- Dampak pandemi COVID-19 sangat dirasakan oleh warga di pulau-pulau yang ada di Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep), Sulawesi Selatan. Pendapatan menurun, bahkan tidak ada pendapatan sama sekali sejak awal Maret 2020 hingga akhir Ramadhan.
- Warga Pulau Saugi, Kecamatan Liukang Tupa’biring, Pangkep yang 90 persen merupakan nelayan kepiting rajungan merasakan harga rajungan yang turun, bahkan tidak laku terjual.
- Dinas Perikanan dan Kelautan (DKP) Sulsel mengklaim programnya efektif bagi nelayan. Terbukti nilai ekspor perikanan tangkap dan budidaya tertinggi dibanding sektor lain pada bulan Mei, Juni dan Juli 2020
- Selain program BLT dan bantuan sosial tunai dari dinas terkait, DKP Sulsel membantu nelayan dengan memenuhi kebutuhan nelayan seperti memperbaiki Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) dan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) serta membantu perizinan kapal.
Pandemi COVID-19 yang sudah berbulan-bulan ini, sangat terasa berdampak negatif di semua sektor kehidupan, termasuk sektor perikanan. Hal itu juga dirasakan warga di pulau-pulau yang ada di Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep), Sulawesi Selatan yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan. Mereka mengeluhkan pemasukan yang menurun, bahkan tidak ada pendapatan sama sekali sejak awal Maret 2020 hingga akhir Ramadhan.
Berdasarkan data Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulsel tahun 2019, pendapatan nelayan mencapai 107 Medium Term Note (MTN) dan 104 Nilai Tukar Perikanan (NTPi). Sehingga, jika pendapatan nelayan di atas 100 MTN dan NTPi artinya nelayan punya kelebihan. Sementara pada 2020, sejak Januari dan Februari, pendapatan nelayan terus menurun ditambah lagi dengan adanya pandemi COVID-19. Sedangkan di bulan Mei, harga hasil perikanan budidaya fluktuatif naik turun secara signifikan mengikuti kondisi pasar.
Tercatat harga dan produksi ikan tenggiri mengalami penurunan sebanyak 15 persen. Tetapi produksi kepiting rajungan justru meningkat mencapai 100 kg per hari, tapi sayangnya tidak laku terjual.
Demikian kata Anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Pulau Saugi, Kecamatan Liukang Tupa’biring, Pangkep, Muhammad Anas. Warga Pulau Saugi yang 90 persen merupakan nelayan kepiting rajungan biasanya mampu memperoleh 10 kg rajungan per nelayan per hari yang dijual seharga Rp50 ribu/kg. Saat pandemi, harga Rp15 ribu/kg saja sulit terjual. Bahkan tidak laku terjual.
Warga pulau dengan 485 jiwa dan 130 Kepala Keluarga (KK) tersebut memilih mengonsumsi sendiri hasil tangkapannya atau mengirimkan ke sanak keluarga yang berada di kota atau luar daerah. Beberapa warga memilih berjualan online namun terbatas karena adanya lockdown di hampir semua wilayah di Sulsel.
“Mau ke kota saja susah. Mau turun ke laut hasil tangkapan tidak dibeli. Karena hasil tangkapan kepiting rajungan prosesnya ekspor dengan masuk perusahaan. Nah, perusahaan itu tutup karena karyawan dirumahkan,” jelas Anas saat ditemui di Pulau Saugi, pertengahan Agustus 2020.
baca : Derita dan Asa Nelayan Sulsel di Tengah Pandemi COVID-19 (bagian 1)
Meski tidak ada pemasukan, Anas bersyukur karena pemerintah memberikan bantuan langsung tunai (BLT) senilai Rp600 ribu dan bantuan sosial tunai (BST) selama enam bulan. Bukan hanya itu, pemerintah desa juga memberikan paket sembako saat terjadi lockdown. Jelang new normal, geliat ekonomi mulai berangsur pulih. Saat ini, harga kepiting rajungan berangsur naik mulai Rp20-25 ribu per kg.
