- Sebanyak 157 awak kapal perikanan (AKP) asal Indonesia, termasuk dua jenazah, berhasil dipulangkan oleh Pemerintah Indonesia dari Republik Rakyat Tiongkok. Kepulangan mereka, karena didasari sejumlah faktor, terutama ketidaknyamanan bekerja di kapal perikanan berbendera RRT
- Meski berhasil memulangkan seluruh AKP, tetapi pekerjaan rumah masih dimiliki Pemerintah, terutama untuk menindaklanjuti seluruh hak-hak yang harus ditunaikan oleh perusahaan RRT kepada para AKP, seperti gaji dan honor selama bekerja
- Selain itu, Pemerintah juga harus segera menjajaki kerja sama bilateral terkait pengiriman AKP untuk bekerja di kapal perikanan RRT. Dengan adanya kerja sama, maka penanganan secara hukum dan juga yang lainnya bisa dilakukan kedua negara, Indonesia dengan RRT
- Dengan bekerja sama, maka proses tukar informasi terkait AKP dan segala proses teknisnya bisa dilakukan kedua negara. Proses tukar informasi menjadi sangat penting, karena untuk menentukan perekrutan dan juga penempatan AKP di kapal perikanan berbendera RRT
Pemulangan 157 warga Negara Indonesia (WNI) yang bekerja sebagai awak kapal perikanan (AKP) pada kapal perikanan berbendera Republik Rakyat Tiongkok (RRT) mendapatkan apresiasi. Proses kepulangan para AKP tersebut dilakukan melalui jalur laut menuju Kota Bitung, Provinsi Sulawesi Utara.
Kementerian Luar Negeri RI yang berperan sebagai negosiator, dinilai layak mendapatkan pujian karena berhasil memulangkan seluruh AKP dari kapal perikanan RRT. Kepulangan mereka, karena ada yang sudah habis kontrak, perusahaan bangkrut, atau pulang atas keinginan sendiri.
“Keinginan sendiri muncul, karena kondisi kerja yang tidak nyaman di kapal ikan RRT,” ungkap Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan di Jakarta, Selasa (10/11/2020).
Menurut dia, Pemerintah Indonesia harus menindaklanjuti kepulangan para tenaga kerja perikanan tersebut dengan mendata dan memastikan hak-hak AKP sudah dipenuhi oleh seluruh kapal perikanan RRT. Misalnya saja, hak atas gaji dan bonus bekerja selama bekerja di atas kapal.
Selain itu, Pemerintah juga harus melakukan perbaikan tata kelola pengiriman AKP ke luar negeri, khususnya RRT. Hal itu, karena banyak indikasi yang muncul bahwa AKP asal Indonesia bekerja tidak sesuai prosedur dari mulai proses perekrutan hingga penempatan.
baca : Menanti Ratifikasi Norma Perlindungan bagi Awak Kapal Perikanan
Abdi Suhufan mengatakan, perlunya melakukan tata kelola, karena sampai sekarang belum ada jalinan kerja sama secara bilateral antara Indonesia dengan RRT untuk pengiriman AKP pada kapal perikanan berbendera RRT.
“Pengiriman dilakukan antar manning agent Indonesia ke agency di RRT. Agency di RRT yang menyalurkan ke perusahaan pemilik kapal ikan,” jelas dia.
Mengingat pentingnya kerja sama antara kedua negara, Pemerintah Indonesia sebaiknya segera memulai proses penjajakan kerja sama dengan RRT. Pemerintah harus mulai bertukar informasi terkait lowongan pekerjaan, pelatihan dan standardisasi AKP, dan sistem pengupahan.
Kemudian, juga harus bertukar informasi terkait akreditasi/standardisasi agen penyalur AKP (manning agency) yang bisa melakukan perekrutan dan penempatan AKP di RRT. Untuk itu, Pemerintah harus melakukan pembicaraan secara lebih detail untuk pertukaran informasi tersebut.
Apresiasi atas pemulangan 157 AKP dari RRT, juga diungkapkan Direktur Eksekutif Pusat Studi Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim. Dalam penilaian dia, langkah repatriasi AKP asal Indonesia sudah sesuai dengan koridor diplomasi/hubungan internasional.
Namun, RRT perlu bekerja sama dengan Indonesia untuk memperketat perekrutan, penempatan, dan pengawasan terhadap AKP asal Indonesia yang bekerja di atas kapal perikanan RRT. Tujuannya, agar para AKP bisa terbebas dari praktik perdagangan orang dan juga perbudakan modern.
“Sampai sekarang juga belum ada perjanjian bilateral dengan RRT. Ini menyulitkan kedua negara untuk mengantisipasi terjadinya pelanggaran HAM (hak asasi manusia) dan praktik IUU fishing,” jelas dia.
baca juga : Pekerjaan Rumah Pemerintah untuk Melindungi Awak Kapal Perikanan
Bilateral
Halim menilai, di antara penyebab masih belum adanya kerja sama bilateral dengan RRT, karena Pemerintah tidak satu suara antara satu instansi dengan instansi yang lain. Selain itu, faktor investasi juga ditengarai menjadi pertimbangan mengapa sampai sekarang tidak ada kerja sama bilateral.
“Sekalipun jelas pelanggaran yang dilakukan oleh kapal RRT, tapi ada pertimbangan investasi dan lain-lain,” tegas dia.
Ketiadaan kerja sama bilateral, bukan hanya menyulitkan kedua negara untuk melakukan penindakan hukum secara langsung, namun juga membuat seluruh kapal perikanan RRT yang beroperasi di laut lepas berbuat seenaknya dengan menghindari tanggung jawab hukum dari konvensi internasional.
Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri RI Judha Nugraha pada pekan lalu mengatakan, WNI yang bekerja sebagai AKP kebanyakan berasal dari pulau Jawa, Sumatera, dan juga Sulawesi.
Mereka yang memilih untuk bekerja menjadi AKP, hampir sebagian besar adalah tenaga kerja yang nol pengalaman dengan industri perikanan. Bahkan, sebagian besar hampir dipastikan tidak pernah memiliki pengalaman bekerja sebagai nelayan skala kecil ataupun tradisional.
“Kebanyakan (bekerja) sebagai petani. Karena kondisi ekonomi sulit dan terkena bujuk rayu dari sponsor yang menjanjikan untuk bekerja di luar negeri dengan remunerasi yang baik, dan bekerja di kapal ikan,” ungkap dia.
Untuk meyakinkan keluarga dan juga WNI yang akan bekerja sebagai AKP, sponsor akan memberikan uang kepada keluarga sesaat sebelum berangkat ke negara tujuan. Uang tersebut bukanlah uang hibah, melainkan akan menjadi utang di kemudian hari dan harus dibayar oleh AKP.
“Saat AKP ingin pulang (ke Indonesia), sponsor menjadikan uang tersebut sebagai utang. Modus lain, (sponsor) menggunakan dokumen palsu agar WNI bisa bekerja sebagai AKP di atas kapal perikanan. Pemalsuan dilakukan, agar AKP mendapatkan dokumen pelatihan,” terang dia.
Mengingat dokumen yang digunakan adalah palsu, Judha menyebutkan bahwa para WNI yang akan dikirim sebagai AKP rerata tidak memiliki pengetahuan dan pemahaman yang cukup tentang resiko pekerjaan mereka. Bahkan, sekedar memahami kegunaan jaket pelampung (life vest) pun tidak tahu.
Dengan segala keterbatasan tersebut, Judha mengatakan bahwa para AKP akhirnya diberangkatkan ke negara tujuan untuk bekerja di kapal perikanan. Saat tiba di negara tujuan, barulah mereka menyadari bahwa resiko pekerjaan yang mereka hadapi sangatlah besar.
“Tapi mereka juga tidak punya pilihan, karena tidak bisa pulang (ke Indonesia),” tegas dia.
perlu dibaca : Moratorium Pengiriman Awak Kapal Perikanan Harus Diwujudkan
Tantangan
Walau bekerja sebagai AKP penuh dengan resiko yang tinggi, namun Pemerintah Indonesia juga tidak bisa memberikan perlindungan yang penuh kepada mereka yang sudah bekerja. Hal itu bisa terjadi, karena tidak semua AKP yang sudah bekerja di luar negeri diberangkatkan sesuai prosedur yang berlaku.
Menurut Judha, keberangkatan yang tidak sesuai prosedur di Indonesia menjadi tantangan besar yang harus dihadapi oleh Pemerintah. Semua intansi Negara yang terlibat seperti Kemenaker RI, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Perhubungan RI, dan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BNP2TKI) pada akhirnya tidak bisa memberikan perlindungan yang penuh.
Akibat tidak adanya perlindungan maksimal, AKP yang bekerja di atas kapal bisa mendapatkan perlakuan seenaknya dari kru kapal dan bahkan mengakibatkan nyawa mereka terancam. Tidak sedikit, AKP yang sedang bekerja harus meregang nyawa karena berbagai faktor.
“Tapi kita tidak bisa mengungkap penyebab kematiannya. Karena memang tidak ada bukti saat mereka bekerja di lautan lepas. Mereka mati apakah karena sakit atau kondisi pekerjaan, itu tidak kita tahu,” tutur dia.
Perlakuan tidak menyenangkan di atas kapal yang diterima para AKP dari Indonesia, menjadi beban kerja yang sangat berat. Termasuk, pemberlakuan jam kerja hingga 18 jam dalam sehari, itu adalah bagian dari perlakuan sangat tidak menyenangkan.
Tidak cukup di situ, nasib para pekerja migran asal Indonesia tersebut juga semakin bertambah berat setelah pandemi COVID-19 melanda seluruh negara di dunia, tak terkecuali RRT. Dalam catatan Kemlu RI, sejak pandemi berlangsung sudah ada 350 AKP yang terdampar di berbagai negara karena banyak faktor.
“Jadi tantangan karena belum semuanya bisa dipulangkan,” tambah dia.
Selain memulangkan 157 AKP, termasuk dua jenazah dari RRT, pada Selasa (10/11/2020) sebanyak 13 AKP asal Indonesia juga dipulangkan oleh Pemerintah Indonesia dari Dakar, Ethiopia. Hal itu dibenarkan oleh Direktur Jenderal Perhubungan Laut Kemenhub RI R. Agus Purnomo, Rabu.
Menurut dia, 13 AKP tersebut sebelumnya bekerja pada kapal perikanan Long Xing berbendera RRT milik perusahan Dalian Ocean Fishing. Mereka adalah bagian dari total 88 AKP yang bekerja pada kapal tersebut dan seluruhnya kini sudah berada di Indonesia.
Sebelumnya, AKP telah dipulangkan secara bertahap sebanyak 33 AKP pada 27 Oktober 2020 dan 42 AKP pada 3 November 2020. Seluruh 88 AKP tersebut diketahui sebelumnya bekerja pada 7 kapal ikan Long Xing, yakni kapal dengan kode 621, 622, 623, 625, 626, 627, dan 628.