- Periode tangkapan untuk ikan Tuna global segera berakhir pada akhir 2020 ini. Penentuan untuk penetapan kuota tangkapan Tuna bagi negara anggota sudah dimulai dan dilaksanakan oleh organisasi pengelola pemanfaatan ikan Tuna di seluruh dunia
- Salah satu yang sudah menetapkan kuota tangkapan, adalah untuk Tuna Sirip Biru melalui Komisi Konservasi Tuna Sirip Biru Selatan (CCSBT). Melalui sidang CCSBT pekan lalu, Indonesia mendapatkan kuota sebesar 1.123 ton untuk periode 2020-2023
- Di sisi lain, penentuan kuota tangkapan untuk Tuna Madidihang sampai sekarang belum keluar hasilnya. Indonesia masih berharap penentuan kuota untuk seluruh negara anggota bisa berjalan adil, tidak seperti penentuan pada periode tahun-tahun sebelumnya
- Dalam menentukan kuota tangkapan, data produksi dari setiap negara menjadi acuan utama yang digunakan Komisi Tuna Samudra Hindia (IOTC). Sayangnya, ada perbedaan data produksi yang dimiliki Indonesia dengan IOTC.
Perbedaan data hasil produksi ikan Tuna yang dimiliki Pemerintah Indonesia dengan Komisi Tuna Samudra Hindia (the Indian Ocean Tuna Commission/IOTC) dikhawatirkan akan memengaruhi kuota tangkapan Tuna untuk Indonesia di Samudera Hindia.
Jika tidak dilakukan sinkronisasi dengan cepat, maka kekhawatiran itu dinilai akan bisa menjadi kenyataan. Demikian pandangan Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (DJPT KKP) Muhammad Zaini, Minggu (8/11/2020).
Menurut dia, perbedaan data tersebut muncul setelah Indonesia melaporkan data tahunan dalam sidang IOTC dan kemudian IOTC merilis data yang sama berdasarkan hasil pengumpulan data secara internal oleh mereka.
Adanya perbedaan data tersebut, secara spesifik dikhawatirkan akan memengaruhi kuota penangkapan Tuna jenis Madidihang atau yellowfin tuna (Thunnus albacares) di perairan Samudera Hindia. Bagi Indonesia, data adalah komponen penting yang bisa menentukan bagaimana melaksanakan pengelolaan perikanan.
“Indonesia meminta klarifikasi dari IOTC terkait penyebab adanya perbedaan data tersebut,” ungkap dia.
Perlunya IOTC memberikan klarifikasi, karena data yang dimaksud akan digunakan dalam penentuan alokasi penangkapan ikan di Samudera Hindia. Dengan demikian, jika tidak dikawal pengumpulan dan penggunaaannya, itu dikhawatirkan akan merugikan negara anggota IOTC.
“Dan juga, tujuan pengelolaan perikanan tidak terlaksana dengan baik,” tegas dia.
Dia menilai, partisipasi aktif Indonesia pada IOTC sangat penting bagi pengelolaan hasil tangkapan tuna khususnya di kawasan Samudera Hindia. Hal ini juga sebagai bentuk pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab dan berkelanjutan.
baca : Ekspor Tuna dari Indonesia, Amerika Serikat Tekankan Perikanan Berkelanjutan
Di sisi lain, saat Indonesia masih menanti dengan cemas kuota penangkapan Tuna Madidihang di Samudera Hindia, di saat yang sama Indonesia justru sudah mendapatkan kepastian kuota penangkapan Tuna untuk jenis Sirip Biru atau Southern Bluefin Tuna (Thunnus maccoyii).
Kepastian tersebut didapat Indonesia setelah sidang Komisi Konservasi Tuna Sirip Biru Selatan (the Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna/CCSBT) berakhir pada pekan lalu. Dari sidang tersebut, Indonesia berhasil mendapatkan tambahan kuota tangkapan sebesar 100 ton.
Pada periode 2018-2020, kuota tangkapan Tuna Sirip Biru untuk Indonesia ditetapkan sebesar 1.023 ton dan kemudian naik menjadi 1.123 ton untuk periode 2021-2023. Penambahan tersebut, menjadi bukti kesungguhan Indonesia dalam mengelola penangkapan Tuna Sirip Biru.
Keberlanjutan
Muhammad Zaini menerangkan, sebelum mendapatkan kuota dengan jumlah 1.123 ton, pada 2010 Indonesia yang pertama kali mendapatkan kuota tangkapan Tuna Sirip Biru hanya diberikan 750 ton saja. Secara bertahap, jumlah kuota kemudian naik seiring keberhasilan Indonesia dalam melakukan pengelolaan kuota tangkapan.
Adapun, penambahan kuota tangkapan Indonesia untuk periode 2021-2023 bisa terwujud, karena negara anggota CCSBT seperti Jepang, Selandia Baru, Korea Selatan, Taiwan, Uni Eropa, dan Afrika Selatan setuju dengan usulan tambahan kuota yang diajukan Indonesia.
“Dengan demikian, Indonesia berhasil mendapatkan tambahan 100 ton atau 30 persen dari 306 ton yang diperebutkan,” jelas dia.
