- Pelaksanaan pilkada tahun ini, rentan memperburuk masalah krisis sosial ekologi termasuk di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, dengan begitu banyak proyek ‘pembangunan’ mulai dari reklamasi, proyek tambang hingga pariwisata. Pilkada dinilai hanya panggung bagi para kandidat untuk mengutarakan visi-misi, dan mengumbar janji-janji kampanye.
- Merah Johansyah, Koordinator Jatam Nasional, meyakini, pilkada serentak tak akan mengatasi persoalan masyarakat di daerah pertambangan mineral dan batubara, wilayah korban operasi industri energi kotor dan berbahaya lain.
- Dari 270 wilayah yang menggelar pilkada serentak, terdapat 5.599 izin usaha pertambangan (IUP) yang rentan dengan transaksi ijon politik—menggadaikan kekayaan alam untuk menanggulangi pembiayaan politik Pilkada–. Di sembilan provinsi yang menggelar pemilihan gubernur dan wakil gubernur terdapat 1.359 IUP/IUPK dengan luas konsesi mencapai 4,6 juta hektar.
- Ahmad Ashov Birry, juru bicara Koalisi #BersihkanIndonesia dari Trend Asia mengingatkan, ongkos mahal pilkada yang menjadi pintu masuk ijon politik. Mengutip laporan Litbang KPK pada 2015, biaya jadi walikota atau bupati mencapai Rp20-Rp30 miliar. Untuk menjadi gubernur bisa Rp20-Rp100 miliar.
Pemilihan kepala daerah 9 Desember ini, serentak di 270 daerah dengan 9 provinsi, 224 kabupaten dan 27 kota. Pilkada akan berlangsung di Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Kepulauan Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah.
Koalisi #BersihkanIndonesia menilai, pelaksana pilkada tahun ini rentan memperburuk masalah krisis sosial ekologi termasuk di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, dengan begitu banyak proyek ‘pembangunan’ mulai dari reklamasi, proyek tambang hingga pariwisata. Pilkada dinilai hanya panggung bagi para kandidat untuk mengutarakan visi-misi, dan mengumbar janji-janji kampanye.
“Isu-isu tentang krisis sosial ekologis itu, tidak akan muncul. Tidak ada ruangnya,” kata Merah Johansyah, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional, dalam diskusi daring Koalisi #BersihkanIndonesia, pekan lalu.
Keterlibatan aktor itu dalam pilkada, membuat perbaikan lingkungan hidup makin runyam.
Catatan Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (Kiara) setidaknya, ada 22 proyek reklamasi di wilayah pilkada tahun ini. Sebagian besar sudah menjadi lokasi tambang dan proyek pariwisata cukup luas.
Baca juga: Pilkada Serentak, Was-was Nasib Hutan dan Gambut Indonesia
Alokasi ruang untuk zona pemukiman nelayan sangat minim bahkan ada daerah yang tidak memberikan ruang bagi pemukiman nelayan dalam rencana zonasi. Jikapun ada, luasan minim dibanding proyek-proyek yang merusak ruang pesisir.
Sulawesi Utara, misal, sebagai yang pertama mengesahkan perda zonasi, hanya mengalokasikan 42 hektar untuk pemukiman nelayan. Jumlah ini tak sebanding dengan nelayan yang ada.
“Ada potret ketidakadilan. Ini yang membuat kita geram,” kata Parid Ridwanuddin, Deputi Pengelolaan Pengetahuan Kiara. Dengan potret krisis sosial ekologis yang terjadi, Kiara pesimis, alih-alih akan terjadi perbaikan kualitas hidup, kemungkinan makin buruk.
Proyek pariwisata dengan luasan luar biasa, kata Parid, bukan berbasis masyarakat pesisir, tetapi pengusaha besar yang diuntungkan UU Cipta Kerja. Perampasan ruang laut pasca pilkada serentak, rentan terjadi.
Baca: Jatam: Waspada Enam Modus Ijon Politik Tambang di Indonesia
Pusat Data dan Infromasi Kiara mencatat sampai 2018, total proyek reklamasi mencapai 79.348,9 hektar di 42 lokasi pesisir di Indonesia. Proyek ini mengancam 747.363 keluarga nelayan karena rusaknya ekosistem pesisir dan hilangnya hasil tangkapan ikan.
