- Ciliwung merupakan sungai bersejarah yang sekaligus merupakan benteng alam Kerajaan Pajajaran [1482-1567] saat masih berdiri.
- Pengelolaan Ciliwung sudah ada sejak Kolonial Belanda berkuasa di Jawa. Bagi Belanda, merawat hulu Ciliwung sama halnya menjaga wibawa ibukota, Batavia, yang sekarang bernama Jakarta.
- Ciliwungmembentang dari hulu di Bogor, meliputi kawasan Gunung Gede, Gunung Pangrango, dan Cisarua lalu mengalir ke hilir di pantai utara Jakarta. Panjangnya 120 kilometer dengan luas Daerah Aliran Sungai [DAS] 387 kilometer persegi.
- Ciliwungmerupakan satu dari 15 sungai yang diprioritaskan pemulihannya oleh Pemerintah Indonesia. Selain Ciliwung, ada Sungai Asahan Toba, Siak, Musi, Sekampung, Cisadane, Citarum, Serayu, Solo, Brantas, Kapuas, Moyo, Limboto, Saddang, dan Jeneberang.
Ciliwung adalah sungai bersejarah. Sejak dari jaman Kerajaan Pajajaran hingga masa Kolonial Belanda, sungai ini memainkan peranan penting bagi kehidupan masyarakat.
Namun kini, Ciliwung tidak lagi dipuja. Setiap kali terjadi banjir di Jakarta, Ciliwung selalu dikaitkan sebagai penyebabnya. Bencana yang sesungguhnya terjadi akibat ulah manusia yang merusak Ciliwung dengan sampah, limbah, hingga merusak wilayah tutupan hijau sebagai areal resapan airnya.
Berikut fakta unik Sungai Ciliwung yang dirangkum Mongabay Indonesia, dari berbagai sumber, guna memperingati Hari Sungai Ciliwung setiap 11 November.
- Sungai bersejarah
Dalam tulisannya di Mongabay Indonesia berjudul “Merawat Hulu Ciliwung, Menjaga Wibawa Hilir Ibukota”, Anggit Saranta menuliskan riwayat Ciliwung. Menurut sejarawan Bogor Saleh Danasasmita [1933-1986], Ciliwung merupakan satu dari empat benteng alam Kerajaan Pajajaran [1482-1567] saat masih berdiri.
Kesultanan Banten yang berseteru dengan Pajajaran memerlukan waktu 40 tahun lebih untuk bisa menaklukan ibukota Pakuan [sekarang Bogor]. Ini dikarenakan adanya bentang alam yang menjadi pertahanan ibukota, yaotu dua sungai besar Ciliwung dan Cisadane, ditambah Gunung Salak dan Pangrango.
Terkait pengelolaan Ciliwung, sejatinya sudah ada sejak Kolonial Belanda berkuasa di Jawa. Bagi Belanda, merawat hulu Ciliwung sama halnya dengan menjaga wibawa ibukota, Batavia, yang sekarang bernama Jakarta.
Sebagai contoh, Bendung Katulampa merupakan upaya pembesar Hindia Belanda untuk melindungi Batavia dari serangan banjir besar Ciliwung. Bendungan karya insinyur Van Breen sepanjang total 74 m, dengan 5 pintu pembagi aliran dan 3 pintu penahan arus itu diresmikan Gubernur Jenderal Alexander Willem Frederik Idenburg, pada 11 Oktober 1912.
Hingga kini, Bendungan Katulampa selalu menjadi perhatian, tiap kali hujan besar melanda kawasan Puncak dan Bogor. Terutama terkait status debit air Normal atau Siaga, sebagai antisipasi banjir di Jakarta.
Baca: Wawancara Eksklusif Bima Arya: Terlalu Lama Kita Meninggalkan Ciliwung
- Membentang luas
Ciliwung membentang dari hulu di Bogor, meliputi kawasan Gunung Gede, Gunung Pangrango, dan Cisarua lalu mengalir ke hilir di pantai utara Jakarta. Panjangnya 120 kilometer dengan luas Daerah Aliran Sungai [DAS] 387 kilometer persegi.
Sungai bersejarah ini pun dibagi tiga sub DAS. Ciliwung hulu seluas 15.251 hektar [di wilayah Kabupaten Bogor dan Kota Bogor], Ciliwung tengah seluas 16.706 hektar [di Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Depok, dan Bekasi], serta Ciliwung hilir seluas 6.295 hektar [di DKI Jakarta].
Saat ini, kawasan hutan yang merupakan regulator alami tata kelola air tersisa di DAS Ciliwung diperkirakan hanya tersisa 9,7 persen atau seluas 3.693 hektar. Padahal, bila bicara luasan ideal ruang hijau, harusnya sekitar 30 persen dari luas Ciliwung itu sendiri.