Dampak pandemi juga diutarakan Ketua RT Pulau Saugi, Sandra Dg. Salle yang tidak memiliki penghasilan selain menangkap kepiting rajungan. Meski kadang ada yang membeli dengan harga Rp15 ribu/kg, dia sudah sangat bersyukur dibanding tidak terjual. Ini pula yang membuat kepiting rajungan di pulau Saugi tertumpuk karena stok yang banyak.
“Semoga keadaan semakin membaik dan normal. Karena makin hari harga kepiting naik harganya seribu dan dua ribu rupiah. Tapi yang jadi masalah sekarang, pas harga mulai naik, produksi kepiting semakin menyusut,” jelas pria berusia 60 tahun tersebut.
Selain penghasilan anjlok, peralatan berupa jaring harus selalu diganti minimal sepekan sekali. Semakin banyak kepiting yang terperangkap, maka semakin cepat pula jaring tersebut rusak. Untuk itu, nelayan harus memiliki dana khusus untuk memperbaharui peralatan mereka.
“Beda dengan pulau lain, jika berhenti menangkap kepiting, ada pekerjaan lain seperti menangkap ikan. Nelayan di sini tidak ada. Dalam sebulan aktif mencari kepiting sekitar 20 hari, karena kadang angin kencang saya tidak melaut,” ungkapnya.
baca juga : Ini Penyebab Pendapatan Nelayan Rajungan Merosot
Jualan UMKM Turun
Hal yang sama juga dikeluhkan oleh penggiat Usaha Mikro Kecil Menangah (UMKM) di Pulau Saugi. Berbagai produksi khas pulau berupa keripik serta kerajinan tangan berupa hiasan kerang tidak laku terjual akibat pandemi. Jika tiap hari mampu membuat keripik sebanyak 10 kg, saat pandemi 2 kg keripik saja sulit terjual.
Ketua Sekolah Perempuan Pulau Saugi, Hj Rosmiati mengatakan, sebelum pandemi pihaknya menerima pesanan dari berbagai pulau seperti pulau Camba-Cambang. Adanya pandemi membuat penghasilan ibu-ibu di Pulau Saugi menurun. Sebanyak 10 orang ikut dalam komunitas UMKM tersebut. Namun saat pandemi, banyak yang tidak memiliki aktifitas atau kegiatan karena permintaan menurun.
Ia menjelaskan, Sekolah Perempuan merupakan tempat belajar bagi ibu rumah tangga di Pulau Saugi yang ingin mengasah keahlian dan berpenghasilan. Adapun keripik yang dibuat oleh UMKM yang didanai oleh pemerintah desa tersebut ialah keripik doi-doi, keripik kepiting, keripik kelor dan lain sebagainya.
“Jika ada tambahan modal dari pemerintah untuk usaha Sekolah Perempuan ini, kami sangat bersyukur. Terlebih produksi kami juga pernah dikirim ke Kalimantan. Alhamdulillah sekarang pemasukan lebih normal dibanding sewaktu pandemi,” katanya.
Menanggapi keluhan masyarakat, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Sulawesi Selatan, Sulkaf S. Latief menjelaskan, warga pulau banyak berteriak saat pandemi. Sedangkan pemerintah tidak memiliki dana untuk alokasi bencana. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) RI dan Dinas Kelautan Perikanan (DKP) harus melalui perencanaan dan disetujui DPR. Oleh karena itu, semua anggaran yang ada di DKP Sulsel tidak boleh digunakan untuk penanganan pandemi.
Sehingga, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat pulau di saat pandemi, DKP Sulsel menjadi pihak yang memediasi lembaga lain seperti Dinas Sosial, BNPT, dan Dinas Kesehatan untuk mengirimkan bantuan ke pulau-pulau.