Sebuah laporan yang diluncurkan koalisi organisasi sipil #BersihkanIndonesia memuat narasi tanding menghadapi apa yang disebut oleh laporan ini sebagai Pilkada Oligarkis 2020.
Dalam laporan ini disebutkan, dari 270 wilayah yang menggelar pilkada serentak, terdapat 5.599 izin usaha pertambangan (IUP) yang rentan dengan transaksi ijon politik—menggadaikan kekayaan alam untuk menanggulangi pembiayaan politik Pilkada–.
Di sembilan provinsi yang menggelar pemilihan gubernur dan wakil gubernur terdapat 1.359 IUP/IUPK dengan luas konsesi mencapai 4,6 juta hektar.
“Hampir sama dengan luas Jawa Timur yakni 4,7 juta hektar,” kata Ahmad Ashov Birry, juru bicara #BersihkanIndonesia dari Trend Asia.
Selain itu juga ada 11 wilayah kerja panas bumi (WKP) dari 64 WKP yang tersebar di seluruh Indonesia. Total luas WKP di sembilan provinsi ini mencapai 1,1 juta hektar dan 46 blok migas seluas 10,2 juta hektar.
Di wilayah pilkada serentak juga ada 196 proyek strategis nasional (PSN), atau 98% dari total 201 PSN terbaru.
Setidaknya, ada 56 PLTU batubara mendominasi dengan kapasitas 13.615 megawatt. Menyusul 16 proyek smelter, 10 kawasan industri atau ekonomi, tujuh kawasan strategis pariwisata nasional (KSPN). Juga enam proyek instalasi pengelolaan sampah menjadi energi listri (PSEL) yang menurut laporan ini, sebagian besar menggunalan teknologi termal yang akan menimbulkan pencemaran serius.
Ijon politik
Mengutip laporan Litbang KPK pada 2015, Ashov mengingatkan ongkos mahal pilkada yang menjadi pintu masuk ijon politik. Lima tahun lalu, biaya jadi walikota atau bupati mencapai Rp20-Rp30 miliar. Untuk menjadi gubernur bisa Rp20-Rp100 miliar.
Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) menunjukkan, total harta kekayaan calon kepala daerah saat itu rata-rata Rp6,7 miliar.
Lebih baru, berdasarkan survei Litbang KPK 2018 menemukan rata-rata harta kekayaan hanya Rp18.038.709, bahkan ada satu pasangan calon punya harta minus Rp15.172.000.
Hasil telaah KPK juga menemukan sebagian besar calon (83,30%) dari 198 responden kepala daerah mengatakan mereka akan memenuhi ambisi para ‘donatur’ yang telah membantu kampanye mereka, kelak saat mereka menjabat. Sisi lain, 53-60% ‘donatur’ mengatakan lisan maupun tertulis harapan mereka untuk ‘dibayar’ di kemudian hari saat para calon menjabat.
“Tetapi, apa peran aktor itu? Apa hubungannya dengan pilkada? “Memberikan sokongan dana kampanye kepada pasangan calon. Menjadi sponsor kalau bahasa umumnya, atau praktik ijon politik,” kata Merah.
Kemudian para pebisnis ini atau penguasa kapital keuangan ini menunggangi dan mengendalikan para kandidat kepala daerah itu, melalui pembiayaan pencalonan dan kampanye. “Itu ditebus dengan jaminan politik.”
Bantuan dana umumnya berasal dari pebisnis, sejak pilkada 2015 terus mendominasi sebagai kelompok penyokong.
Sumber dana kampanye boleh dari perseorangan, kelompok ataupun badan usaha, sesuai Pasal 5 ayat 3, PKPU 5/2017, selama sumber dana bukan hasil tindak pidana dan bersifat tidak mengikat. Sayangnya, dari studi KPK, “aturan mengenai sumbangan yang tidak mengikat’ belum sepenuhnya ditaati.
Praktik demikian, katanya, menimbulkan benturan kepentingan, kelak bila paslon telah menjabat. Pilkada 2015, 2017 dan 2018, masih menurut studi KPK, membuktikan, para penyokong dana, berharap balasan dari bantuan itu.
Harapan penyandang dana pilkada tahun-tahun itu—senada dengan profilnya yaitu perseorangan pengusaha atau pebisnis–, antara lain, kemudahan perizinan bisnis, kemudahan ikut serta tender proyek pemerintah, dan keamanan dalam menjalankan bisnis.
