- Setelah dicanangkan pada 2013 dalam Pertemuan Pengamat Burung Indonesia (PPBI) ke-3 di Cangar Malang, akhirnya para pengamat burung amatir Indonesia berhasil menerbitkan Atlas Burung Indonesia dalam bentuk buku setebal 615 halaman.
- Buku Atlas Burung Indonesia ini merangkum informasi tentang sebaran 739 spesies burung dari total 1771 spesies burung di Indonesia.
- Pembuatan atlas burung itu melalui proses yang panjang dan berliku yang melibatkan ratusan pengamat burung terlibat dalam mendata jenis burung dan sebarannya di berbagai tempat di Indonesia semenjak 2016 dalam aplikasi android Burungnesia sebagai portal data.
- Keberhasilan penyusunan buku Atlas Burung Indonesia menjadi sejarah keberadaan dan kekuatan citizen science. Bukan tidak mungkin citizen science di Indonesia mampu melahirkan karya-karya yang lebih besar kedepannya.
Setelah melalui proses panjang sejak dicanangkan pada tahun 2013 dalam Pertemuan Pengamat Burung Indonesia (PPBI) ke-3 di Cangar Malang, akhirnya para pengamat burung amatir Indonesia berhasil menerbitkan Atlas Burung Indonesia dalam bentuk buku setebal 615 halaman. Atlas ini merangkum informasi tentang sebaran 739 spesies burung dari total 1771 spesies burung di Indonesia. Hal ini disampaikan oleh Toni Artaka, reviewer buku Atlas Burung Indonesia dalam acara launching buku di Kota Batu, Jawa Timur, Rabu (16/12/2020).
Dalam paparannya, Toni lebih menyoroti tentang kerja-kerja di balik tampilan buku yang menurutnya sangat apik, mudah dibaca masyarakat awam meski penuh dengan informasi ilmiah. Menurutnya, dibutuhkan upaya yang luar biasa dan hampir mustahil untuk mengumpulkan informasi sebanyak itu.
Sebanyak ratusan pengamat burung terlibat dalam mendata jenis burung dan sebarannya di berbagai tempat di Indonesia semenjak tahun 2016. Kemudian data yang terkumpul tersebut diverifikasi ulang dan dijadikan dasar pemodelan distribusi masing-masing spesies. Sebanyak 6 penulis utama, 15 kontributor penulis, 6 ilustrator dan 4 kontributor ilustrasi terlibat dalam penyusunan buku.
“Informasi yang disajikan sangat detail, seperti sebaran geografis, endemisitas, habitat dan ketinggian. Bahkan seluruh burung tersebut memiliki informasi konservasi dan ekologi yang dikelompokkan dalam 17 kategori. Sangat lengkap,” kata Kepala Resort Ranu Darungan, Taman Nasional Bromo Tengger Semeru itu yang juga aktif menulis buku.
Baca juga: Citizen Science, Gerakan Berbasis Masyarakat untuk Pelestarian Burung Liar
Penulisan buku ini juga melalui proses yang cukup berliku. Hal ini diungkapkan oleh Panji Gusti Akbar, salah satu penulis utama. Hal pertama yang menjadi tantangan adalah momentum pembaharuan taksonomi jenis burung oleh Birdlife pada Desember 2019 yang lalu yang cukup membuat proses penyaringan data yang dilakukan menjadi rumit karena Burungnesia, sebagai portal data yang dijadikan sumber data burung masih menggunakan daftar spesies sebelumnya.
“Contoh yang cukup merepotkan adalah pemisahan spesies menjadi dua spesies yang berbeda, seperti burung kacamata (marga Zosterops). Ada juga yang batasan geografisnya tidak jelas seperti kuntul perak yang dipisah menjadi dua spesies yang berasal dari Asia dan Australia namun keduanya muncul di Maluku,” jelas Panji.
