- Pertambangan batubara ilegal di Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan [Sumsel] didorong menjadi legal. Langkah ini sebagai antisipasi terjadinya kecelakaan yang merenggut korban jiwa seperti beberapa waktu lalu.
- Langkah ini dinilai tidak tepat, sebab pertambangan batubara lebih banyak memberikan dampak negatif terhadap lingkungan dan manusia. Jika ingin menyelamatkan masyarakat untuk tidak menambang batubara secara ilegal, seharusnya pemerintah memberi lapangan pekerjaan kepada masyarakat.
- Mendorong legalisasi penambangan batubara ilegal dinilai tidak sejalan dengan misi pembangunan jangka panjang Sumsel yakni meningkatkan potensi sumber daya alam guna penyediaan sumber energi dan pangan berkelanjutan.
- Pemerintah Sumsel seharusnya mengembangkan energi terbarukan yang bersih, sebab kerusakan bentang alam seperti penambangan batubara diyakini sebagai pemicu perubahan iklim global, yang menyebabkan lahirnya berbagai penyakit baru, seperti pandemi virus.
Pernyataan Gubernur Sumatera Selatan [Sumsel] Herman Deru yang menginginkan legalisasi penambangan batubara ilegal di Kabupaten Muara Enim, dinilai sejumlah pegiat lingkungan bukan langkah tepat. Mengapa?
Dikutip dari Kompas.com, Herman Deru menyatakan dirinya dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral [ESDM] tengah mendorong legalisasi tambang batubara rakyat di Kabupaten Muara Enim. Ditargetkan, keputusan itu rampung akhir 2020.
Tujuannya, agar pertambangan tersebut dapat berjalan lebih aman dan memiliki standar keselamatan. Dengan begitu, peristiwa kecelakaan yang menewaskan 11 orang akibat longsornya lokasi penambangan pada 21 Oktober 2020 lalu, tidak terulang lagi.
“Dalam prosesnya nanti, akan ada sebuah badan usaha, baik itu BUMN atau BUMD yang mengkoordinir aktivitas para penambang tersebut, sehingga semua dapat berjalan secara lebih aman dan memiliki standar keselamatan yang jelas,” kata Herman kepada wartawan yang dikutip Kompas, Jumat [6/11/2020].
Baca: 11 Pekerja Tewas Tertimbun di Tambang Batubara Ilegal, Tidak Jauh dari PLTU Sumsel 8
Pius Ginting, Direktur Eksekutif AEER [Perkumpulan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat], menilai keputusan Herman Deru tersebut bukan langkah yang tepat.
“Mengapa? Sebab industri batubara menimbulkan berbagai persoalan. Mulai kerusakan lingkungan, kesehatan dari penambangan, gangguan transportasi, hingga pemakaiannya. Masyarakat di Kabupaten Muara Enim memasuki ekonomi tambang batubara walau tak aman, karena tidak tersedia lapangan kerja yang layak dan aman,” kata Pius kepada Mongabay Indonesia, Sabtu [07/11/2020].
Selain itu, pelegalan dan perluasan tambang batubara mengakibatkan ketimpangan lahan. Dan warga yang tidak punya lahan, terdorong ke pekerjaan tidak aman. PLTU dan tambang batubara tidak bisa menyerap banyak tenaga kerja karena menggunakan alat berat berkapasitas besar.
“Jadi, seiring pemanasan global, sebaiknya dilakukan moratorium perluasan tambang batubara dan pendirian PLTU. Bukan sebaliknya,” katanya.
Pemerintah Sumsel seharusnya mencari atau mendatangkan investor energi terbarukan. “Sebab, bila tetap memperluas penggunaan batubara, industri yang punya konsumen sadar lingkungan ke depan berpotensi menjauhi Sumsel. Contohnya, aliansi perusahaan sekarang membentuk Powering Post Coal,” paparnya.