Bagaimana modus ijon politik tambang ini beroperasi? Merah bilang, bisa dengan menggunakan kekuasaan politik, [seperti] pemberian izin, menggunakan bargaining politik, saling dukung periode kepemimpinan, menggunakan kroni dan dinasti politik.
“Dinasti politik ini yang paling banyak…. Dapat jaminan politik dan keamanan…. Penggunaan investasi, memberikan jabatan pemilik saham. Ini semua model-model modus ijon politik yang dikumpulkan Jatam, di banyak tempat.”
Bencana
Merah menyoroti, dampak oligarki di beberapa daerah penyelenggaran pilkada. Di Samarinda, Kalimantan Timur, kata Merah, setiap kali pilkada ruang hidup masyarakat makin tergerus.
“Banjir tak terurus. Kini jadi kota zona merah pandemi COVID-19,” kata Merah.
Sejak 2014, krisis sosial ekologis Samarinda tak kunjung diselesaikan oleh walikota terpilih. Luasan banjir terus meningkat, nyaris 100%, dari 1,322 hektar pada 2014 menjadi 2.117 hektar pada 2019.
Merah mengatakan, banjir terjadi karena 71% luas wilayah Samarinda telah diberikan kepada tambang batubara. Juga sudah 39 korban tewas di lubang tambang. Saat in, i ada 1.735 lubang tambang di Kaltim, 349 di Samarinda.
“Tak satupun diurus walikota-walikota. Masihkan pilkada Samarinda berguna bagi warga?” kata Merah.
Dari ketiga pasangan calon yang ikut dalam pilkada Samarinda tahun ini, juga diiisi orang-orang lama yang sebelumnya pernah menjabat.
Di Kutai Kertanegara, pasangan calon melawan kotak kosong. Ia adalah Edi Damansyah, petahana Bupati Kukar saat ini dan Rendi Solihin, Ketua Partai Golkar dan anggota DPRD Kukar. Mereka diusung oleh 40 kursi dari 45 kursi DPRD.
Dalam debat pilkada Kukar pada awal November lalu, Edi disorot karena menyatakan legalisasi atas pertambangan ilegal batubara sebagai solusi dan jawaban atas keresahan warga saat ini.
Kalau melihat kondisi Kukar saat ini, lanjut Merah, lahan pangan tinggal sejarah dan tambang ilegal adalah pemenang pilkada.
Kabupaten ini, katanya, pernah jadi penghasil beras terbanyak di Kaltim. Semua berubah saat kepala daerah terpilih mengobral ribuan hektar sawah menjadi 625 izin tambang batubara.
“Padahal saat pandemi ini rakyat Kukar butuh jaminan ketahanan pangan.”
Luas lubang tambang mencapai 218.311 hektar atau setara 8,34% luas Kukar. Dari 39 korban tewas di lubang tambang, 13 terjadi di Kukar.
Sementara itu, pertumbuhan ekonomi diklaim naik dari 1,71% menjadi 3,77%. Faktanya, angka kemiskinan terus bertambah dari 52.528 jiwa jadi 56.336 jiwa pada 2019. Tahun lalu saja terjadi penambahan 3.808 penduduk miskin di Kukar, terbesar dibandingkan kabupaten atau kota lain di Kaltim.
Begitu juga di Sulteng, sebagai provinsi rawan bencana. Pada Juni 2019, terjadi banjir bandang di Morowali yang menurut warga karena aktivitas tambang di hulu perkampungan. September 2019, juga terjadi gempa, tsunami dan likuifaksi di Palu. Tahun ini banjir di Morowali Utara merusak 363 hektar sawah yang sebagian baru ditanami.
Banjir juga melanda Parigi Moutong yang menghanyutkan 17 rumah warga. Di Donggala longsor juga terjadi dan menutup akses jalan warga.
Di Sulteng, aktivitas menambang tersebar di kawasan rawan bencana dan kawasan hutan. Terbanyak adalah tambang nikel, menyebar di empat kabupaten, Morowali, Morowali Utara, Banggai, dan Tojo Una-Una.
Di Morowali, Jatam Sulteng menemukan ada 37 IUP. Morowali Utara 21 IUP. Banggai 20 IUP dan 2 IUP di Tojo Una-Una. Total luas konsesi tambangnya seluas 214.076,33 hektar.
