Zukarnain.
Keterangan foto utama: Aksi masyarakat Dairi menolak kehadiran tamang PT Dairi Prima Mineral