YouGov-Cambridge Globalism Project pada tahun 2019 melakukan survei tentang pandangan masyarakat dunia terhadap perubahan iklim. Survei tersebut menyasar lebih dari 25 ribu orang dari 23 negara di seluruh Eropa, Amerika, Afrika dan Asia.
Survei tersebut menunjukkan bahwa orang Indonesia (18 persen) merupakan masyarakat dunia yang paling tidak percaya dengan perubahan iklim adalah akibat tindakan manusia dan menganggapnya hal itu hanyalah tipuan atau konspirasi semata. Kelompok yang meragukan perubahan iklim selanjutnya ialah masyarakat Arab Saudi (16 persen), dan Amerika Serikat di urutan ketiga (13 persen).
Sebagai negara yang akrab dengan perubahan iklim sangat aneh rasanya bila kita malah sangsi dengan fenomena tersebut. Bagaimana kita bisa mempersiapkan diri bila masih banyak dari kita masih meragukannya? Padahal telah sangat banyak hasil penelitian dan bukti-bukti nyata dampak perubahan iklim di Indonesia.
Gempa bumi, tsunami, liquifaksi, dan erupsi gunung api adalah bencana menakutkan yang kerap dating dan menghantui penduduk Indonesia. Berbagai bencana tersebut terjadi karena faktor geologis alam pada wilayah Indonesia sebab keberadaannya tepat di jalur-jalur pertemuan lempeng tektonik –baik darat maupun di lantai samudera.
Bencana faktor geologi tersebut mustahil dielakkan. Kecuali bila Negara Indonesia pindah ke wilayah yang bukan pertemuan lempeng tektonik ―walau tentu saja, itu sama tidak mungkinnya.
Akan tetapi, bencana geologi bukanlah bencana utama atau terbanyak mendera tanah air. Selama kurun waktu tahun 2019, BNPB mencatat sebanyak 3.768 kejadian bencana di Indonesia.
Dari 3.768 kejadian bencana sepanjang tahun lalu, ternyata hanya 1 persen yang merupakan bencana geologi, sementara 99 persennya bencana hidrometereologi (Kompas, 1/12020). Kekeringan, banjir, badai, kebakaran hutan, el nino, la nina, longsor, tornado, angin puyuh, topan, angin puting beliung, gelombang dingin, gelombang panas, angin fohn (angin gending, angin brubu, angin bohorok, angin kumbang) adalah beberapa contoh bencana hidrometeorologi tersebut.
Bencana Hidrometeorologi merupakan bencana yang diakibatkan oleh curah hujan, kelembaban, temperatur, dan angin ―yang juga merupakan komponen-komponen dari iklim bumi. Sejumlah media internasional bahkan sudah memakai term Climate Disaster atau “Bencana Iklim” supaya masalah serius ini tidak menjadi gajah dipelupuk mata bagi masyarakat.
Hal itu dapat kita lihat misalnya Climate Disaster Is Upon Us yang diwartakan The Nation, 15 Januari 2019; Do We Really Have Only 12 Years to Avoid Climate Disaster? oleh New York Times, 19 September 2019; 2019 Has Been a Year of Climate Disaster. Yet Still Our Leaders Procrastinate di laman The Guardian, 19 Desember 2019; dan We Live in an Age of Climate Disaster. Now What? pada harian Washington Post, 17 Januari 2020.
Baca juga: Berhitung Kapasitas Kita Menghadapi Perubahan Iklim
Persiapan dalam tiga tingkat
Bila bencana iklim ini sudah di depan mata, maka kita harus mempersiapkan pencegahan dan bagaimana beradaptasi dengannya.
Pertama, pada tingkat internasional lambat laun para pemimpin dunia mulai menyadari akan ancaman perubahan iklim. Di Paris, akhir tahun 2015, Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa menghasilkan suatu sumber hukum internasional yang disebut dengan Paris Agreement.
Poin penting dalam perjanjian itu ialah (i) komitmen bersama untuk menahan laju kenaikan suhu rata-rata global dibawah 2°C di atas suhu di masa praindustrialisasi dan melanjutkan upaya untuk membatasi kenaikan suhu hingga 1,5°C di atas suhu di masa praindustrialisasi;
(ii) Meningkatkan kemampuan untuk beradaptasi terhadap dampak dari perubahan iklim, meningkatkan ketahanan iklim, dan melaksanakan pembangunan yang bersifat rendah emisi gas rumah kaca tanpa mengancam produksi pangan; dan (iii) suplai finansial yang konsisten demi tercapainya pembangunan yang bersifat rendah emisi gas rumah kaca dan tahan terhadap perubahan iklim.