Jatam Sulteng juga mendapati aktivitas tambang di Palu, Ibukota Sulteng.
Data Jatam Sulteng mengatakan, pemerintah daerah menerbitkan 39 IUP operasi produksi pasir, batu, dan kerikil di Palu, di Kecamatan Palu Barat, sebelum mekar jadi Kecamatan Ulujadi.
Dalam Perda RTRW Kota Palu Nomor 16/2010-2030, Ulujadi sebelum pisah dari Palu Barat adalah kawasan rawan bencana longsor.
“Hal yang menarik dari diskusi kami beberapa hari lalu, dengan Pemerintah Kota Palu, ada temuan dari pemerintah sendiri bahwa, Kota Palu yang sekarang masif aktivitas tambang itu, ternyata daya dukung dan tampung lingkungan itu sudah tidak sanggup lagi,” kata Muh Taufik, dari Jatam Sulteng.
Artinya, sudah tidak bisa ada aktivitas tambang pasir, batu, dan kerikil, di Kecamatan Ulujadi itu.
Selain itu, kata Taufik, masyarakat Kelurahan Poboya, Kecamatan Mantikulere, bermukim di bawah ancaman bencana alam setelah, pemerintah pusat via KESDM menerbitkan IUP operasi produksi PT. Citra Palu Mineral, anak usaha Bumi Resource. “Wilayah PT CPM ini, diduga dalam kawasan rawan bencana, seperti yang dijelaskan oleh Perda Tata Ruang Kota Palu.”
Di kawasan hutan, kata Taufik, ditemukan 15 perusahaan tambang nikel. Dengan IUP yang menerabas kawasan hutan dengan luas perkiraan 16.000 hektar. “Ini sebenarnya ancaman bencana yang [akan] terjadi di Sulteng. Karena wilayah-wilayah hulu di kawasan hutan itu dikeruk oleh aktivitas-aktivitas industri tambang.”
Taufik Madja, warga Morowali, bercerita, pencemaran air diduga terkait aktivitas tambang di bagian hulu, mencemari sungai di kampungnya, di Kecamatan Witaponda, pada Oktober 2019. Petambak pun merugi.
“Naif yang kita lihat. Satu sisi kita mengejar keuntungan ekonomi, sisi lain, dampak buruk dari pertambangan itu sangat merugikan kebanyakan orang,” katanya.
Madja melihat, laju investasi pertambangan di Morowali, jauh meninggalkan laju perbaikan lingkungan hidup. Tak ada jaminan masa depan ruang hidup bagi warga Morowali.
Bagi Madja, pemerintah seringkali menyatakan, mendorong investasi sebagai upaya menurunkan pengangguran, dengan buka lapangan kerja, yang akhirnya menumbuhkan ekonomi.
“Apakah dengan keuntungan secara ekonomi dapat kita nikmati dan menjamin masa depan ruang hidup Morowali? Tentu saja tidak.”
Beberapa tahun terakhir, Jatam Sulteng mendokumentasi rentetan bencana, yang ditengarai aktivitas tambang.
Antara lain, pada 2019 dan 2020: banjir menghantam Kecamatan Bahodopi. “Di Kecamatan Bahodopi, juga masif izin tambang, yang diterbitkan Pemerintah,” kata Taufik.
Selain bencana alam, Jatam Sulteng menemukan, kalau aktivitas tambang mencemari wilayah mukim dan pertanian warga.
Tambang nikel di sekitar Danau Tiu, Kabupaten Morowali Utara, juga menghelat Pilkada 2020, mencemari danau dengan limpahan lumpur. Pencamaran ini juga berdampak ke tiga warga desa sekitar danau.
“Pencemaran ini menyebabkan, masyarakat yang sehari-harinya hidup sebagai nelayan tradisional di Danau Tiu, harus kehilangan mata pencarian,” kata Taufik.
Tambang nikel juga melubangi dan membuat wilayah pesisir Teluk Komori, Morowali Utara, rusak. Lubang tambang itu, kata Taufik, kini ditinggalkan tanpa reklamasi.
“Dampaknya, ketika nelayan beraktivitas, mengail, menjala ikan. Ketika jala itu diangkat, jala itu hanya terendam lumpur, karena curah hujan tinggi, lumpur-lumpur itu jatuh ke wilayah-wilayah pesisir.”