- Prioritas pemulihan
Ciliwung merupakan satu dari 15 sungai yang diprioritaskan pemulihannya oleh Pemerintah Indonesia. Selain Ciliwung, ada Sungai Asahan Toba, Siak, Musi, Sekampung, Cisadane, Citarum, Serayu, Solo, Brantas, Kapuas, Moyo, Limboto, Saddang, dan Jeneberang.
Anggaran yang disiapkan lebih dari Rp2 triliun. Angka tersebut termasuk proyek pemulihan 15 danau prioritas dan 65 bendungan.
Baca: Bebersih Ciliwung Bukan Hanya Kejar Rekor MURI
- Hilangnya ikan
Kekhawatiran akan ancaman kepunahan ikan di Sungai Ciliwung terbukti. Berdasarkan penelitian LIPI, dari 187 jenis ikan yang ada, kini hanya sekitar 20 jenis tersisa. Atau, sekitar 92,5 persen telah punah akibat aktivitas manusia dan pencemaran yang terus terjadi.
Data penelitian LIPI menyebutkan, sepanjang tahun 1910 hingga 2010, ikan seperti belida, soro, berot, nilam, tawes, putak, berukung, lele, brek, keperas, dan ikan hitam sudah tidak ditemukan lagi di Ciliwung. Sementara, spesies ikan lainnya seperti hampal, genggehek, dan baung semakin terancam.
Agar ikan yang ada tidak tidak, kesadaran masyarakat untuk tidak membuang sampah harus ditumbuhkan. Juga, pencemaran air yang terjadi akibat limbah industri pabrik harus dihentikan. Selain itu juga, diharapkan tidak ada pihak yang menebar ikan-ikan predator di Ciliwung yang bukan habitatnya, agar spesies asli tetap hidup.
- Sampah dan limbah
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, jumlah limbah rumah, sampah, limbah industri, limbah ternak, dan pencemaran dari pertanian yang ada di Ciliwung sebesar 54,4 ton BOD per hari.
Sementara, kemampuan sungai menampung beban pencemaran hanya 9,29 ton BOD [Biological Oxygen Demand] per hari. Dapat dikatakan, Ciliwung telah melewati kemampuan daya dukungnya.
Tantangan lain adalah adanya perubahan tata ruang dan tutupan lahan. Hal ini menyebabkan menurunnya kualitas lingkungan yang menyebabkan meningkatnya kerentanan bencana banjir. Daerah sempadan sungai [riparian] dari Bogor, Depok, dan sebagian Jakarta Selatan yang merupakan 60 % dari total luas sempadan Ciliwung, sekitar 37,11 persen telah menjadi daerah terbangun kedap air.
Baca: Normalisasi untuk Cegah Banjir Ciliwung, Jalan Efektif atau Jadi Masalah Baru?
- Identik banjir
Ciliwung selalu dikaitkan dengan persoalan bajir yang terjadi di Jakarta. Terkait bencana ekologis tersebut, penanggulangan juga harus dilakukan dengan pendekatan/perbaikan ekologi seperti pemulihan tutupan hijau resapan daerah aliran sungai/Watershed.
Menurut Eko Kusratmoko, pakar geografi dan keteknikan dari Universitas Indonesia, seharusnya jarak sepuluh meter dari tepian Ciliwung tidak diperbolehkan untuk bangunan. Mengingat, kemiringan kali berisiko besar terjadinya longsor.
Satu hal yang harus dipahami adalah sebagian besar wilayah Jakarta merupakan lahan basah berupa rawa, yang dialihfungsikan menjadi perumahan dan perkantoran. Fungsi utama rawa adalah pengatur dan penyimpan air, bukan sebagai daerah resapan.
Sungai meluap yang mengakibatkan banjir adalah suatu proses alamiah siklus ekologi pada sungai. Ini terjadi ketika Jakarta juga mengalami banjir sejak zaman Batavia dulu. Persoalan saat ini adalah banjir semakin sering terjadi dengan daya rusak lebih besar.
- Hari Sungai Ciliwung
Setiap 11 November diperingati sebagai Hari Ciliwung yang telah digelar sejak tahun 2012. Ditetapkannya Hari Ciliwung tersebut berdasarkan penemuan dua ekor bulus atau sejenis kura-kura, pada 11 November 2011, yang menunjukkan eksistensi hewan endemik di Ciliwung harus dijaga habitat dan kehidupannya.
Tanggal 11 November merupakan momen kepedulian kita bersama, untuk terus menjaga sekaligus membebaskan Ciliwung dari segala persoalan.
Ciliwung sebagai sungai bersih, bermanfaat sekaligus meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat, serta tidak mendatangkan banjir harus diwujudkan. Langkah perbaikan yang harus dilakukan itu, tidak berkutat pada istilah normalisasi atau naturalisasi Ciliwung.