Zaini menuturkan, penambahan kuota hingga 30 persen merupakan hasil yang sangat baik jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pada 2016 contohnya, dari total 3.000 ton yang diperebutkan, Indonesia hanya mendapatkan 9 persen kuota tambahan atau sebesar 273 ton.
baca juga : Ini Buah Manis Penerapan Prinsip Berkelanjutan pada Perikanan Tuna
Ia menilai partisipasi aktif Indonesia pada CCSBT sangat penting bagi pengelolaan hasil tangkapan Tuna Sirip Biru di dunia. Hal ini juga sebagai bentuk pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab dan berkelanjutan.
Sedangkan Direktur Pengelolaan Sumber Daya Ikan KKP Trian Yunanda menerangkan, penentuan tambahan kuota Tuna Sirip Biru untuk Indonesia menjadi momen yang sangat penting dan menegangkan selama sidang CCSBT berlangsung.
Bagi dia, momen tersebut sangat penting karena menjadi ajang penentuan keberlanjutan Tuna Sirip Biru di Indonesia, terutama berkaitan dengan kuota Tuna Sirip Biru yang akan dibagikan kepada Indonesia dan negara lainnya.
Trian mengatakan, walau Indonesia sudah mendapatkan kuota, tetapi dia menilai bahwa pembagian masih berjalan tidak adil. Kondisi itu sudah terjadi sejak Indonesia pertama kali masuk menjadi anggota CCSBT dan berlangsung hingga sekarang.
“Ini disebabkan formulasi pembagian kuota yang cenderung tidak memihak developing coastal states dan traditional fishing practices,” ungkap dia.
Agar ketidakadilan dalam pembagian kuota tidak kembali terjadi di waktu yang akan datang, Indonesia meminta CCSBT untuk meninjau kembali penggunaan formula pembagian kuota Tuna Sirip Biru. Permintaan Indonesia tersebut kemudian diterima secara resmi oleh CCSBT.
Diketahui, Tuna Sirip Biru merupakan salah satu jenis ikan ekonomis penting dihargai sangat tinggi di pasar internasional. Ikan tersebut pernah mencatat rekor dunia sebagai ikan termahal dengan harga Rp25 miliar untuk satu ekor tuna berbobot 276 kilogram.
Sebagai anggota CCSBT, Indonesia bergabung menjadi negara anggota (contracting party) pada 2008 melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 109 Tahun 2007 tentang Pengesahan Convention for the Conservation of Southern Bluefin Tuna.
perlu dibaca : Diluncurkan Program Perbaikan Perikanan Tuna Longline Demi Sustainable Fisheries
Kuota Tangkapan
Adapun, masuknya Indonesia sebagai anggota CCSBT, tidak lepas dari peraturan internasional trade restrictive measures yang diterapkan oleh CCSBT sejak 2006. Peraturan itu membuat produk eskpor asal Indonesia dilarang masuk (trade ban) ke seluruh negara anggota CCSBT dan Amerika Serikat.
Jika Indonesia tidak segera masuk menjadi anggota CCSBT, maka hasil tangkapan Tuna Sirip Biru asal Indonesia akan dianggap sebagai produk hasil penangkapan ikan secara ilegal, tak dilaporkan, dan tidak sesuai dengan regulasi (IUU Fishing). Karenanya, produk Indonesia tidak dapat dipasarkan secara internasional.
Sementara, terkait penentuan kuota Tuna Madidihang yang masih belum keluar, Trian Yunanda mengatakan bahwa Indonesia berkepentingan untuk mendapatkan kepastian tentang hal tersebut. Terutama, tentang sinkronisasi data produksi antara Indonesia dengan IOTC.
Menurut dia, hasil pertemuan internasional yang berlangsung pada sidang tahunan IOTC menjadi momen penting bagi Indonesia, karena itu akan memberi pengaruh signifikan bagi keberlanjutan pengelolaan Tuna di kawasan Samudera Hindia.
“Khususnya terkait tangkapan Tuna Madidihang yang sudah berstatus overfished and subject to overfishing,” ucap dia.
Trian menyebutkan, hasil sidang tahunan IOTC 2020 memutuskan adanya pertemuan khusus (special session) pada 2021 untuk membahas implementasi dan revisi Resolusi 2019/2021. Pertemuan itu ditetapkan, karena pembahasan pada tahun ini terkendala karena dilakukan secara virtual.
Selain itu, sidang tahunan juga menyetujui pelaksanaan tiga kali pertemuan Technical Committee on Allocation Criteria pada 2021 untuk membahas kriteria alokasi Tuna di Samudera Hindia. Kriteria alokasi diharapkan dapat memenuhi aspek keberadilan (fairness).
“Juga memperhatikan kepentingan developing coastal state. Selain itu juga memenuhi unsur sosial ekonomi dan tingkat kepatuhan negara anggota dan kerja sama non anggota,” tutur dia.
baca juga : Butuh Upaya Sangat Keras untuk Mengembangkan Industri Perikanan Natuna
Pertemuan the 24th Session of the Indian Ocean Tuna Commission (IOTC) digelar secara daring pada 2-6 November 2020. Forum tersebut sedianya dilaksanakan di Indonesia, namun karena pandemi COVID-19 seluruh rangkaian pertemuan diselenggarakan secara daring.
Dalam pertemuan itu Indonesia juga menjadi co-sponsor untuk dua proposal, yaitu pemilihan Executive Secretary IOTC, Consultation Towards the Development of a Proposal for a Permanent Procedure to Select the Executive Secretary, dan Proposal on a Management Procedure for Yellowfin Tuna in the IOTC Area of Competence bersama dengan Australia, Maladewa, Afrika Selatan, dan Uni Eropa.