“Karena kita tidak punya dana untuk itu. Saya membantu sesuai kewenangan saya. DKP Sulsel memang tidak mengeluarkan anggaran, tapi semua staf saya ada di lapangan membantu mencari sponsor sembako, hand sanitizer dan sebagainya,” jelas Sulkaf.
Terkait turunnya harga dan tidak terjualnya hasil tangkap nelayan, Sulkaf menegaskan, semua sektor juga mengalami dampak pandemi. Terlebih, untuk kepiting rajungan memang peminatnya sudah tidak terlalu banyak, apalagi saat pandemi. Beda dengan 10 tahun yang lalu dimana kepiting rajungan paling tinggi ekspornya.
Dengan demikian, jika nelayan mengeluh penurunan harga, DKP Sulsel hanya menyampaikan bahwa semua harga turun. Sejak bulan Maret, 50 persen harga ikan turun terutama ikan tenggiri. Mengapa pandemi terasa bagi warga pulau? ini karena tersendatnya transporasi dan menurunnya harga.
perlu dibaca : Pandemi Corona, Nelayan Sulsel Tidak Bisa Terabaikan (bagian 2)
Ekspor Tertinggi
Jika semua sektor lumpuh saat pandemi, tidak demikian pada program DKP Sulsel. Sulkaf mengklaim hampir semua program DKP efektif bagi nelayan. Ini dibuktikan sejak bulan Mei, Juni dan Juli, sektor yang paling memberikan sumbangsih berasal dari perikanan.
“Ekspor ikan paling tinggi, utamanya di Sulsel. Tentu ini diluar nikel yah, kadang kita kalah. Namun untuk saat ini, yang bergerak ekonominya tinggal perikanan,” jelasnya.
Berdasarkan data ekspor perikanan tahun 2020 oleh Dinas Perdagangan Sulsel dan BKIPM Makassar yang kemudian diolah oleh DKP Sulsel, dari 18 jenis hasil tangkap nelayan sejak Januari hingga Juli, Sulawesi Selatan telah mengekspor 78 .530 ton hasil laut. Dengan hasil ekspor tertinggi berasal dari jenis gurita sebanyak 1.283 ton serta rumput laut sebanyak 64.976 ton. Sehingga nilai ekspor untuk semua jenis hasil laut itu ialah sebesar 169.996.565 USD.
Sementara untuk daging rajungan nilai ekspornya selama 2020 sebanyak 507 ton dengan nilai ekspor sebesar 10.560.224 USD.
baca : Permintaan Berkurang Saat Pandemi, Ekspor Hasil Laut Sulsel Turun 10 Persen [bagian 3]
Sulkaf menuturkan, DKP Sulsel ada untuk memenuhi kebutuhan nelayan seperti memperbaiki Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) dan Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Selain itu pihaknya juga siap membantu nelayan jika membutuhkan perizinan kapal di PTSP. Bagi Sulkaf, membantu nelayan hanya ada dua cara yakni memenuhi kebutuhan dasar dan pasar mereka terbuka.
“Jika keduanya dijaga, DKP bisa ‘tidur’. Nelayan yang paling penting itu ada sekolah, Puskesmas, air bersih, sinyal telepon sudah cukup. Pemerintah tidak usah bantu,” ungkapnya.
Misalnya, salah satu kebutuhan mendasar bagi nelayan ialah beras dan BBM. Pada bulan November 2019 dan Januari 2020, warga pulau kesulitan memperoleh beras karena besarnya ombak. Jika peduli, kata Sulkaf, pemerintah harusnya memiliki cadangan beras dan BBM di pulau.
“Nelayan di pulau tidak ada yang minta gratis, mereka beli. Rata-rata semua orang menganalisis nelayan dengan pikirannya. Nelayan itu hanya perlu diberikan kebutuhannya yang lebih murah dan mudah. Maka semuanya aman,” pungkasnya.
***
Indrawati. Jurnalis Pilar Indonesia, Sulawesi Selatan. Artikel ini didukung Mongabay Indonesia