Tantangan berikutnya adalah membuat buku ini mudah dipahami pembaca meskipun sarat akan informasi ilmiah, terutama oleh masyarakat umum yang tidak berkecimpung dalam dunia konservasi burung. Meski begitu, keseriusan penulisan buku ini tidak serta merta meninggalkan obyektifitas ilmiah, dibuktikan dengan penggunaan referensi yang berjumlah 1.159 tulisan baik berupa buku maupun jurnal ilmiah.
Apresiasi Menteri LHK
Kerja keras para pengamat burung di Indonesia ini mendapat apresiasi dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya. Dalam kata sambutannya untuk buku Atlas Burung Indonesia, Siti Nurbaya menyampaikan bahwa Atlas Burung Indonesia merupakan buah karya yang berharga, yang diramu begitu apik.
Satwa burung memiliki tempat istimewa dalam masyarakat Indonesia. Keindahan bentuk, kicauan serta tingkah laku burung yang masing-masing daerah memiliki kekhasan, telah memberikan spirit dan manfaat besar bagi masyarakat Indonesia. Hadirnya buku ini penting sebagai benchmark kemajuan dalam pengelolaan keanekaragaman hayati dan juga merupakan salah satu refleksi langkah konkret dalam perwujuan dalam melindungi segenap tumpah darah Indonesia.
“Buku ini merupakan hasil kerja kolaboratif pihak-pihak dan kehadiran buku ini sungguh-sungguh sangat berarti. Karya yang berarti melebihi dari sekedar bermanfaat,” tulis Siti Nurbaya sebagaimana di kutip dalam sambutan.
Baca juga: Catatan Akhir Tahun: Geliat Citizen Science, Upaya Menyatukan Data yang Belum Terkelola
Burungnesia Sebagai Akselerator Pengumpulan Data Lapangan
Percepatan koleksi data ratusan pengamat burung di Indonesia tak terlepas dari peran Burungnesia, sebuah aplikasi berbasis android yang memudahkan tabulasi data lapangan dan pengiriman ke sentral database. Keberadaan aplikasi ini membuat informasi yang dikumpulkan oleh para pengamat di lapangan dapat terkirim nyaris secara real time.
Sebelum Burungnesia disepakati sebagai portal data untuk penyusunan Atlas Burung Indonesia, pengumpulan data dari pengamat burung dikelola oleh simpul daerah yang dikomandoi oleh koordinator simpul. Koordinator ini bertugas untuk melakukan verifikasi dan validasi data, sekaligus menyamakan format tabel. Namun, metode ini tidak berjalan seperti yang diharapkan karena tiga tahun sejak program berbasis sukarela ini berjalan, Atlas Burung Indonesia hanya mampu memproduksi 6 lembar peta. Hal ini disampaikan oleh Swiss Winasis yang merupakan founder Burungnesia.
“Pada awalnya tim membutuhkan satu bulan untuk membuat satu lembar peta. Jika kita masih berpatokan pada skema tersebut bisa dibayangkan Atlas Burung Indonesia baru akan selesai selama 1700 bulan karena kita punya lebih dari 1.700 spesies burung. Burungnesia ini menjadi satu solusi yang mempercepat proses koleksi data dari para kontributor data di lapangan,” jelasnya.
Perlu dibaca : Menghadirkan Keragaman Burung Di Baluran Dalam Android
Aplikasi Burungnesia sendiri dibangun secara sukarela dan diluncurkan pada 2015 yang lalu. Hingga saat ini aplikasi ini telah diunduh sebanyak lebih dari 5000 pengguna dari Sumatera hingga Papua. Data yang terhimpun dari para pengamat burung juga cukup menggembirakan, yaitu lebih dari 50.000 data observasi selama kurun 5 tahun terakhir.
Berdasarkan pengalaman yang telah dijalani, Swiss sangat optimis bahwa citizen science di Indonesia mampu melahirkan karya-karya yang lebih besar kedepannya. Atlas Burung Indonesia adalah pengalaman berharga bagi banyak pihak dan telah membuktikan semangat dan kebersamaan para pengamat burung untuk menjaga keanekaragaman hayati Indonesia.