- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja sudah disahkan dan berlaku secara umum. Agar UU tersebut bisa bekerja maksimal pada sektor kelautan dan perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan membuat Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang penyusunannya dilakukan sekarang
- Dalam melaksanakan penyusunan RPP, KKP dibantu oleh perguruan tinggi yang memiliki kompetensi pada sektor kelautan dan perikanan. Pembahasan tersebut dilakukan dengan mengacu pada kebutuhan setiap subsektor yang ada di bawah kelautan dan perikanan
- Di antara subsektor itu adalah perikanan tangkap dan pengelolaan ruang laut. Kedua subsektor tersebut sedang melaksanakan penyusunan RPP untuk mengatur peraturan turunan dari UUCK. Dalam RPP, dibahas sejumlah materi yang menjadi tujuan utama dari pemanfaatan dan pengelolaan
- Salah satu pembahasan yang menjadi materi, adalah tentang pengelolaan sumber daya ikan (SDI) yang memiliki acuan 11 poin penting. Di antaranya adalah tentang ukuran atau berat minimum jenis ikan yang boleh ditangkap, pencegahan pencemaran dan kerusakan SDI, dan rehabilitasi
Subsektor perikanan tangkap kini tengah menyiapkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang menjadi turunan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang sudah disahkan DPR RI beberapa waktu lalu. Aturan turunan tersebut, akan mengatur empat materi yang ada dalam subsektor tersebut.
Empat materi yang akan diatur, adalah tentang pengelolaan sumber daya ikan, penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara RI (WPP-NRI) yang bukan tujuan komersial, kapal perikanan, dan pelabuhan perikanan.
Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Muhammad Zaini pada pekan lalu mengatakan, dengan terbitnya UU tentang Cipta Kerja, maka diharapkan persoalan yang menghambat subsektor perikanan tangkap bisa dipecahkan secara baik dan bijak.
“Tujuannya, untuk mengurai hambatan yang selama ini mempersulit investasi. Mudah-mudahan perikanan tangkap akan menjadi bisa berkembang pesat,” ucap dia.
Tentang empat materi yang akan masuk dalam RPP, Zaini menjelaskan bahwa itu menjadi bagian dari upaya KKP dalam mengakomodir semua hal dengan lebih baik. Salah satu materi yang dimaksud, adalah tentang pengelolaan sumber daya ikan dan itu dipastikan tidak bertujuan untuk eksplotasi hasil laut.
baca : Banyak Sorotan dari Pemerhati, Menteri KKP Sukacita Sambut UU Cipta Kerja
Menurut dia, kekhawatiran banyak pihak yang selama ini muncul bahwa eksploitas hasil laut akan terjadi jika UUCK muncul, sama sekali tidak benar. Hal itu, karena ada 11 poin penting yang menjadi pegangan KKP dalam mengatur pengelolaan sumber daya ikan (SDI).
Di antara 11 poin penting yang menjadi acuan, adalah tentang ukuran atau berat minimum jenis ikan yang boleh ditangkap, pencegahan pencemaran dan kerusakan SDI dengan lingkungannya, dan rehabilitasi serta peningkatan SDI beserta lingkungannya.
Zaini mengungkapkan, jika melihat materi pengelolaan SDI yang ada dalam RPP, maka bisa dipastikan bahwa pengaturannya mencakup luas melalui pemeliharaan lingkungan yang baik dan benar. Dengan demikian, SDI bisa tetap terjaga dengan lestari dan berkesinambungan.
“Dan juga bagaimana kita mengelola SDI agar mendapat manfaat ekonomi secara optimal. Jadi dua-duanya dipertimbangkan secara seksama,” jelas dia.
Di luar pengaturan SDI, KKP juga ingin menjawab kekhawatiran masyarakat tentang hilangnya peran Komisi Nasional Pengkajian Sumber daya Ikan (Komnas Kajiskan) setelah UUCK diterbitkan. Komnas Kajiskan dipastikan ada, melalui RPP yang saat ini sedang dibahas detailnya.
baca juga : Tantangan UU Cipta Kerja dalam Menguji Kepatuhan Pelaku Usaha Perikanan
Sumber daya Ikan
Menurut Zaini, Komnas Kajiskan berperan sangat penting dalam pengaturan SDI. Hal itu, karena lembaga tersebut bertugas untuk memberi pertimbangan estimasi SDI yang ada di perairan laut Indonesia, dan jumlah tangkapan ikan yang diperbolehkan.
“Juga memberi pertimbangan tentang tingkat pemanfaatan sumber daya ikan, dan alokasi sumber daya ikan di setiap WPP-NRI. Dalam RPP ini dijawab bahwa Komnas Jiskan masih ada,” tegas dia.
Perihal tidak ada pembahasan Komnas Kajiskan dalam UUCK, Zaini menjelaskan bahwa itu terjadi karena UU tersebut tidak memebrikan amanah langsung kepada Menteri, tetapi kepada Pemerintah. Dengan demikian, Pemerintah memberikan mandat kembali kepada Menteri.