Kedua, dalam konteks nasional dimana tiap negara saat ini didera krisis akibat pandemi, dapat melakukan pemulihan hijau. Sebab dalam pembangunan ekononi untuk lebih cepat bangkit dari krisis, Pemerintah membutuhkan proyek yang disebut oleh para pakar dengan istilah shovel ready.
Ini lebih dari sekedar proyek padat karya, proyek tersebut juga tidak perlu keterampilan tingkat tinggi atau pelatihan ekstensif, dan menyediakan infrastruktur yang menguntungkan ekonomi. Konstruksi infrastruktur energi bersih adalah salah satu contohnya, yang mana menghasilkan pekerjaan dua kali lebih banyak dari dibandingkan proyek bahan bakar fosil.
Kita bisa melihat kebutuhan infrastruktur ramah pengendara sepeda dan pejalan kaki di kota-kota. Kemudian membangun infastruktur koneksi jaringan internet broadband, karena sistem sekolah dan kerja daring akan semakin marak dilakukan. Serta jaringan untuk pengisian kendaraan listrik.
Dengan itu kedepan kita pasti akan membutuhkan lebih banyak listrik. Dibutuhkan juga proyek masal pembangkit listrik tenaga surya, angin, dan biogas.
Baca juga: Hindari Korban Jiwa dalam Bencana, Harus Terus Siap Siaga
Cameron Hepburn dari Universitas Oxford baru-baru pun mempublikasikan sebuah studi menarik terkait rencana pemulihan krisis global akibat pandemi Covid-19. Penelitian tersebut berjudul Will Covid-19 Fiscal Recovery Packages Accelerate or Retard Progress on Climate Change? (2020).
Fokus penelitiannya ialah, membandingkan proyek-proyek stimulus hijau dengan stimulus tradisional, seperti langkah-langkah yang diambil setelah krisis keuangan global 2008.
Para peneliti menemukan bahwa, proyek-proyek hijau menciptakan lebih banyak pekerjaan, memberi pengembalian jangka pendek yang lebih tinggi, dan mengarah pada penghematan biaya peningkatan jangka panjang.
Ketiga, aksi pada tingkat individu. Banyak hal sederhana yang dapat dilakukan untuk melestarikan alam. Seperti menghemat penggunaan energi listrik. Tahukah Anda bahwa sumber utama emisi gas rumah kaca global adalah listrik (31 persen), baru diikuti pertanian (11 persen), transportasi (15 persen), kehutanan (6 persen) dan manufaktur (12 persen). Produksi energi dari semua jenis menyumbang bahkan 72 persen dari semua emisi (data: WRI (2017)).
Sektor energi menjadi faktor paling dominan penyebab emisi gas rumah kaca. Begitulah laku hidup kita yang masih bergantung pada energi fosil pada “normal lama”. “Normal baru” harusnya dapat menggantikan sumber energi lama ke energi terbarukan.
Selain itu hal-hal sederhana lai yang dapat dilakukan seperti mendaur-ulang sampah, memprioritaskan transportasi umum, menanam atau mengadopsi pohon, dan sebisa mungkin menghentikan penggunaan produk-produk hasil industri yang merusak lingkungan hidup.
Alangkah baiknya jika kita dapat menghitung jejak karbon dari setiap aktifitas yang kita lakukan sehari-hari dan melakukan tindakan pengimbangan emisi, dengan cara berkontribusi untuk kegiatan-kegiatan penghijauan.
Kita berhubungan dengan lingkungan dan kita harus berperilaku baik terhadapnya. Sesederhana itu saja sebenarnya. Namun untuk melakukan itu kita perlu suatu pemahaman ekologis. Kita harus mempelajari tiap aktivitas yang akan memberi dampak buruk pada ekosistem di sekitar kita. Karena jika ekosistem rusak, kehidupan kita juga yang terancam.
Referensi:
[1] Andreas Yoga Prasetyo, Waspadai Bencana Hidrometeorologi, Harian Kompas, 1 Januari 2020.
[2] Cameron Hepburn et al, 2020, Will COVID-19 fiscal recovery packages accelerate or retard progress on climate change?, Oxford Review of Economic Policy 36, University of Oxford: England.
[3] Devina Heriyanto, One in five Indonesians don’t believe human activity causes climate change, The Jakarta Pos, 15 May 2019.
[4] Data-data emisi karbon negara-negara di dunia diakses dari situs the Center for Climate and Energy Solutions, pada 14 November 2020.
* Alek Karci Kurniawan, penulis adalah Analis Kebijakan di Komunitas Konservasi Indonesia. Artikel ini adalah opini penulis.