Pencemaran juga dirasa masyarakat sekitar tambang di Morowali, dan Morowali Utara. Aktivitas tambang mencemari sumber air mereka. “Berikutnya lahan pertanian warga, di Kabupaten Banggai juga sedang melangsungkan kontestasi pilkada 2020 ini,” kata Taufik.
“Ada wilayah pertanian warga yang tercemar dengan tambang nikel, yang mengakibatkan gagal panen, dan ada aktivitas tambang nikel yang sangat berdekatan dengan areal pertanian warga.”
Di Lambolo, Morowali Utara, lebih menakutkan. Menurut temuan Jatam, pemukiman warga begitu dekat dengan pabrik smelter.
“Masyarakat harus merasakan dampak bising dari aktivitas pabrik. Kemudian ada dampak serius, yaitu dugaan warga, bahwa aktivitas ini menyebabkan penyakit ISPA di masyarakat Lambolo, yang diakibatkan aktivitas pabrik nikel yang beroperasi di sana.”
Mosi tak percaya
Ramai penolakan terhadap pilkada 2020. Warga Solo, Johan Syafaat Maharani meminta Mahkamah Konstitusi memberikan penafsiran terhadap Perppu No 2/2020 tentang Pemilihan Kepala Daerah.
Di Solo juga akan digelar pemilihan Walikota Solo dengan satu calon putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming.
Mantan Ketua KPK Busyro Muqoddas juga menggugat keputusan pemerintah, DPR dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang melanjutkan pilkada serentak 2020. Lembaga keagamaan seperti PBNU, PP Muhammadiyah dan MUI juga meminta pilkada ditunda agar fokus menangani pandemi COVID-19.
Tiga survei publik juga menunjukkan sebagian besar responden dalam survei berbeda, tak setuju kalau pilkada tetap jalan. Sekitar 20-40% responden mengatakan tak akan datang ke tempat pemilihan suara bila tetap digelar Desember ini.
Penolakan ini terutama mengingat keputusan pilkada menggunakan APBN tak sedikit. Anggaran pilkada yang semula Rp15,23 triliun, dana APBN, membengkak jadi Rp20,46 triliun karena kebutuhan protokol kesehatan.
Pilkada serentak dengan biaya besar ini, kata Ashov, cenderung keluar dengan pesan-pesan kampanye yang tak menggambarkan kekhasan daerah baik dari segi potensi maupun permasalahannya.
Beragam krisis sosial ekologis yang dirasakan masyarakat tak muncul dalam kampanye. Prosedur demokrasi yang berlangsung masih terputus dari harapan rakyat untuk terbebas dari krisis.
“Yang ada hanya menjembatani kepentingan politisi dan pelaku bisnis melalui ijon politik,” kata Ashov.
Belum lagi selepas pilkada, muncul bagi-bagi konsesi lahan untuk kepentingan investasi berbasis lahan seperti tambang dan sawit, apalagi setelah UU Minerba dan Omnibus Law disahkan.
Merah meyakini, pilkada serentak tak akan mengatasi persoalan masyarakat di daerah pertambangan mineral dan batubara, wilayah korban operasi industri energi kotor dan berbahaya lain.
“Pesta lima tahunan ini juga momentum yang ditunggu bagi pebisnis tambang dan energi kotor untuk mencari jaminan politik dalam melenggengkan bisnis mereka di daerah.”
Karena itu #BersihkanIndonesia menyerukan agar masyarakat kritis sebagai sumber suara dan memahami kepentingan para kandidat, maupun siapa di belakang kandidat dan partai politik sebagai sponsor dan pemberi ijon. Koalisi juga serukan #MosiTidakPercaya.
Bagi koalisi, masyarakat perlu menolak berpartisipasi pada pilkada 2020 selama tak ada jaminan perlindungan hukum yang adil terhadap penggusuran ruang hidup, pemulihan hak rakyat atas penggusuran. Juga tak ada kemauan politik dari mereka yang ikut kontestasi untuk membongkar dan menuntaskan kasus korupsi dan pelanggaran HAM yang menjadi beban masyarakat dan lingkungan hidup.
Keterangan foto utama: Tambang nikel di wilayah dengan tutupan hutan bagus. Foto: Jatam Sulteng