Baca: Lamban Ganti Rugi Lahan, Penyebab Maraknya Penambangan Batubara Liar di Muara Enim?
Energi terbarukan
Dr. Rabin Ibnu Zainal, Direktur PINUS [Pilar Nusantara] Sumsel, sebuah lembaga yang melakukan pemantauan terhadap batubara, menyatakan penjelasan Herman Deru tersebut belum jelas untuk kepentingan rakyat.
“Jika disimak pernyataan tersebut, sepertinya Pemerintah Sumsel mau membuat semacam BUMD dan akan mengajukan IUP di wilayah tersebut. Hanya mekanisme BUMD ke penambang rakyat masih belum jelas, apakah akan di sub-kan atau menjadi pekerja kontrak BUMD tersebut,” kata Rabin kepada Mongabay Indonesia, Minggu [08/11/2020].
Rabin juga menilai keinginan Herman Deru tersebut terkesan tidak selaras dengan target Sumsel, yang tercantum pada RPJPD [Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah] Sumsel 2005-2025 yang visinya “Sumatera Selatan Unggul dan Terdepan Tahun 2025.
Point pertama dari misinya yakni, “Meningkatkan potensi sumber daya alam guna penyediaan sumber energi dan pangan berkelanjutan. Batubara bukan energi berkelanjutan,” terangnya.
Baca: “Napas yang Terbunuh”, Kesedihan akibat Tambang Batubara Ilegal di Muara Enim
Seperti diberitakan Mongabay Indonesia sebelumnya, pada 2019 lalu, Sumsel menjadi daerah percontohan energi terbarukan oleh Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman.
“[Indonesia] sejatinya kaya sumber energi terbarukan. Sumatera Selatan, patut dicontoh karena berhasil memanfaatkan matahari dan limbah sekam padi jadi pembangkit listrik,” kata Agung Kuswandono, Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Alam dan Jasa saat Kaji Banding PLTS dan PLTBm Sekam Padi di Palembang.
Ada tiga pengelolaan sumber energi terbarukan di Sumsel. Pertama, PT. Buyung Poetra Sembada, yang mengelola sawah sekitar 200 hektar di Kabupaten Ogan Ilir [OI], menjadi pelopor pembangunan pembangkit listrik tenaga biomassa [PLTBm] sekam padi di Indonesia.
Kedua, pembangkit listrik tenaga surya [PLTSa] Jakabaring. PLTSa ini mulai beroperasi guna memenuhi kebutuhan listrik di kawasan fasilitas olahraga Jakabaring Sport City Palembang saat Asian Games 2018. PLTSa Jakabaring yang memiliki kapasitas 2 MW merupakan PLTSa terbesar di Sumatera.
Ketiga, sejak 2013 Pemerintah Sumsel sudah memiliki pembangkit tenaga gas alam [PLTG] compressed natural gas di Ogan Ilir berkapasitas 3x 18 MW.
Baca juga: Kala Sumsel jadi Daerah Percontohan Pengembangan Energi Terbarukan
Ancaman pandemi virus
Conie Sema, pegiat Teater Potlot, teater yang beberapa tahun terakhir mengusung isu ekologi menyatakan, “Keinginan Pemerintah Sumsel untuk melegalkan pertambangan batubara rakyat guna menyelamatkan jiwa para penambang, merupakan pilihan kurang tepat.”
Sebab, pertambangan batubara yang masif justru lebih banyak berdampak pada kesehatan dan jiwa manusia. “Pertambangan batubara merupakan salah satu pemicu perubahan iklim global.”
Seperti diketahui, rusaknya bentang alam seperti terbukanya hutan, serta perubahan iklim global, diyakini sebagai penyebabnya banyak penyakit baru atau serangan wabah virus mematikan.
“Memperluas penambangan batubara sama saja kita membuka peluang kemungkinan hadirnya pandemi virus baru. Seharusnya, Pemerintah Sumsel fokus pada pengembangan energi terbarukan yang bersih,” ujarnya.