“Jadi Menteri-lah yang menetapkan kajiskan ini,” tambah dia.
Untuk mendapatkan aturan turunan khusus untuk perikanan tangkap, KKP melibatkan akademisi dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Padjajaran (Bandung, Jawa Barat)), dan Universitas Haluoleo (Kendari, Sulawesi Tenggara).
Sebagai informasi, ada empat Undang-Undang lingkup kelautan dan perikanan yang diatur dalam UUCK, yaitu UU tentang Perikanan, UU tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU Kelautan, dan UU tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam.
Sekretaris Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP Hendra Yusran Siry pada kesempatan yang sama mengatakan, RPP lain yang akan menjadi turunan dari UUCK adalah RPP Perizinan Berusaha yang saat ini masih dalam tahap pembahasan.
Kehadiran RPP Perizinan menjadi penting, karena itu bisa mendorong kemudahan berusaha bagi usaha mikro, kecil, dan menengah. Dalam proses penyederhanaan perizinan tersebut, di dalamnya termasuk penyederhanaan persyaratan, proses bisnis, durasi dan/atau biaya.
Selain untuk UMKM, RPP Perizinan juga diklaim akan bisa mendorong pelaksanaan pengawasan kegiatan usaha yang transparan, akutabel, dan dapat dipertanggung jawabkan sesuai perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Perizinan berbasis resiko usaha, di dalamnya mencakup kegiatan usaha dengan tingkat resiko rendah, tingkat resiko menengah, dan tingkat resiko tinggi. Kemudian, untuk tingkat perizinan berusaha itu mencakup registrasi untuk tingkat resiko rendah, sertifikat standar untuk tingkat resiko menengah, dan izin untuk tingkat resiko tinggi.
perlu dibaca : Kiara : UU Cipta Karya, Perampok Kedaulatan Masyarakat Pesisir
Kewenangan Usaha
Secara khusus, Hendra menjelaskan bahwa kewenangan perizinan berusaha subsektor pengelolaan ruang laut yang kewenangan ada di bawah Menteri Kelautan dan Perikanan adalah mencakup kegiatan yang berada di wilayah yurisdiksi, wilayah perairan lebih dari 12 mil laut, wilayah perairan pesisir, dan pulau-pulau kecil lintas kewenangan.
Kemudian, mencakup wilayah perairan di kawasan strategis nasional, wilayah perairan di kawasan strategis nasional tertentu, kawasan konservasi nasional, pulau-pulau kecil dalam rangka penanaman modal asing, dan pulau-pulau kecil dengan luas di bawah 100 kilometer persegi (km2)
“Juga pemanfaatan jenis ikan yang dilindung dan atau yang termasuk dalam Appendiks CITES, dan produksi garam pada tambak dengan luasan lebih dari lima ratus hektare,” jelas dia.
Kemudian untuk yang kewenangannya ada di bawah Gubernur Provinsi, adalah yang berada di perairan pesisir dan pulau-pulau kecil selain kewenangan Menteri, dan produksi garam pada tambak garam dengan luasan lebih dari 15 ha sampai dengan 500 ha.
Selain kewenangan di bawah Menteri dan Gubernur, RPP juga memfasilitasi perizinan berusaha subsektor pengelolaan ruang laut oleh Pemerintah Daerah untuk masyarakat lokal. Mereka yang mendapat fasilitas khusus itu harus bermata pencaharian sebagai pembudi daya ikan kecil.
Ataupun, mereka yang melaksanakan kegiatan penangkapan ikan dengan alat statis, pemanfaatan air laut selain untuk energi, atau untuk wisata bahari dengan hasil produksi atau memiliki penghasilan tidak lebih dari nilai rata-rata upah minimum kabupaten/kota.
“Selain kriteria di atas, masyarakat lokal harus berdomisili di wilayah pesisir dan/atau pulau-pulau kecil paling singkat lima tahun berturut-turut atau paling singkat sepuluh tahun tidak berturut-turut,” urai dia.
baca juga : LBH: Omnibus Law Perparah Kerusakan di Laut dan Pesisir
Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati sebelum UUCK disahkan, mengatakan bahwa tersebut adalah bagian dari upaya memberi legalisasi kepada Pemerintah Indonesia dalam mengatur sektor kelautan dan perikanan dengan cara melaksanakan penghancuran laut secara massal.
Contohnya adalah pasal 26A UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil. Dalam pasal tersebut, disebutkan, “Dalam rangka penanaman modal asing, pemanfaatan pulau-pulau kecil dan pemanfaatan perairan di sekitarnya harus memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal.”
Menurut Susan, pasal tersebut menghilangkan syarat-syarat penting, terutama pertimbangan sosial, ekologis, dan juga budaya. Dengan demikian, perlindungan ekosistem pesisir laut, dan pulau-pulau kecil, akan semakin masif dilakukan setelah disahkannya RUU tersebut.